Seribu Persen
Oleh: Ana Mujianah
Fadlan berulang kali men-scrol puluhan chat WA di ponselnya dengan gelisah. Sesekali dia mengurut keningnya sambil mengamati satu nama di aplikasi berwarna hijau tersebut. Remaja SMA itu harus berjuang melawan gejolak batin yang gundah. Antara iya atau jangan. Bisikan menggoda untuk mengirim pesan tahajud call ke nomor itu. Ya, nomor seorang gadis manis berkerudung panjang yang beberapa bulan terakhir ini sukses membuat hatinya salto.
Sepuluh menit berlalu, Fadlan masih terpaku pada nomer WA dengan profil bunga sakura yang sedang mekar. Ketua Rohis yang terkenal santun dan tegas itu semakin frustasi. Di satu sisi, dia ingin menunjukkan perhatiannya kepada gadis pujaan hati. Namun, di sisi lain, Fadlan memahami betul bahwa membangunkan akhwat dini hari sejatinya hanyalah kedok semata. Setan akan tertawa, karena para aktivis dakwah terperangkap juga dalam bujuk rayunya. Dengan dalih mengajak taat, padahal sebenarnya ingin berkhalwat.
Kesal dengan diri yang lemah dalam urusan hati, Fadlan pun membanting benda pipih yang ia pegang ke atas spring bed, kemudian menyugar rambutnya kasar.
“Astaghfirullah!” gumamnya sambil menangkup wajah dengan kedua tangan.
Tak ingin berlama-lama dalam kegalauan, remaja itu beranjak ke kamar mandi untuk bersuci dan menyegarkan pikiran. Sepertiga malam yang hening, adalah saat yang tepat untuk mengadu kepada Sang Pemilik Hati, di saat hamba-hamba yang lain mungkin terlelap dalam tidurnya. Ingin sekali dia menghilangkan desir-desir aneh setiap kali mengingat wajah gadis saliha pengurus rohis bidang keputrian itu. Namun, rasa yang tak halal seakan terus tumbuh bagai bunga musim semi yang sedang bermekaran di taman hati Fadlan.
Tak terasa, sebulir bening mengumpul memenuhi sudut matanya. Fadlan larut dalam lantunan doa dan istighfar yang dia panjatkan kepada Sang Maha Penerima Taubat. Remaja 18 tahun itu khusyuk bermunajat kepada Rabbnya hingga panggilan muazin terdengar dari masjid dekat rumah.
Fadlan mengakhiri doanya kemudian bersiap untuk salat Subuh berjamaah. Suasana rumah pun riuh. Ayah dan adik laki-lakinya sudah berteriak menunggu Fadlan di di teras. Sementara, ibu memilih keutamaan salat di rumah bagi wanita. Dengan perasaan sedikit lega setelah bermunajat malam, Fadlan bergegas menghampiri ayah dan adiknya untuk berangkat ke masjid bersama-sama.
**
Pagi ini adalah hari terakhir ujian kelulusan. Suasana SMA Pelita tampak lebih tenang tidak seperti hari-hari biasa. Setelah memarkir motor, Fadlan bergegas menuju kelas sambil komat-kamit menghapal materi yang sudah dia pelajari semalam. Namun, konsentrasinya mendadak buyar saat berpapasan dengan Shakila di koridor sekolah. Fadlan berusaha keras menetralisir detak jantungnya yang mendadak seperti roll coaster.
“Aku harus konsentrasi! Ya Allah mudahkanlah,” monolognya sambil terus berjalan dengan pandangan menunduk. Dia tidak ingin gagal dalam semua urusan hanya karena virus merah jambu abal-abal.
Jerih payah Fadlan ternyata tidak sia-sia. Remaja itu mampu melewati ujian akhir sekolah dengan lancar. Bahkan selesai paling awal. Namun sayangnya, ada satu yang masih mengganjal, yaitu ujian hati yang masih berputar bagai berada dalam labirin mencari jalan keluar.
Usai ujian sekolah, Fadlan tidak langsung pulang. Satu-satunya orang yang ingin ia temui saat pikirannya sedang buntu adalah Pak Irwan, guru BP sekaligus guru ngajinya.
“Assalamu’alaikum, Pak.” Fadlan dengan sabar menunggu di depan pintu hingga terdengar jawaban dan langkah kaki mendekat.
“Wa’alaikumsalam. Eh, Fadlan. Sudah kelar ujiannya?” sapa sang guru BP ramah.
“Alhamdulillah, sudah, Pak. Tinggal ujian hati yang belum tuntas,” jawab Fadlan datar, membuat Pak Irwan memutar bola matanya untuk mencerna.
Usia Pak Irwan yang hanya terpaut 7 tahunan dengan Fadlan, membuat dua laki-laki itu seperti sahabat. Selalu nyambung saat berbincang. Pak Irwan juga orang yang selama ini membimbing Fadlan, bagaimana menjadi seorang muslim yang kaffah. Selalu berpegang pada syariat dalam setiap perbuatan. Fadlan pun bercerita dari A sampai Z kepada Pak Irwan tentang apa yang ia rasakan tanpa sungkan.
“Jadi, menurut bapak saya mesti gimana?”
“Sulit ngapusnya, Pak.” Fadlan terkekeh bercampur malu, menyadari kebucinan-nya pada adik perempuan satu-satunya sang guru BP.
“He-mm ….” Pak Irwan manggut-manggut sambil memilin janggut panjangnya yang jarang-jarang.
“Solusinya gampang, Bro!”
“Halalkan saja! Dari pada antum terus-terusan berdosa. Iya nggak?” Jawaban enteng Pak Irwan tentu saja di luar ekspektasi Fadlan.
“T-tapi, Pak?” potong Ketua Rohis tiga periode itu protes.
“Atau … lupakan! Selesai! Beres!” tegas Pak Irwan dengan gimik serius sambil menahan senyum melihat adik binaannya mengerutkan kening.
Fadlan mengantuk-antukkan kepalanya tampak mempertimbangkan saran Pak Irwan. Kemudian dia memejamkan mata sejenak sambil bersandar di sofa ruang BP. Tak lama berselang, remaja itu bangkit dan menarik napas panjang.
“Baiklah, Pak. Saya sudah memutuskan,” jawabnya tanpa ragu.
“Tolong sampaikan pada abah bapak, selesai wisuda kelulusan, saya akan ke rumah untuk melamar Shakila.”
“A-antum yakin?” Kini giliran Pak Irwan yang melebarkan netra mencari nada canda dari muridnya itu.
“Seribu persen yakin, Pak! Insya Allah saya bisa menafkahi adik bapak sambil melanjutkan kuliah kami berdua,” sahut siswa teladan di SMA itu tegas dan mantab.
Pak Irwan hanya bisa mematung di depan pintu setelah Fadlan berpamitan. Guru BP itu tak menyangka jika muridnya ternyata sudah matang dalam mengambil sebuah tanggung jawab. Padahal, tadi niatnya hanya menggertak. Dianggapnya itu hanya curhatan cinta monyet seperti kebanyakan murid yang lain.
Dugaan Pak Irwan meleset jauh. Konsekuensinya, guru muda itu harus merancang diksi yang indah dan mengikat untuk menyampaikan kepada abahnya, agar mengizinkan sang adik menikah muda.
TAMAT.