Tradisi Ramadan: Harga Pangan Merangkak Naik

Oleh: Sri Retno Ningrum

 

Lensa Media News – Sudah menjadi kebiasaan atau tradisi bahwa menjelang Ramadan hingga Lebaran, harga pangan di negeri ini merangkak naik. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri. Beliau mengatakan bahwa harga berbagai komoditas pangan mengalami kenaikan menjelang puasa. Beliau menambahkan bahwa harga bahan pangan yang mengalami kenaikan seperti: daging sapi, daging ayam dan minyak goreng. Beliau memperkirakan harga rata-rata daging ayam bisa mencapai Rp 38.000,00 hingga Rp 40.000,00 per ekor, daging sapi sekitar Rp 130.000,00 hingga Rp 131.000,00 per kg, sedangkan minyak goreng Rp 14.300,00 per kg. Selain itu, Abdullah mengatakan harga cabai rawit merah tetap tinggi karena permintaan yang masih tinggi (Kompas.com, 08/4/2021).

Kenaikan harga pangan menjelang Ramadan terjadi dikarenakan jumlah permintaan yang tinggi, namun tidak diimbangi dengan ketersediaan barang. Hal ini tentu sangat disayangkan. Para ibu harus mengeluarkan uang lebih untuk bisa memenuhi kebutuhan dapurnya. Belum, lagi untuk pemenuhan kebutuhan lainnya, seperti: gas, listrik, biaya pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Pun keadaan diperparah dengan suami yang menganggur disebabkan PHK besar-besaran yang dilakukan perusahaan atau pabrik tempat suami bekerja sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Maka tidak berlebihan jika kenaikan harga pangan menjelang Ramadhan menjadi kado pahit bagi para ibu. Kemudian, patut dipertanyakan dimana peran negara sebagai pengurus urusan rakyat?

Tak bisa dipungkiri, bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan negara ini menjadikan negara gagal dalam menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat termasuk kebutuhan pangan. Di sisi yang lain, negeri ini kerap melakukan impor ketika terjadi panen raya. Di sisi yang lain pula, penguasa tidak berhasil dalam menuntaskan penimbunan yang dilakukan pihak tak bertanggung jawab sehingga merugikan rakyat. Pada akhirnya negara gagal berperan sebagai pelayan urusan rakyat.

Islam memandang bahwa pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap individu, maka dari itu Daulah Islam akan senantiasa mencukupi kebutuhan pokok rakyat tersebut. Adapun yang dilakukan negara ketika terjadi persoalan pangan:
Pertama, negara akan mewujudkan swasembada dengan meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifkasi.
Intensifikasi pertanian: negara akan memberikan subsidi kepada rakyat sebagai agar mampu mengelola lahan pertanian. Subsidi itu berupa peralatan pertanian, benih, teknologi yang diperlukan dan sebagainya.

Adapun ekstensifikasi pertanian dengan cara meningkatkan luasan lahan pertanian. Negara tidak akan membiarkan lahan-lahan kosong tidak produktif. Jika ada lahan kosong ( tanah mati) dibiarkan selama tiga tahun, maka negara akan menghidupkannya dengan cara diambil dan diberikan kepada yang mampu mengelolanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR. Bukhari).

Kedua, negara akan mengawasi distribusi pangan. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan bahan pangan dengan adil. Selain itu tidak ada penimbunan barang, sehingga harga barang dapat stabil.

Begitulah gambaran Daulah Islam dalam menangani persoalan pangan. Sebagai negeri yang mayoritas penduduknya muslim, maka sudah selayaknya kita melirik sistem Islam atau khilafah untuk menggantikan sistem kapitalisme. Khilafah-lah yang mampu menyelesaikan segala permasalahan kehidupan manusia termasuk masalah pangan. Sehingga, ketika menjelang Ramadan maupun bulan-bulan lainnya harga pangan tetap stabil. Walhasil, tidak menjadikan para ibu galau dalam mengelola keuangan mereka.

Wallahuálam bisshowab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis