Jilbab Sutra untuk Haura

Oleh : Lestari umar

 

Meja makan sudah siap dengan aneka sarapan. Aroma kopi dan roti berpadu menjadi satu rangkaian  yang sangat menggugah rasa di pagi hari itu. Bu Ncih sesekali mengelap ujung meja yang sebenarnya sudah rapi dan bersih, sedangkan mama yang sedari tadi sudah duduk di posisinya hanya melihat-lihat aktifitas Bu Ncih sambil sesekali memberikan instruksi.

Kutatap mereka dari kejauhan. Perlahan  kuturuni anak tangga di sebelah koridor kamarku. Dadaku berdegup tak beraturan. Napasku seolah berkejaran dengan berbagai pertanyaan yang ada di kepala. Apakah kedua orang tuaku akan menyetujui keputusanku hari ini? Apakah bekal ilmuku sudah cukup untuk memantapkan pilihanku menutup auratku? Apakah nanti aku tak akan menyesali keputusanku ini?

 Aarrggghhhh …. Seandainya tubuh ini bisa menghilang dari hadapan mereka. Dan rutinitas sarapan ini bisa langsung ku skip seperti saat aku menonton drama Korea yang bertele-tele di awal hingga langsung menuju akhir bahagia para pemeran utamanya. Seandainya papa tidak melarangku dekat dengan Hana. Pasti keputusan berhijab tidak akan seberat ini. Seharusnya orang tuaku senang dengan keputusan anaknya yang positif ini. Pertanyaan-pertanyaan itu kujawab sendiri dengan pemakluman diri. Aku menghela napas. 

Kusudahi perang batin yang cukup menguras energi ini. Kuhampiri mama yang tampak cantik bahkan di waktu sepagi ini.

“Maa.”

Kukecup pipi mamaku dengan melingkarkan pelukan di pundaknya yang sedang membelakangiku. Mama maenyadari perubahan penampilanku hari ini dengan seragam lengan panjang yang kugunakan. Ia membalikkan badan ke arahku dengan sedikit keheranan. Dan selanjutnya percakapan antara kami pun dimulai.

“Haura? Kamu serius?” Tanya mama penuh keheranan.

“Yeah, Mam. Surprise.”

Kujawab pertanyaan mama seolah dengan kepercayaan diri. Padahal dalam hatiku masih menyimpan ragu jikalau mama melarang atau bahkan memaksa melepas hijab yang kugunakan ini.

“Kok tiba-tiba sekali?” 

Mama kembali melontarkan pertanyaan keheranannya. Namun kali ini sambil sedikit tersenyum dan menggiringku duduk ke arah kursi disebelahnya. 

Belum ku jawab pertanyaannya. Beliau sudah membuka mulutnya lagi.

“Nggak apa-apa sayang. Kamu terlihat cantik. Mama suka.” 

Mama menggenggam kedua tanganku dengan erat. Aku meneteskan air mata tanpa rencana. Aku senang mendengar ucapan mama barusan. Dan akupun berharap papa akan melakukan hal yang sama.

“Pagi semuanya.” Suara papa yang berat memecah keheninganku dan mama yang sedang berangkulan. 

Sejurus kemudian papa sudah berada di kursi yang ada dihadapan kami. Ia membelalakan matanya lengkap dengan ekspresi terkejut yang membuat dadaku kembali berdegup seirama detak jarum  jam.

“Haura?” Papa menyebut namaku dengan ekspresi keheranan.

Mama langsung mengambil alih pembicaraan sesaat ketika aku mencoba menjelaskan situasinya kepada papa.

“Iya Pa, Haura mulai pakai hijab pagi ini. Bagaimana, cantik kan?”

“Cantik lah. Tapi,” papa tidak melanjutkan perkataannya. 

Tangan kanannya meraih cangkir berisi kopi hitam kesukaannya. Sesekali ia mengusap rambut belakangnya. Hingga kemudian melanjutkan kalimatnya lagi.

“Kok tiba-tiba de? Kamu benar sudah yakin? Kamu ikut pengajian apa? Sama siapa?”

