Penempatan Guru Non Muslim di Madrasah: Pendangkalan Akidah yang Kian Parah
Oleh: Umi Diwanti
Lensa Media News – Beberapa waktu lalu viral berita tentang keluarnya SK mengajar di salah satu MAN di Toraja kepada salah seorang guru geografi non Muslim. Alasan pemerintah dalam hal ini, Kemenag sudah sesuai dengan perundang-undangan yang ada di negeri ini.
Salah satunya dari pasal 23 ayat (1) PP 11 tahun 2017 yang mengatakan setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi PNS dengan memenuhi persyaratan. Agama yang dianut guru tidak masuk dalam persyaratan tersebut. Sehingga memasukkan guru non Muslim ke sekolah Islam dianggap legal dan resmi secara hukum (m.cnnindonesia.com, 1/2/2021).
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung yang sekaligus ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad menyatakan penempatan guru non Muslim harusnya hanya terjadi di daerah yang jumlah guru Muslimnya terbatas, sementara guru mata pelajaran tersebut tidak ada dari kalangan guru Muslim. Sementara kasus di Toraja ini masih bisa dikatakan 80% guru adalah Muslim. Mestinya mendahulukan penempatan guru Muslim.
Namun, pihak pemerintah tetap bersikukuh dengan kebijakan ini agar agama Islam tidak eksklusif dan sesuai dengan moderasi beragama yang sekarang sedang digaungkan di negeri ini. Mereka menekankan pada poin bahwa ini bukanlah guru mapel agama, tapi mapel umum sehingga dipandang aman.
Dalam hal ini kita harus kembali mengingat apa fungsi guru yang sesungguhnya. Yakni sebagai pembentuk kepribadian dan keimanan anak. Mereka harus menjadi teladan dalam segala hal. Bukan sekadar transfer ilmu. Sebagaimana namanya, “guru” digugu dan ditiru. Bagaimana mereka menjalankan agama termasuk cara berpakaian pun pastinya akan menjadi contoh bagi peserta didik. Hal ini tidak akan ditemui dengan baik pada guru yang berbeda akidahnya.
Satu hal penting, bahwa apa yang akan disampaikan guru pastilah dipengaruhi oleh pemahamannya. Pemahaman seseorang sangat bergantung pada akidah yang dipeluknya. Maka, menempatkan guru non Muslim di sekolah Islam sama saja sedang melakukan pengikisan akidah pada peserta didik. Sungguh kebijakan yang rusak dan merusak.
Jika kebijakan ini tetap diberlakukan dengan alasan bahwa hal ini telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka nampak jelas dua hal. Pertama bahwa negara sedang abai terhadap tugas utamanya dalam memelihara akidah umat.
Dalam Islam salah satu peran kunci negara adalah sebagai pemelihara akidah umat. Negara harusnya sigap untuk membersihkan semua perkara yang bisa merusak akidah umat. Maka perundangan dan kebijakan yang dibuat haruslah yang mampu menjaga akidah umat. Bukan sebaliknya seperti saat ini.
Kedua, kasus ini hampir berbarengan dengan kasus (pemaksaan) pemakaian jilbab di SMKN 2 Padang. Untuk kasus tersebut, ketika dikatakan bahwa kebijakan tersebut juga hasil pelaksanaan perundangan yang ada, maka serta merta perundangannya yang dipermasalahkan.
Penguasa gerak cepat merespon dengan mengeluarkan SKB 3 Menteri (suara.com, 3/2/2021) yang otomatis merevisi peraturan sebelumnya. Yakni perda-perda yang dijadikan acuan dalam pemakaian jilbab peserta didik di sekolah-sekolah. Sungguh nampak sikap ambigu penguasa. Dan kembali yang menjadi objek penderita adalah umat Islam beserta ajarannya.
Mengapa hal ini terjadi? Tidak lain karena memang sistem sekular demokrasi yang menolak agama (Islam) dalam pengaturan kehidupan yang diterapkan. Sistem ini dirancang khusus untuk memisahkan umat Islam dari pemahaman agamanya yang utuh.
Mereka tidak mampu menghapus agama Islam, namun mereka terus berusaha mendangkalkan akidah dan pemahaman umat Islam dari agamanya. Hal ini merupakan realisasi dari apa yang sudah Allah kabarkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 120. Demikian pula hadist Rasulullah Saw yang berbunyi.
“ Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Alat musuh Islam untuk merealisasikan upaya jahat salah satunya adalah melalui sistem kehidupan sekular demokrasi yang hari ini mereka tebarkan di seluruh negeri Muslim. Mengetahui hal ini, seyogyanya kita sadar dan bersegera membuang sistem sekular demokrasi. Lalu bersegera untuk kembali pada sistem kehidupan Islam yang telah Rasulullah contohkan dan teladankan pada kita. Jika tidak, maka generasi Islam terancam luntur bahkan hilang keyakinannya terhadap agamanya sendiri. Naudzubillah tsumma naudzubillah.
Wallahu a’ lam bish showab.
[ry/LM]