Para Penjaga Al Aqsa
Oleh : Ika Nur Wahyuni
“Zaid, makanlah dulu! Umi tidak ingin kau sakit.” Kupandang wajah tampan anak lelakiku yang berusia 12 tahun.
“Aku sudah berbuka, Umi. Jangan khawatirkan aku. Sekarang yang harus kita khawatirkan adalah Al Aqsa.” Dengan terburu-buru dia mencium punggung tanganku. Kuusap rambut coklatnya. Belum sempat kucium, dia sudah berlari keluar rumah.
“Hati-hati, Nak!”
Aku hanya bisa berteriak dari dalam rumah. Zaid hanya berbuka dengan tujuh butir kurma dan segelas air. Aku mengintip dari balik jendela, Zaid tampak bersemangat berbaur dengan para sahabat dan para pemuda lainnya. Mereka berjalan beriringan, para penjaga Al Aqsa.
Yassarallah, Nak. Gumamku dalam hati. Semoga Allah selalu menjaga dan melindungi kalian. Mataku mulai mengembun tercekam rasa takut. Kulantunkan zikir untuk menguatkan hati melepas kepergiannya.
Ya, aku hanya seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anakku. Sama seperti para ibu di belahan dunia manapun. Ibu yang menginginkan anak-anaknya tumbuh besar, sehat dan mengenyam pendidikan tinggi agar dapat meraih cita-cita.
Berbeda dengan anak-anak lain, Zaid bercita-cita syahid seperti Abi dan kakaknya, Ja’far. Masih lekat dalam ingatan, ramadhan dua tahun yang lalu. Saat itu, pertama kalinya Zaid ikut Abi dan Ja’far untuk salat tarawih di Masjid Al Aqsa. Tak hentinya Zaid berceloteh, riang sekali. Dia ingin memakai baju yang terbaik.
“Umi, sudah siapkan bajuku kan. Abi, Ja’far, jangan tinggalkan aku. Umi sangat lama menyiapkan keperluanku.”
Kami pun tertawa mendengarnya. Sebelum berangkat, suamiku membelai lembut dan mencium perut besarku. Ada empat calon bayi yang akan menghiasi hari-hari kami. Tapi entahlah, pada hari itu aku begitu berat melepas kepergian suami tercintaku.
Seakan tahu keresahanku. Dia kemudian menuntunku dan menyuruhku duduk di sofa ruang tamu mungil milik kami. Dia duduk di lantai, merebahkan kepalanya di pangkuanku. Aku membelai rambut hitamnya.
“Aku tahu yang kau rasakan, Humairahkul. Jangan resah, ingatlah ada Allah yang menjaga kami.”
Kemudian dia mendongakkan kepalanya mencium kening dan perutku, kemudian dia berkata,“Abi pergi dulu ya, Nak. Nanti kalau kalian lahir, jagalah ibumu. Jadilah pejuang dan penjaga Al Aqsa seperti Kakek Buyutmu, Shalahuddin. Ya Allah, aku serahkan penjagaan keluargaku kepadaMu.”
Aku terisak, dadaku sesak, sepertinya aku akan ditinggalkan. Padahal suamiku sudah terbiasa berkata seperti itu setiap akan berangkat ke Al Aqsa. Aku kemudian memeluknya sangat erat.
Setelah itu dia berdiri, menghapus airmataku yang mulai menganaksungai. Ja’far menghampiri kami, dia juga memelukku dan menghapus airmataku.
“Umi, apa yang engkau takutkan? Allah bersama kita. Aku berjanji akan selalu menjagamu dan adik-adik kecilku.” Dia berkata sambil mengelus perutku kemudian mendekapku erat.
“Kalaupun aku akan meninggalkanmu akan kusampaikan kepada Rabbku bila engkau adalah ibu terbaik di dunia dan engkau layak menjadi ratunya para bidadari.”
Dia mengerling nakal, meledekku. Aku tersenyum, mencium keningnya. Pemuda berusia 16 tahun ini selalu bisa menghiburku dengan kata-kata manisnya.
“Semoga Allah selalu melindungimu dan menyayangimu melebihi sayangku padamu, wahai penjaga Al Aqsa”, aku berkata lirih.
Tiba-tiba dari belakang Zaid berkata, “Ya ampun Ibuku yang paling cantik diantara kami, sampai kapan engkau akan menahan kami dengan drama ini.”
“Baiklah Tuan Besar, fii amanillah”, sahutku sambil terkekeh.
Ternyata malam itu adalah hari terakhirku bersama suami dan anak lelakiku, mereka syahid. Ketika shalat tarawih sedang berlangsung, tiba-tiba tentara Israel menyerbu masjid Al Aqsa. Suamiku tertembus peluru di bagian dada sedangkan Ja’far meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, peluru bersarang di beberapa bagian tubuhnya. Dia menjadikan dirinya tameng agar Zaid selamat.
Saat pemakaman suami dan puteraku. Jalanan menjadi lautan manusia. Bahkan aku pun tak mengenal orang-orang yang menyampaikan belasungkawa. Yang kuingat adalah wajah mereka bersih seperti bercahaya dengan pakaiannya yang putih.