“Iya pa,  mama juga kaget tadi. Coba cerita sama Papa Mama, sayang!” 

Kupersiapkan diriku untuk menjawab pertanyaan kedua orang tuaku tersebut. Aku mencoba menjelaskan dengan santai dan menceritakan dengan singkat perihal keputusanku kepada mereka. 

“Haura merasa sudah siap saja Ma, Pa. Kalau sudah ada niat baik kenapa harus ditunda, iya kan?”

Diluar dugaan. Kedua orang tuaku tidak merespon lagi jawabanku itu. Mereka hanya saling melirik satu sama lain. Kami tidak membicarakan apapun hingga selesai sarapan. Papa bergegas berangkat ke kantornya. Dan akupun bersiap menuju sekolah dengan diantar pak Bagio. Mama mengantarkan kami sampai di pintu. Kami berpisah di jam itu menuju rutinitas harian masing-masing hingga nanti berkumpul kembali di sore atau malam harinya.

***

Sambil membungkuk aku  mengendap-endap di depan mading sekolah. Dari arah pintu gerbang nampak sekelompok teman-teman yang sedang berjalan maju ke arahku. Ku coba memalingkan  wajah ke arah mading, menelusuri bacaan yang tertempel disana. 

“Haura!”

Suara teriakan Nuri seketika membuatku terkesiap. Benarkah teman akrabku itu memanggil dan menyadari keberadaanku dengan penampilan baruku ini? Aku tak bergeming hingga akhirnya tepukan keras mendarat di pundakku.

Tepukan itu akhirnya memaksaku menoleh kearah sang pemilik tangan. Sambil sedikit menutupi wajah,  aku berbalik ke arah Nuri yang langsung menghujaniku dengan sapaan dan pertanyaan-pertanyaan konyol khasnya.

“Eh, Ra. Ngapain lo? Ih, nggak salah Lo?”

Nuri  teman akrabku  itu terlihat keheranan. Sama herannya dengan Papa Mamaku pagi tadi.  Sesekali ia mengibas-ngibaskan kerudungku sambil mengernyitkan dahi.

“Haura. Diem aja. Ke kelas yuk!”

Kali ini giliran Maya yang menyapa dengan langsung menggandeng dan menarik tanganku untuk beriringan masuk ke kelas. Seperti biasa kami berjalan masuk kelas bersama. Hingga di sudut kursi belakang kelas tempat kami duduk biasanya. Dan Nuri kembali bertanya tentang keputusanku berhijab.

“Lo serius, Ra? Gara-gara deket sama Hana nih jadi begini.”

“Iya, berubah banget si Lo? Gak usah segitunya kali.” Maya menimpali.

Nuri kembali membuka mulutnya dan mengeluarkan pendapatnya.

“Kenapa sih harus hijab, Ra? Nanti modeling lo, bagaimana? Trus risih gak sih kita ke tempat nongkrong kita?”

Sebenarnya sedari tadi aku sudah ingin langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan kedua temanku. Namun, apakah jawabanku nanti bisa mereka terima? Ataukah mereka malah menjauhiku karena menganggap aku kini lebih memilih dekat dengan Hana?

Iya, Hana. Gadis cantik teman sekolahku yang berhijab panjang. Ia anak rohis yang tak pernah sekalipun aku sapa meskipun kami satu kelas. Ia juga tak pernah sekalipun  menyapaku sejak hari pertama kami dikumpulkan di kelas ini. 

Hingga suatu hari setelah jam olahraga, ia menghampiriku yang sedang memutar-mutar kipas angin mini melingkari wajah dan leherku. Ia mendatangiku dan menegurku dengan sangat hati-hati. Ia mengingatkanku kalau auratku (dada) hampir kelihatan. 

Awalnya aku tak pernah mempedulikan ketika kancing bajuku memang sengaja kubuka agar leherku terkena kibasan kipas angin mini kesayanganku itu. Namun, entah mengapa saat ia menegurku kali itu ada perasaan yang aneh dalam diriku. Hingga seingatku bulu kudukku seolah mengembang satu persatu.

