Oleh : Gansar Dewantara

 

Penduduk dukuh Gojoyo digemparkan dengan adanya pesan singkat berwarna hijau: Nomer eKTP terdaftar sebagai penerima BPUM.

Pesan singkat itu melebar di HP android milik beberapa gelintir orang saja. Bantuan itu bak kelahiran bayi bagi pasangan suami-istri yang bertahun-tahun tak kunjung punya keturunan. Demikian anggapan penduduk dukuh Gojoyo. Sebuah dukuh terpencil, terletak di tubir muara laut Wedung, yang akrab dengan kesusahan tatkala musim hujan tiba. Apalagi ditambah adanya wabah corona, semakin mengenaskan.

Hiruk-pikuk penduduk dukuh Gojoyo terjadi hampir setiap hari. Tak luput Kang Mukhlis juga antusias mencari tahu, mengecek NIK-eKTP-nya ke beberapa orang-orang yang punya HP android. Apakah dirinya terdaftar mendapatakan bantuan dana 2,4 juta rupiah atau tidak?

Di teras rumah ketua RT, Kang Mukhlis mencuci tangannya juga membersihkan kaki yang belepotan lumpur.

Silakan masuk, Kang!” sambut ketua RT bermasker, beberapa orang yang duduk lesehan di keramik ruang tamu serempak menoleh ke arah Kang Mukhlis.

Ada keperluan apa, Kang?

Maaf, Pak. Bisa minta tolong cek KTP saya?

Kang Mukhlis, nelayan, ya, toh. Prosedur yang menerima bantuan produktif usaha mikro dari pemerintah itu yang punya usaha,” jelas ketua RT dengan pipi menyumbul.

Kan, cuma ngecek saja. Apa salahnya, Pak?

Oh, tidak salah.”

Terus, kenapa tidak segera dicek?” kejar Kang Mukhlis.

Emmm … nganu.” Ketua RT garuk-garuk kepala seraya melempar pandangan ke semua orang.

Bagaimana kalau KTP Kang Mukhlis ditinggal di sini. Jika Kang Mukhlis termasuk orang yang beruntung, maka Kang Mukhlis tinggal terima beres. Semua akan saya tindaklanjuti. Enak, ya, toh?” rayu ketua RT.

Masya Allah, Pak!” pekik Kang Mukhlis melepas masker, lalu mengambil eKTP-nya.

Saya pontang-panting minta tolong mengecek KTP itu siapa tahu saya terdaftar yang mendapat bantuan. Dan semua itu demi membelikan hape yang bisa untuk putri-putri saya mengikuti pelajaran sekolahnya. Tetapi jika Pak RT tak sudi membantu tanpa harus ada imbalannya, tak masalah. Masih banyak yang sanggup membantu dengan ikhlas. Tidak rakus seperti ….” Kang Mukhlis menahan kalimatnya dangan mata berkilat-kilat. Lantas bangkit meninggalkan rumah ketua RT begitu saja.

Selesai salat Jumat, Kang Mukhlis ke rumah Wak guru. Alhasil, Kang Mukhlis termasuk orang yang mendapatkan bantuan itu.

Mungkin, Kang Mukhlis pernah menjadi nasabah salah satu koperasi atau pegadean,” ujar Wak guru setelah mendengar pertanyaan dari Kang Mukhlis. Apakah nelayan juga mendapat BPUM?

Kalau koperasi, tidak, Wak. Bisa jadi pegadean. Tivi saya masih di sana,” balas Kang Mukhlis sekalian memenuhi persyaratan-persyaratan untuk mencairkan dana bantuan itu.

***

Kang Mukhlis duduk termangu di keramik sudut teritis kantor BRI, dengan sepasang lutut yang merapat ke dada. Sekujur badannya tertutup sarung sewarna dengan kulitnya, cokelat tua. Hanya muka dan tangan kanannya yang nongol demi sebatang sigaret kretek yang layu. Sementara tatapan matanya yang kosong terlempar ke ruas jalan yang tergenang. Seperti sedang mengeja rinai hujan malam itu.

Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Kang Mukhlis, selain memerdekakan lamunan. Sesekali ruang gaib kepalanya beralih ke rekaman caci maki Martini.

Jumat siang, setelah dari Wak guru, kau bilang kantor BRI tertutup kerumunan ratusan orang! Tadi pagi, kau juga mengatakan sama! Badan segede Mike Tyson, menjebol kerumunan tak pecus!” caci Martini ketika senja Senin digulung pekat mendung.

