Oleh : Sunarti

 

Tenang Sartika. Allah bersama kita. Kita tidak melanggar hukumNya,” kataku berusaha menenangkan.

Maya, ternyata engkau masih tidak menerima pilihanku pada Arum. Masihkah engkau menyimpan dendam padaku, tatkala ta’aruf puluhan tahun silam?

Maya, mengapa engkau luapkan pada Sartika yang tidak tahu apa-apa soal ta’aruf kita dan Arum?

***

Puluhan tahun silam, antara Maya, Arum dan aku memang ada kisah pelik yang semua di luar dugaanku, di luar rencanaku dan ternyata juga di luar rencana Arum yang mendahului menghadapNya tujuh bulan silam.

Kala itu, kami masih sama-sama di sebuah perguruan tinggi negeri yang terkenal. Kami sama-sama berada di semester akhir kuliah.

Tak kuduga ustaz yang selama ini mengisi kajianku, menanyakan soal kesiapanku untuk berumahtangga. Sebenarnya, aku sedikit terkejut. Tapi, aku juga tidak bisa menolaknya. Dengan banyak pertimbangan, aku terima tawaran Ustaz untuk ta’aruf dengan gadis pilihannya yang Beliau sendiri atas rekomendasi istrinya.

Gadis itu dari fakultas yang berbeda denganku. Salah satu fakultas yang menjadi favorit saat ini, fakultas kedokteran. Dan konon gadis itu idola di kampus dan fakultasnya.

Berjalanlah proses ta’aruf dengan gadis bernama Maya Alika. Namun sayang, ketika aku pertanyakan kepada Rabb Pemilik Hati, tak ada kecondongan dan kemantapan untuk melanjutkan ke jenjang khitbah. Setelah aku meminta jeda waktu untuk istikharah mempertanyakan kepada Tuhanku. Sayang, nihil.

Aku sampaikan semua kepada ustazku. Aku juga meminta pertimbangan kepadanya. Namun, kecondongan tak tumbuh sedikitpun. Entahlah.

Demi menghormati tawaran dan kesungguhan dari sang guru, aku akhirnya pasrah. Aku kuatkan hati terima perjodohan ini.

Sayang. Di hari yang seharusnya aku datang ke rumah orang tua Maya, justru Maya memutus terlebih dahulu. Caranya pun tak cukup baik. Sebagai seorang yang sudah mengaji Islam, baik syakhsiyah ataupun fikriyah, tak layak sejatinya dilakukan.

Tapi namanya manusia, tak bisa dipungkiri pula, jika melakukan kekhilafan. Maya, menyatakan mundur dari perjodohan. Dengan kata-kata yang gamblang, Maya menolak dengan alasan, aku yang miskin dan belum memiliki pekerjaan.

Kala itu, aku hanya mampu beristigfar. Memanglah begitu keadaannya. Aku anak orang miskin. Kuliah pun, aku dan orang tuaku tak mampu bayar. Kami nebeng bayar kuliah di ustazku. Dengan mengurus beberapa rumah kos, ustaz, aku mendapatkan gaji dan dipotong biaya kuliah, serta dibantu paman-pamanku di kampung. Tidak masalah sebenarnya. Tapi, ternyata bermasalah bagi Maya.

Yang sungguh sangat membuatku kaget adalah dalam waktu yang sama, datang serombongan keluarga membawa uborampen lamaran lengkap. Kontan, kami sangat terkejut tak kalah terkejutnya dengan bapaknya Maya. Sementara ibunya Maya, malah tersenyum-senyum, seolah menyimpan sesuatu yang kita semua tidak tahu.

Apa ini yaa Allah, yang membuat aku tidak bisa mencondongkan hati kepada Maya. Ternyata Allah buka semuanya. Dalam kebimbangan, segalanya kuserahkan kepada Rabbku, agar Allah pula yang menunjukkan jalan yang seharusnya aku tempuh dan menyingkirkan segala yang membuat ragu ataupun bimbang.

Berakhirlah kisahku dengan Maya sampai di sini. Ya, walaupun di kampus menjadi berita besar, aku mencoba untuk terus tegar. Fakta yang memang ada padaku. Pungguk merindukan bulan. Tak apalah. Toh, aku awalnya juga berniat baik pada ustaz dan juga pada Maya.

Begitulah latar belakang yang mungkin membuat Maya marah pada Sartika. Tapi apa hubungannya ya?

Masih muncul tanda tanya besar di kepalaku.

Kenapa Maya justru yang dendam?

Apa karena aku yang akhirnya menikahi Arum, sepupunya yang juga tidak kalah kaya raya?

Bersambung …

 

Ngawi, 15 Juli 2021

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis