Lagi, TKA Bebas Masuk Imbas Problem Sistemik
Oleh: Asyrani
(Pemerhati Umat)
Lensa Media News – Momen lebaran selalu dijadikan oleh para perantau untuk menengok kampung halaman. Namun, kebiasaan itu seolah mulai dilenyapkan oleh keadaan. Bagaimana tidak, larangan mudik kembali diberikan. Hal ini diberlakukan dengan dalih pandemi dan pemutusan rantai penyebaran.
Tentu saja larangan mudik yang diterapkan pada tanggal 6-17 Mei 2021 lalu membuat rakyat gigit jari. Bukan karena tak setuju, tapi bingung dengan kebijakan yang tak sesuai dengan realita yang terjadi. Pasalnya di waktu yang sama, pariwisata masih terbuka lebar dan disusul dengan kedatangan TKA Cina yang bergelombang.
Selama dua pekan terakhir, Indonesia kebanjiran ratusan TKA Cina yang dapat izin masuk dengan alasan kerja. Pada 8 Mei ada 157 yang masuk ke Indonesia. Lalu pada 13 Mei datang lagi sebanyak 110 orang melalui Bandara Soekarno-Hatta. Kemudian berdatangan kembali sebanyak 170 pada 15 Mei, yang video kedatangannya sempat viral di media sosial.
Namun demikian, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) membantah jika kedatangan warga negara dari luar negeri tersebut menggunakan pesawat carter. Menurut Kemenhub, pesawat carter yang bawa TKA dari luar negeri telah diberhentikan sejak 5 Mei 2021. Hingga kini belum ada keterangan resmi dari pihak imigrasi perihal kabar ketibaan ratusan warga negara Cina tersebut (SindoNews.com, 17/05/2021).
Kedatangan ratusan TKA Cina tersebut tentu mengusik publik. Sebab, rakyat seperti dianaktirikan oleh pemerintah. Dimana rakyat sendiri diimbau dan dilarang dengan ketat untuk tidak lalu lalang keluar kota, bila tidak mendesak. Sementara kedatangan TKA Cina disambut dengan ‘karpet merah’. Bebas masuknya TKA Cina ini merupakan salah satu konsekuensi dan fasilitas yang harus diberikan setelah pengesahan UU Cipta Kerja.
Menyoal Sistemik Pembawa Badai Berkepanjangan
Jika ditelusuri kembali, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu, memang menuai kontroversi dari berbagai elemen masyarakat. Mereka rata-rata berpandangan bahwa UU ini benar-benar membawa CiLaKa. Selain terkesan buru-buru, UU ini dituding zalim dan sarat kepentingan pengusaha, terutama kapitalis asing. Namun, protes dan keresahan masyarakat tak lebih penting dibanding kepentingan korporasi.
Hingga UU sapu jagat yang penuh kontroversi ini tetap disahkan dan rakyat harus siap menuai risiko berkepanjangan. Mulai dari bebas masuknya TKA Cina, legalitas sertifikasi halal bagi UMKM, hingga ancaman konversi lahan. Meski demikian, tak sedikitpun menyurutkan pemerintah untuk tetap mempertahankan legalitas UU Cipta Kerja tersebut, sebab dianggap sebagai sistem yang mampu menopang perekonomian. Apalagi semenjak diterjang pandemi, negeri mengalami resesi.
Padahal perekonomian Indonesia memang sudah lama lesu, bukan hanya di masa pandemi. Sejak jauh sebelumnya, ekonomi Indonesia memang sudah mengalami situasi krisis. Lalu saat pandemi terjadi, Indonesia benar-benar jatuh dalam resesi. Terbukti, pertumbuhan ekonomi selalu terposisi negatif, pengangguran terus meningkat, dan negara kian tenggelam dalam utang. Ini merupakan problem sistemik yang hanya bisa diselesaikan dengan pencabutan UU dan penataan kembali sistem ekonomi.
Dan di sinilah urgensitas negara untuk mengambil kebijakan ekonomi secara tepat sasaran. Bukan sekadar demi meraih devisa maupun menambah kocek negara, apalagi jika jutaan jiwa rakyat harus ditumbalkan. Tidak pula melulu memuja rezim neoliberal yang jelas-jelas hanya memihak para pemilik modal. Lebih dari itu, pemerintah harus memiliki visi pembangunan ideologis jangka panjang yang tak melulu sebatas dari pencitraan infrastruktur.
Penataan Kebijakan Ekonomi ala Islam
Islam telah menawarkan ekonomi syariah dalam tata ulang kebijakan makro dan mikro ekonomi sebagai berikut, pertama, menata ulang sistem keuangan negara. Sistem keuangan kapitalis yang bertumpu pada pajak dan utang terbukti tidak bisa memberikan pemasukan. Tetapi justru membuat ketergantungan kepada negara lain, membuat dunia Islam masuk dalam debt trap.
Kedua, menata ulang sistem moneter. Dalam sistem ekonomi Islam, income atau pendapatan masyarakat dipastikan memiliki kecukupan yang tidak membuatnya jatuh pada jurang kemiskinan dengan menjaga daya beli uang. Daya beli uang ini dipertahankan dengan moneter berbasis zat yang memiliki nilai hakiki yaitu emas dan perak.
Ketiga, menata ulang kebijakan fiskal. Hal ini dilakukan dengan menghapus semua pungutan pajak. Pajak hanya diberlakukan pada situasi extraordinary dan hanya ditujukan pada kalangan mampu dari orang kaya (aghniya). Fiskal dalam syariah hanya berdasar aset produktif yang ditentukan syara’.
Keempat, menata ulang sistem kepemilikan aset di permukaan bumi. Kepemilikan aset tidak diberikan kepada asing dan aseng. Sumber daya alam dengan deposit melimpah adalah milik umat. Serta kelima, tata ulang kebijakan mikro ekonomi. Hal ini dilakukan dengan mengatur aktifitas ekonomi antar individu dan pebisnis. Daulah Islam akan melarang praktik riba dan transaksi yang melanggar aturan syariat lainnya.
Wallahu a’lam bishshawwab.
[ah/LM]