Sejak saat itulah kami mulai dekat. Hana sering mengajaku pergi ke kajian keislaman tiap hari Minggu di masjid raya kota kami. Dan sudah beberapa kali aku rutin mengikuti kajian tersebut. Selain itu, aku juga kadang mengobrol dengan Hana di kelas ketika jam kosong atau ketika waktu istirahat. 

Perlahan pemahaman keislamanku makin bertambah. Sesuatu yang sedikit sekali aku dapat dari orang tuaku yang cenderung santai untuk perosalan agama. Apalagi Papaku. Bagi Papa, yang penting shalat dan melaksanakan rukun Islam saja sudah cukup baginya yang kemudian ditanamkan juga kepada aku dan mama. 

Huuft… aku menghela nafas panjang. Kuurungkan rangkaian kata-kata yang kususun untuk menjawab pertanyaan mereka.

***

“Selamat siang  anak-anak.”

“Selamat siang, Pak.”

Tepat pukul 14.00 WIB, pak Hartanto guru mata pelajaran matematika mengakhiri jam pelajaran. Itu berarti kegiatan belajar mengajar hari ini sudah usai. Kurapikan buku-buku dengan segera. Seharian berkutat dengan buku membuatku penat. 

“Kita kemana nih?”

Hype ,yuk”

Percakapan antara Nuri dan Maya membuka obrolan kami. Sesekali setelah sepulang sekolah kami memang biasa nongkrong di kafe favorit kami itu. Dan setelah semua buku dan peralatan masuk kedalam tas, kami bertiga langsung bergegas keluar kelas. 

Mendekati pintu, aku melintas di samping kursi tempat duduk Hana yang berada paling depan di dekat pintu tersebut. Hana menyapaku dengan ramah begitu kami berpapasan disana.

“Haura, hari Ahad besok bisa ikut?”

“Iya, Na, insyaAllah ya” jawabku dengan senyum yang mengembang.

“Oke” sahut Hana menimpali.

“Daah”

Kami berpisah dengan saling melambaikan tangan. Aku kembali melanjutkan langkahku menuju parkiran.  Kutengok kedua sahabatku yang sedari tadi ada di belakangku. Seperti biasa mereka memasang wajah tak ramah setiap kali aku bertegur sapa dengan Hana. Padahal sepanjang hari di sekolah aku selalu bersama mereka. Hanya sedikit saja waktu ku berbincang dengan Hana. Aku masih mau menjaga persahabatan kami. Dan sepertinya kedua  sahabatku itu masih belum menerima kalau aku berteman akrab dengan Hana.

***

Selesai jalan  bersama  Nuri dan Maya, aku segera pulang ke rumah. Pak Bagio memarkir mobil dengan santai. Kubuka pintu mobil dan berjalan menuju pintu rumah. 

Assalamualaikum” kuputar gagang pintu sambil mengucap salam. Sayup-sayup terdengar  suara mama menjawab salamku dari dalam rumah. 

Waalaikumsalam

Kuhampiri mama yang sedang duduk menonton acara talkshow televisi sore hari seperti biasanya. Kuraih tangan beliau dan mengecupnya dengan khidmat.

“Bagaimana tadi di sekolah seharian, kamu nggak panas?” Tiba-tiba mama membuka percakapan yang terdengar cukup aneh.

Tapi aku sudah mampu menebak bahwa yang Mama maksud adalah kerudung yang kugunakan selama seharian ini.

“Nggak kok, Mah. Nyaman-nyaman aja. Kan aku punya kipas mini. Hehehhe …” kujawab rasa penasaran mama tentang kerudungku dengan candaan. Mama terlihat  tertawa lepas begitu mendengarnya. Dan kemudian bertanya lagi.

“Temanmu yang suka ajak kamu kajian itu siapa namanya? Mama lupa.”

“Oh. Hana. Kenapa Hana, Mah?”

“Oh iya, Hana. Kamu kenal di mana sama dia?” Mama kembali bertanya kepadaku. Kali ini tentang Hana yang memang belum terlalu dikenalnya.

