Tak Pernah Sendiri: Ketika Wisata Medis Berkolaborasi dengan Investasi Asing

Oleh: Soelijah Winarni

(Muslimah Asal Kota Malang)

 

Lensa Media News – Saat situasi pandemi sedang di titik kritis, harusnya pemerintah berupaya meningkatkan kinerja dalam mengatasi pandemi agar rakyat aman terlindungi. Nyatanya, pemerintah malah berpikiran untuk menyemarakkan investasi asing melalui pembukaan rumah sakit asing dan mendatangkan wisatawan medis. Berdasar analisa Price Waterhouse Consulting (PWC) di tahun 2015, Indonesia merupakan negara asal wisatawan medis dengan jumlah 600 ribu orang, ini mengalahkan Amerika Serikat dengan jumlah 500 ribu orang di tahun yang sama (liputan6.com, 18/8).

 

Menurut survei tersebut, para wisatawan medis ini menghabiskan belanja sekitar tiga hingga sepuluh ribu dollar Amerika Serikat di kota favorit Penang-Malaysia dan Singapura, dengan alasan lebih murah dan lebih cepat sembuh. Melihat potensi tersebut, Menko bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut BP berkoordinasi tentang rencana pengembangan wisata medis dengan BKPM yang dikepalai Bahlil Lahalia. Mereka berencana untuk mendatangkan rumah sakit asing serta memperbolehkan dokter asing lebih banyak di Indonesia (harianhaluan.com, 29/8).

 

Melalui wisata medis, dengan kota tujuan Jakarta, Bali dan Medan diharapkan bisa melakukan diversifikasi ekonomi. Hal ini dilakukan dengan menarik investor potensial dari luar negeri agar terwujud penyediaan lapangan kerja serta pembangunan industri layanan kesehatan berupa rumah sakit kelas Internasional. Pengambilan kebijakan tersebut menunjukkan wajah pemerintah yang berupaya menciptakan iklim usaha kondusif bagi para investor asing. Tentunya, pemerintah berharap kebijakan ini mampu mendatangkan keuntungan.

 

Perwakilan Ombudsman, Alamsyah Saragih menilai kebijakan pemerintah ini hanya menyelamatkan ekonomi dan politik semata (kompas.com, 29/8). Jelas semua fakta mempertegas bahwa pemerintah hanya fokus pada ekonomi, namun kecolongan dalam mengatasi lonjakan pasien covid serta terkesan meremehkan nyawa rakyat. Lebih lanjut, ahli Manajemen Penanganan Bencana, Puji Pujiono, melihat kebijakan yang diambil memperlihatkan bahwa pemerintah sudah menyerah atas penanganan pandemi dan keputusan pada akhirnya diserahkan pada rakyat (msn.com, 10/6). Belum lagi kita ketahui tenaga medis yang berjuang turut meregang nyawa, dan dalam 6 bulan telah tercatat 100 dokter gugur.

 

Demikianlah watak sistem kapitalis-sekuler yang memungkinkan menjadikan pelayanan publik sebagai upaya komersialisasi mengeruk untung semata. Tak menunjukkan adanya gelagat bahwa pemerintah fokus dalam melayani rakyatnya, sebagaimana janji manis dalam setiap kampanye. Saat menjabat mereka hilang ingatan dan justru membuat berbagai kebijakan yang mengorbankan kepentingan rakyat, dalam hal ini penjaminan layanan kesehatan untuk rakyatnya sendiri yang nyaman dan pastinya terjangkau. Pemerintah lebih memanjakan investor asing ketimbang mengurusi rakyatnya yang harus berjuang mengais remah-remah materi di tengah pandemi.

 

Melihat kenyataan di atas, kebutuhan akan kehadiran penguasa yang mengurusi rakyatnya dengan baik, tidak berorientasi materi dan jabatan sangatlah besar. Pengurusan terbaik tidak akan mampu dipikul oleh sistem kehidupan lain kecuali sistem Islam di bawah komando seorang Khalifah sebagai pelaksana syariat untuk menjamin pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh warga negara tanpa melihat muslim atau nonmuslim, baik kaya atau miskin.

 

Sebab dalam pandangan Islam, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang menjadi tanggung jawab negara. Bukanlah jasa yang harus dikomersialkan. Negara bertanggung jawab penuh terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan baik dari segi jumlah atau kualitasnya. Para dokter ahli, obat-obatan dan perawatan kedokteran yang dibutuhkan serta sebarannya harus dipastikan tersedia hingga ke pelosok negeri.

 

Pembiayaan kesehatan dalam Islam berbasis baitul mal dan bersifat mutlak artinya sumber-sumber pemasukan dan pintu-pintu pengeluaran sepenuhnya berdasarkan syariat. Pendapatan yang didapat bisa jadi akan melimpah ruah karena diambil dari pengelolaan sumber daya alam secara mandiri, ditambah pemasukan pos fa’i dan kharaj serta pos zakat yang pemasukannya tak kalah besar.

 

Model pembiayaan ini menjadikan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai sehingga terjaminnya pelayanan kesehatan murah bahkan gratis, berkualitas terbaik, serta mudah di akses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Negara bertanggung jawab atas upaya penyembuhan dan keselamatan keselamatan jiwa masyarakat tanpa ada sedikitpun niatan bisnis di dalamnya. Inilah fakta jaminan kesehatan sebagai buah atas pelaksanaan syari’at kaffah yang bersumber dari Allah SWT.

Wallahu alam bishawab.

 

[LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis