Tawuran Kembali Terjadi: Tidak Hanya Sekadar Sanksi, Tapi Butuh Solusi Pasti
Oleh: Novriyani, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
Belum lama ini, kasus tawuran pelajar terjadi kembali. Kasus ini melibatkan sejumlah siswa SMP di jalan Bawen-Salatiga, Kabupaten Semarang. Terdapat Delapan siswa yang memiliki sejumlah peralatan tajam jenis sabit.
Seperti yang disampaikan oleh Kapolres Semarang, AKBP Yovan Fatika HA mengatakan berdasarkan laporan warga yang terdapat dua kelompok remaja yang akan melakukan tawuran di daerah tersebut (Republika, 15/2/2022)
Kasus serupa juga terjadi di Jalan cagar alam, Depok. Melalui siaran langsung akun instagramnya, sekelompok remaja tersebut tengah mencari lawan untuk diajak tawuran. Tidak hanya itu, mereka pun berkeliling dengan menggunakan kendaraan roda dua dan membawa senjata tajam (detiknews, 27/2/2022)
Beberapa kasus tersebut menambah daftar panjang tindak kriminalitas yang dilakukan oleh remaja. Tawuran kerap terjadi berulang kali. Motif dari kasus tawuran biasanya bermula dari hal sepele, seperti mengolok-olok di media sosial, tidak terima ditegur, dan unjuk kekuatan sesama pelajar. Dari mulai hal kecil hingga berujung pada kematian.
Padahal berbagai regulasi telah dilakukan, mulai dari Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan, Lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia, hingga Undang-Undang yang memberi sanksi tindak kriminalitas. Namun, regulasi ini tampaknya tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap kasus tawuran yang terus terjadi. Sanksi yang adapun tidak memberi efek jera bagi pelakunya. Lalu, apa yang menyebabkan kasus tawuran ini terus terjadi? Apakah ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang tidak berjalan dengan baik? Atau justru peran negara yang tidak optimal?
Remaja adalah suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Davidoff, 1991). Maka wajar jika karakter remaja dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat dia beradaptasi. Jika faktor ini tidak mendukung, maka dapat menyebabkan pengaruh negatif pada perkembangan anak-anak.
Tidak hanya itu, keluarga juga menjadi bagian terpenting dalam perkembangan anak-anak. Jika paradigma keluarga adalah kapitalistik dalam mendidik anak, maka dapat dipastikan anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang berorientasikan pada materi melalui kekuasaan dunia.
Selain keluarga dan lingkungan, negara juga harus bertanggung jawab terhadap kasus tawuran yang terus berulang. Kebijakan yang dibuat dalam dunia pendidikan nyatanya tidak menghasilkan output yang beradab dan bermoral. Padahal, negeri ini selalu mengalami perubahan kurikulum dan kebijakan pendidikan. Namun, perubahan dan kebijakan ini hanya sebatas regulasi di atas kertas. Sehingga, tindak kriminalitas selalu terjadi antar pelajar.
Disisi lain, remaja juga meniru dari apa yang mereka lihat dan dengar. Melalui tontonan dan tayangan yang tidak menuntun menjadikan mereka krisis moral. Ditambah, berbagai situs porno yang mudah diakses dan gratis. Hal ini juga seharusnya menjadi perhatian negara. Jika tontonan dan tayangan ini masih beredar maka krisis moral pada remaja kian bertambah.
Berbeda halnya jika sistem pendidikan di negeri ini mengadopsi sistem pendidikan Islam. Asas dalam pendidikannya adalah berdasarkan aqidah Islam. Asas ini berpengaruh dalam kurikulum, sistem belajar, kualifikasi guru, dan komponen dalam pendidikan.
Pendidikan dalam sistem Islam juga mencakup pengaturan mendidik anak dalam lingkup keluarga, lingkungan, dan negara. Dalam lingkup keluarga, keluarga memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak. Keluarga adalah sekolah utama bagi mereka. Jika dalam keluarga telah menjadikan aqidah Islam sebagai asas dalam mendidik anak, maka anak akan terbentuk menjadi anak yang bertakwa dan membentuk kepribadian yang salih, faqqih fiddin, dan selalu terikat dalam hukum syara.
Begitu juga halnya dalam lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat yang senantiasa mengajak kepada ketaatan, maka suasana tersebut juga akan mempengaruhi masyarakat untuk taat. Anak-anak akan melihat dan mencontoh apa yang dilakukan dalam masyarakat. Jika masyarakatnya taat, maka individunya pun ikut taat.
Selain itu, negara juga akan melakukan pengawasan dan pengontrolan sosial. Negara juga akan memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan tindak kriminalitas, seperti tawuran, berzina, dan pelaku maksiat lainnya. Negara juga akan menyediakan fasilitas pendidikan yang komprehensif untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Kurikulum yang digunakan harus berasaskan pada aqidah Islam. Para pendidik yang telah dibekali tsaqofah Islam, biaya pendidikan yang gratis, dan fasilitas penunjang demi terwujudnya sistem pendidikan Islam yang kaffah.
Dengan begitu, akan lahir generasi yang memiliki kepribadian Islam, faqqih fiddin , dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Tercipta suasana yang penuh dengan ketaatan dan dalam lingkungan masyarakat. Tidakkah kita rindu akan kembalinya sistem Islam kaffah ? Wallahu’alam .
[JIKA]