Oleh : Ika Nur Wahyuni

 

Hari ini aku dan suamiku akan bersilaturahim ke rumah saudara kami di Purwakarta. Ragu untuk berangkat, karena cuaca sedang kurang bersahabat. Kadang panas terik, terkadang hujan angin disertai petir. Tapi, kami telah berazzam untuk tidak menundanya lagi. Selain bersilaturahim, kami berniat untuk berdakwah.

Kami siapkan mantel dan membawa sedikit oleh-oleh. Anak-anak tidak kami bawa serta karena mendung menggelayut di ujung timur, kami titipkan ke rumah orang tua yang jaraknya hanya beberapa gang dari rumah.

Bismillah… Kami pun berangkat. Suamiku mulai memacu sepeda motornya. Suara mesin motor seperti pintu pagar yang kurang oli. Motor tua kata anak-anak. Ditambah bobot tubuhku yang mulai merekah dan beranjak dari kata langsing, jadi semakin menambah berat bebannya.

Angin sejuk menerpa, bau khas rumput yang tersiram air mulai tercium. Tetesan hujan mulai turun dari langit yang tertutup awan hitam, kian lama kian deras. Suamiku meminggirkan motor tuanya. Kami berhenti di sebuah saung di pinggir jalan, berteduh. Di depannya ada sawah terhampar cukup luas.

Kami melihat seorang bapak tua bercaping bambu berlari dari tengah sawah. Pak Karta namanya, pemilik sawah di depan saung tempat kami berteduh. Suamiku meminta maaf karena tidak meminta ijin terlebih dulu untuk menumpang berteduh. Pak Karta orang yang sangat ramah dan baik hati. Beliau memang sengaja membangun saung di tepi jalan khusus untuk tempat berteduh para musafir dari terik matahari dan hujan.

Kami pun mulai ngobrol tentang banyak hal. Sampai pada obrolan tentang sawahnya. Beliau terdiam, sambil menghela nafas panjang, mengalirlah cerita. Tiap kali panen, hasilnya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Semenjak subsidi pupuk dicabut, harga pupuk mulai mahal dan langka. Bibit padi juga ikut mahal. Para tengkulak membeli hasil panen dengan harga murah karena ternyata sudah banyak beras impor yang beredar.

Beliau tertunduk sedih dan berkata, “Mengapa beras harus impor? Padahal bulan ini sudah mulai musim panen. Bagaimana nasib kami, petani kecil?”

Kami pun terdiam, kemudian beliau melanjutkan ceritanya. Sebagian temannya bahkan menjual sawah mereka dengan harga murah demi bertahan hidup. Dan akhirnya uang habis terpakai untuk menutup hutang. Mereka harus hidup menggelandang karena memang bertani satu-satunya keahlian mereka. Bahkan ada seorang temannya yang meninggal karena kelaparan.

Tiba-tiba beliau menangis tersedu, airmata jatuh membasahi pipi keriputnya. Sambil terbata beliau pun bercerita. Sudah 2 hari ini beliau berpuasa dan berbuka hanya dengan segelas air, istrinya juga sedang terbaring sakit, dan anak-anaknya mulai kelaparan karena persediaan bahan makanan mulai menipis. Jangankan untuk membawa isterinya berobat, untuk sekedar membeli makan pun beliau tak ada uang. Hutang juga sudah menumpuk di mana-mana.

Tiba-tiba dada ini terasa nyeri, mataku mulai mengembun mendengar beliau berkisah. Ya Allah, apa yang terjadi dengan negeri ini? Negeri yang konon katanya gemah ripah loh jinawi. Tapi malah membuat kebijakan impor beras di saat para petani sedang memasuki musim panen. Kebijakan yang menyengsarakan dan menghimpit dada para petani seperti Pak Karta. Aku pun terisak di balik punggung suamiku. Buliran bening menganak sungai tanpa bisa kutahan.

Di manakah pemimpin itu? Pemimpin yang peduli dengan rakyat? Pemimpin yang dengan ikhlas memanggul sekarung beras, bermil-mil jauhnya agar rakyatnya tidak kelaparan? Pemimpin sederhana yang sangat takut akan azab Allah bila tidak bisa berbuat adil? Di manakah pemimpin itu?

Suamiku memeluknya dengan mata merah menahan tangis. Kemudian dengan tangan gemetar suamiku mengeluarkan beberapa lembar uang 50 ribuan, diberikannya kepada Pak Karta. Tapi beliau menolak dengan halus.

“Bapak cerita begini bukan minta dikasihani, Nak.” Disekanya buliran bening di pipinya.

“Mohon maaf bila membuat Bapak berpikir seperti itu. Terimalah Pak, ini sebagai bentuk kasih sayang kami sebagai sesama Muslim karena kita bersaudara,” bujuk suamiku.

Aku menganggukan kepala sebagai tanda persetujuan dengan apa yang suamiku ucapkan ketika beliau menatapku. Pak Karta pun akhirnya menerima sambil berucap syukur, berterimakasih berulang kali dan doa-doa terucap dari bibirnya.

Hujan mulai reda meski mendung masih menggelayut tapi kulihat sinar matahari mulai menyembul di balik awan. Nampak jelas pelangi membingkai langit dengan indah. Bahkan setelah hujan badaipun akan ada sinar matahari dan pelangi yang menggantikannya.

Semoga akan datang seorang pemimpin diantara kami yang sangat peduli dan menyayangi rakyat serta menjunjung tinggi syariat Allah. Doaku dalam hati. Kami pun berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Kami semakin yakin dengan jalan dakwah ini. Jalan inilah yang dahulu dilalui oleh insan-insan mulia, bukan harta dan kedudukan yang mereka harapkan tapi keridhaan Allah yang akan membawa mereka ke surga.

Pastinya jalan ini tidak akan pernah mudah karena orang-orang zalim pasti menghalangi dengan berbagai macam cara. Tapi bersabarlah wahai diri, karena pertolongan Allah semakin dekat. Di jalan ini kami diajarkan bahwa apa yang kami perjuangkan bukan hanya tentang kami tapi juga tentang mereka yang terzalimi oleh para penguasa lalim, juga tentang persaudaraan sesama Muslim di seluruh dunia.

Seakan-akan mendapat energi baru untuk menapaki jalan dakwah ini. Aku mengeratkan peganganku di pinggang suamiku. Dia pun mengeratkan dengan tangan kirinya seolah tahu apa yang kurasakan. Melihat bulir-bulir padi yang mulai menguning di sisi kanan kiri jalan, aku pun bersenandung lirih.

“Nasi putih terhidang di meja kita santap tiap hari.

Beraneka ragam hasil bumi dari mana kah datangnya?
Lihatlah sawah ladang di sana, petanilah penanamnya
Terima kasih ibu tani
Terima kasih bapak tani
Jasamu tiada terkira

Karawang, 20/April/2021
[LM/Sn]

Please follow and like us:

Tentang Penulis