“Hana kan teman sekelasku, Mah. Rumahnya di perempatan sana di belakang grosir. Anaknya baik lho, Mah, cantik, pinter, ra …”

“Iya iya, Mama tau. Mana mungkin kamu mau berteman dengan dia kalau dia tidak baik. Iya kan?”

Mama memotong ceritaku tentang Hana. Selanjutnya beliau memberikanku wejangan yang sangat panjang. Dan menyampaikan bahwa Papa khawatir akan perubahanku yang terkesan tiba-tiba memutuskan berhijab.

“Tidak ada Islam garis keras, Mah. Islam itu cuma satu. Islam garis lurus. Tidak ada dalam Islam yang mengajarkan kekerasan.”

“Papa cuma khawatir sayang. Kamu hati-hati ya!”

Sebenarnya aku masih mau menjelaskan panjang lebar tentang apa yang menjadi keresahan papa yang baru saja disampaikan oleh mama. Tapi sepertinya waktunya belum memungkinkan.

***

Hari-hari berlalu sejak keputusanku berhijab. Papa masih saja menyampaikan keluh kesahnya kepada Mama perihal hijrahku ini. Entah mengapa papa tak pernah menyampaikan langsung denganku. Dan justru hal itu membuatku semakin bingung jika ingin membuka percakapan dengannya terkait isu-isu keislaman yang senantiasa dihadirkan dilayar televisi. 

Isu-isu inilah yang menurutku menjadi dasar dari kerisauan Papa melihatku hijrah. Papa terlalu khawatir aku terbawa arus aliran-aliran sesat yang kadang dimunculkan di media. Atau bahkan ikut dalam kelompok radikal sebagaimana  yang sering diangkat dalam topik-topik diskusi yang jauh dari fakta sebenarnya. Bahkan tak jarang sebagian besarnya hanya berisi narasi yang menjurus kepada fitnah.

Kukuatkan dzikir di tiap pagi dan petang. Kuselipkan nama papa dan mama di setiap lantunan doa yang kuucap seusai shalat. Harapanku hanya satu. Bisa mengajak mereka juga dalam mengecap manisnya langkah hijrah sepertiku. Meskipun tertatih, setidaknya kita tidak akan tertinggal terlalu jauh ketika sudah berniat memulainya.

Bip bip bip … mode getar telepon selularku mengalihkan pandanganku dari buku yang sedang kubaca petang itu. Kutengok nama kontak yang tertera dilayar. Mama menelpon.

Assalamualaikum, Ma” sapaku sesaat setelah kutekan logo hijau disana.

“Haura … Haura, sayang …” suara Mama terdengar terisak dari sebrang sana. Seketika aku langsung merasa khawatir. Ada apa dengan mama.

“Mama kenapa, Ma? Halo, Ma? Mama di mana?” tanyaku sejurus kemudian.

“Papa Ra…papa..”mama hanya menyebut kata papa, membuatku semakin khawatir dan bertanya-tanya.

“Mama dimana? Haura kesana, ya” 

Kuraih jilbab dan kerudung yang tergantung di dinding kamar. Aku berlari bergegas menemui pak Bagio untuk meminta diantarkan ke rumah sakit. Kepalaku seperti mau meledak. Tangisku pecah tak terbendung.   

Papa dan Mama dalam perjalanan kembali dari kediaman rekannya yang sedang melangsungkan syukuran siang tadi. Dan baru saja mereka mengalami kecelakaan. Mama hanya mengalami luka ringan. Sementara Papa masih tak sadarkan diri, menurut apa yang disampaikan mama barusan di telepon. 

Entah mengapa perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lama dan menyesakkan dada. Dan seketika  air mataku kembali menetes membayangkan wajah kedua orang tuaku itu.

***

Tiba dirumah sakit aku langsung menghambur ke ruang instalasi gawat darurat. Aku menengok kesegala arah mencari keberadaan mereka. 

“Haura!” 

Aku langsung bisa mengenali suara Mama ketika menyebut namaku. Aku menoleh ke arahnya. Kuhampiri Mama yang sedang duduk disamping Papa yang terbaring di salah satu tempat tidur pasien.