Aku melihat jasad suami dan puteraku untuk terakhir kali. Kucium kening suamiku sambil berbisik, tunggulah aku di pintu surga. Kemudian kucium kening Ja’far sambil berbisik, Allah memang sangat menyayangimu. Semerbak mewangi tercium dari jasad mereka. Kulihat senyum manis Ja’far tersungging di bibirnya. Suamiku pun tampak seperti sedang tidur dan bermimpi indah. Entah mengapa hatiku sangat tenang ketika melepas mereka untuk dimakamkan.
Namun semenjak saat itu Zaid menjadi anak yang pendiam. Hari-harinya diisi dengan menghafal Alquran dan belajar. Tidak kudengar lagi celotehnya yang riang seperti saat suami dan Ja’far masih hidup. Baju yang dikenakannya hari itu, dia simpan di lemari khusus. Baju yang penuh dengan noda darah ayah dan saudara laki-lakinya. Aku menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengannya.
“Zaid, kemarilah Nak! Umi ingin bicara”, ucapku setelah beberapa bulan yang lalu melahirkan empat orang anak kembar. Mereka adalah Husein, Hasan, Khalid, dan Asma. Kulihat Zaid sudah mulai tersenyum ketika membantuku mengasuh adik-adiknya.
Zaid masuk ke dalam kamarku, quadruplet sedang tertidur pulas. Aku menyuruhnya duduk di tepi ranjang. Kemudian kuusap pipinya.
“Zaid, apa yang engkau rasakan setelah kematian Abi dan Ja’far? Mengapa engkau menjadi sangat pendiam?”
Zaid memandangku dengan bimbang. Kemudian memainkan jari jemarinya. Kuraih tangan mungilnya, kucium, lalu kutangkupkan di pipiku.
“Apakah engkau merasa bersalah atas kematian mereka?” ucapku sepelan mungkin. Dia menganggukkan kepala lemah. Matanya mulai mengembun.
“Umi tak pernah menyalahkanmu atas yang menimpa ayah dan saudara laki-lakimu. Itu semua adalah qada dari Allah. Seharusnya engkau bisa memetik pelajaran dari setiap musibah. Kematian adalah suatu kepastian. Kita hanya bisa berharap dan berusaha ketika kematian datang, kita sedang beribadah atau berjuang di jalan Allah seperti yang ayah dan saudara laki-lakimu lakukan. Yaitu menjaga tanah wakaf kaum muslimin ini. Umi sangat bersyukur engkau selamat dan umi bangga padamu, Nak.” Panjang lebar aku berkata.
Zaid kemudian menangis sesegukan di bahuku. Kubiarkan dia meluahkan semua.
Setelah agak tenang aku kemudian berkata, “Wahai anakku yang paling tampan diantara para sahabatmu, hentikan drama ini. Sampai kapan engkau akan bermuram durja. Pergi dan berjuanglah untuk Al Aqsa.”
Zaid pun terkekeh mendengarku berkata seperti itu. Senyumnya telah kembali.
“Apa yang kau lakukan dengan bajumu yang dulu kau pakai ketika pergi ke Al Aqsa pertama kali?” Aku bertanya kepadanya.
“Baju itu sangat berharga Umi, disana ada noda darah Abi dan Ja’far. Ketika rasa malas datang menghampiriku, aku langsung memakai baju itu. Berkata pada diriku sendiri, wahai diri inilah cita-cita tertinggimu. Dan ini tidak bisa kau capai hanya dengan bermalas-malasan,” ucapnya dengan bersemangat.
Aku memeluknya erat, airmataku pun menitik. Di usianya yang baru menginjak 10 tahun, dia sudah memiliki pemikiran yang luar biasa. Disaat anak-anak sebayanya sedang asik bermain, dia sedang berjuang di jalan hanya menggunakan batu kerikil untuk menghalau tentara Israel laknatullah. Disaat anak-anak sebayanya sedang makan enak dan tidur pulas, dia sedang berpuasa dan terjaga untuk melindungi Al Aqsa.
Jiwa dan raga kami dipersembahkan hanya untuk menjaga tanah wakaf kaum muslimin ini. Tanah yang sudah tercabik-cabik oleh bangsa Yahudi tanpa ada satu negara muslim pun yang membantu kami mempertahankannya. Hanya bantuan yang kalian sebut bagian dari kemanusiaan. Yang hanya memperpanjang napas kami untuk terus berjuang sendiri untuk melindungi dan menjaga Al Aqsa. Tempat dimana kaki insan mulia pernah menapak untuk kemudian Allah angkat ke langit ke tujuh.
Kami akan terus berjuang, disaat para pemimpin negeri-negeri Islam hanya bisa mengecam tindakan biadab zionis Israel. Anak-anak kami dilahirkan untuk menjadi para pejuang penjaga Al Aqsa. Anak-anak kami dididik untuk menjadi para syuhada.
“Dan janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya mereka hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeky.” (QS. Ali Imran : 59)