Kenyataannya begitu, Mak.”

Makanya pasrah ke Pak RT saja!

Tidak! Kau mau duit bantuan itu dipotong empat ratus ribu?”

Kok, banyak sekali.

Iya, segitu! Seratus ribu untuk penghuni buku Bank. Seratus ribu untuk Pak RT dan dua ratus ribu untuk petugas.”

Petugas apa?!”

Tidak tahu! Itu sesuai penjelasan Wak guru yang juga selaku Kepala dukuh.”

Kalau begitu, kamu harus bermalam di kantor BRI, supaya besok pagi bisa cair!

Omelan Martini, perempuan kurus bermata bulat, mulut tebal dan berkulit sawo matang itu berloncatan di kepala Kang Mukhlis. Entah, pada lamunan yang mana, Kang Mukhlis sempat terlelap.

Kang Mukhlis berdiri, merenggangkan otot-otot. Ia memantau keadaan di sekitarnya. Matanya terbelalak, seperti melihat sebuah kejutan, ketika sorotnya mendapati banyak orang berteduh di teras samping kantor BRI. Bahkan, muntah di teritis toko-toko.

Hawa dingin mulai menembus hingga kulit yang terbungkus. Sementara hujan mulai lamban, hanya rintik-rintik kecil yang enggan sirna. Kang Mukhlis menduga, waktu subuh akan tiba.

Pukul tujuh tiga tiga, kertas persyaratan Kang Mukhlis diterima Satpam, “Silakan Bapak datang kembali hari Rabu siang,” kata Satpam itu.

Begitu pula orang-orang yang semalam berjibaku melawan dingin hanya untuk menumpuk kertas-kertas persyaratan pencairan. Mereka ada yang diminta datang kembali pada hari Rabu, Kamis atau juga hari Jumat.

***

Rabu, selepas Zuhur. Kang Mukhlis dan Martini sudah necis. Dengan motor metik pinjaman, suami-istri itu meluncur menjemput impian.

Kamu yakin, jalan toang sudah bisa dilewati motor?” Martini memastikan.

Jalan toang itu satu-satunya jalur darat Goyojo menuju jalan raya Wedung. Panjangnya 7 kilometer. Sebuah jalan yang hanya sisi kanan dan sisi kiri saja yang dicor beton, tengahnya padas. Jalan toang itu diapit sungai dengan persawanan dan tambak bandeng.

Aman. Genangan sudah surut. Kan, Selasa pagi hingga kini tidak ada hujan.

Lelaki berusia 40 tahun itu tanpa memakai helm. Rambut kakunya berdiri tegak, seakan-akan ikut semangat menjemput impian.

Sepanjang perjalanan melewati jalan toang, dua kali motor Kang Mukhlis bertemu jalanan becek. Dua kali pula Martini harus turun, jalan kaki dengan celana yang terlipat hingga lutut sambil menyangking sandalnya.

Sesampainya di depan kantor BRI, Kang Mukhlis memarkirkan motornya di seberang jalan, di pelataran toko yang sudah tutup. Ia dan Martini tak bisa merapat duduk di bangku tunggu.

Empat orang keluar, empat yang lainnya masuk ruangan dingin sesuai nama yang diserukan Pak satpam. Tak berapa lama, sampailah pada nama Kang Mukhlis dan tiga nama yang lainnya.

Beberapa jenak selanjutnya, Kang Mukhlis keluar dari ruangan dingin itu. Ia menciumi lembaran duit yang tercepit buku tabungan. Dua juta tiga ratus ribu rupiah. Lembaran duit anyar gres, belum ada bekas lipatan.

Bayangan ketiga putrinya berebut membuka kardus HP melintas di kepala Kang Mukhlis.[*]

Demak, 2021

_____

Gansar Dewantara, Seorang yang hobi membaca dan menulis. Pegiat literasi pena santri Demak (PeSAN). Cerpennya termaktub di kompas daring, detiknews, lokerkata, Harian Media Indonesia, LP Ma’arf NU Jateng, Juara 1 lomba cipta prosa Kampoeng mahasiswa dan santri-Jogja (KMSJ,2018), Kertaldigital .com dll. Kini tinggal dan berkerja di Demak-Jawa Tengah.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis