Aneh, Pejabat Tambah Kaya Selama Pandemi?
Reportase – PKAD—Insert ke #74 PKAD mengangkat tema “YANG MENJABAT KIAN KAYA DAN NIKMAT, YANG MERAKYAT MAKIN MELARAT?” Senin (13/9/2021). Pembahasan fenomenal dengan topik yang hangat di tengah kondisi rakyat melarat selama pandemi. Dimasa pandemi beberapa pejabat memiliki nilai penambahan kekayaan yang cukup fantastis. Dalam rentang 1-2 tahun kekayaan mereka mencapai puluhan bahkan ratusan milyar. Sungguh pencapaian yang fantastis yang tidak mungkin bisa dicapai oleh gaji pejabat tanpa adanya pemalakan atau tindakan koruptif.
Meingkatnya kekayaan ini dibeberkan oleh Lutfhi Afandi, Indonesia Justice Monitor:
1. Gaji tunjangan mereka tetap.
2. Operasional mereka banyak berkurang. Karena kegiatan-kegiatan dilakukan secara online
3. Pejabat mendapat blassing merasa seperti mendapat durian runtuh. Misal di Jawa Timur ada seorang bupati mendapat honor kematian 100 ribu pernyawa akibat covid.
Selain itu, anggaran covid dan pemulihan ekonomi nasional senantiasa meningkat dari 699 triliun menjadi 744,4 triliun. Seharusnya anggaran itu bisa berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. “Bisa dibayangkan dana sebesar itu bukan cuma puluhan, namun ratusan triliun digunakan tidak sebagaimana mestinya. Pastinya betapa besar kerugian yang ditanggung oleh negara,”ungkap Lutfhi.
Lutfhi juga mengkritisi terkait sistem negeri ini apakah berjalan? Selama ini dalam pengamatannya, Sistem ini berjalan hanya untuk mensejahterakan elit dan mengabaikan rakyat. Misal anggaran pemulihan ekonomi nasional 700 triliun lebih, termasuk kartu prakerja naik dari 20 triliun menjadi 30 triliun, bantuan untuk UMKM 3,6triliun, BLT dana desa 28,8triliun. Total dana semua adalah 744triliun.
“Namun dana ratusan triliun tersebut apakah mampu memulihan ekonomi nasional? Ternyata tidak, ekonomi malah pingsan. Fakta menunjukkan bahwa survei terhadap kondisi rakyat ternyata 80% menjadi lebih buruk dari pada kondisi sebelumnya,”bebernya.
Lanjutnya, paradigma pejabat dalam bingkai sistem sekuler senantiasa menjadikan rakyat sebagai jargon demokrasi. Mereka mengklaim telah dipilih sekian juta rakyat atau sekian ribu rakyat, namun faktanya itu hanya jargon. Perlu diketahui dalam sistem demokrasi hanya menumbuh suburkan korupsi karena sistem politiknya berbiaya besar.
“Misalkan untuk menjadi seorang gubernur saja membutuhkan dana sekian ratus milyar atau triliun. Tentunya uang ini didapat dari mana? Tentu dari uang pribadinya, klo kurang sisanya kemana kalau bukan dari korupsi atau pengadaan proyek abal-abal,”bebernya.
Kemudian, ketika mereka menjabat pun bukan untuk melayani rakyat, tapi melayani kepentingan pribadi dan partainya. Sekali lagi rakyat dijadikan batu loncatan untuk memenuhi syahwat politiknya. Maka sistem politik demokrasi tidak akan menghasilkan apa-apa. Mereka menjabat sebagai pejabat negara pun tidak ada kesadaran, bahwa perbuatanya kelak akan dimintai pertanggung jawaban olehNya. Mereka merasa tidak diawasi Allah atas tindakan perbuatanya dihari yaumil kelak.
Dari sudut pandang lainnya, Paradigma pejabat dalam Islam senantiasa menjadikan iman dan takwa untuk mengatur bangsa dan negara. Seorang Khalifah dalam negara Islam bisa jadi memiliki banyak harta, namun ketika menjabat sebagai kepala negara hartanya bisa jadi berkurang, bahkan menjadi miskin.
“Awal mula kekacauan di negeri ini adalah pertama, karena sistem politiknya, yaitu korupsi. Kenapa dimasa pandemi kekayaan pejabat bisa meroket sedemikian rupa sedang rakyat samakin melarat saja. Mereka menjadikan rakyat sebagai legitimasi saja,”jelasnya.
Tambahnya, Kedua, Politiknya berbiaya tinggi, seperti demokrasi akan menumbuhsuburkan korupsi. Jangan harap para pejabat mau berfikir lebih untuk kebutuhan rakyat. Sebagai seorang muslim punya pilihan sistem politik Islam, yaitu Khilafah Islamiyah sebagai warisan nabi yang harus diyakini keberanaranya. Bukan untuk dikriminalisasi.
(Hanif Kristianto, Analisis Politik dan Media )
[ry/LM]