“Bagaimana keadaan Papa, Mah?” tanyaku sambil sekuat tenaga menahan tangis di hadapannya.

“Papa masih pingsan sayang” 

“Ya Allah, semoga papa tidak kenpa-kenapa ya, Ma. Aamiin.”

Aamiin.” 

Mama mengamini ucapanku dengan mengangkat kedua tangannya. Kami masih memandangi Papa yang belum sadarkan diri. Hingga beberapa jam kemudian Papa siuman. Aku mengucap syukur kepada Allah atas kasih sayang-Nya. Dengan mata yang masih setengah terbuka Papa menyapa aku dan Mama.

“Mah, Haura, kita dimana?” suara papa yang masih terdengar lemah memecah ketegangan kami.

“Kita dirumah sakit, Mas. Mas istirahat saja ya!” mama menjawab pertanyaan papa dan mencoba untuk menenangkan beliau.

“Tapi kenapa kita di rumah sakit. Awh …” Papa tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Beliau terlihat menahan sakit di dadanya. 

Mama segera memanggil dokter. Dan setelah ditangani di intalasi gawat darurat, akhirnya papa dipindahkan di ruang rawat inap. 

***

Hampir seminggu Papa dirawat di rumah sakit. Walaupun tidak mengalami patah tulang. Benturan keras di dada beliau akibat kecelakaan hari itu telah membuat kesehatannya terganggu. Tapi, Alhamdulillah, hari ini Papa sudah terlihat baikan dan diizinkan untuk pulang ke rumah. 

Aku dan Mama mempersiapkan kepulangan Papa dengan sangat antusias. Khusus untuk penampilan hari ini, aku memilih jilbab dan kerudung senada berwarna pink. Sedangkan Mama tetap dengan gaya ala sosialita Jakarta yang tak pernah absen dengan sanggul dan kalung mutiara. Aku berdoa sejenak, semoga kelak Mama bisa mengenakan hijab syar’i sebagaimana seharusnya wanita muslimah.

Assalamualaikum, Pa,” aku menyapa Papa dengan senyum sumringah diwajahku.

Papa membalas salamku dengan senyuman juga yang tak kalah menawannya. Sambil sesekali mengelus kerudung di bagian kepalaku. Papa seolah tak pernah berkedip memandangiku, membuatku memberanikan diri bertanya kepadanya.

“Papa kenapa, sih? Senang banget kelihatannya.”

“Kamu cantik sekali, Haura. Nanti Papa belikan jilbab sutra yang cantik untuk kamu ya.”

“Ini kerudung, Pa. Kalau pakaian yang Haura pakai ini namanya jilbab. Tapi, kok tiba-tiba Papa mau belikan Haura jilbab?”

Hmmm. Papa mau cerita sedikit ya, sayang. Sini dekat Papa.” Papa sedikit menarik lenganku ke arahnya dan kemudian melanjutkan ceritanya.

“Waktu Papa kecelakaan itu ada yang menolong Papa. Dia seorang ayah juga seperti Papa. Dia dengan istri dan anaknya menuju ke arah Bogor. Papa tidak menyangka kalau orang seperti dia yang menolong Papa.”

Kudengarkan cerita Papa dengan serius. Tampak bulir bening di sudut mata papa yang langsung dihapusnya dengan tangannya.

“Laki-laki itu sangat baik sekali. Dia seperti malaikat yang menolong Papa dimasa-masa kritis saat itu. Dia pakai jubah putih panjang hingga ke lutut. Istrinya pakaiannya seperti kamu, anak perempuannya juga. Sebenarnya papa tidak ingat apa-apa lagi sesaat setelah laki-laki itu menolong Papa, kemungkinan Papa pingsan.”

“Terus, Pa?” Pintaku agar papa melanjutkan ceritanya.

“Entah kenapa, sekilas melihat anak gadis laki-laki itu Papa langsung terbayang kamu, sayang. Seketika Papa bangga dan bersyukur, Papa juga memiliki anak seperti gadis itu. Hanya bedanya, gadis itu mungkin dididik dan diajarkan ilmu-ilmu agama oleh ayah dan ibunya. Tapi kamu … “

Papa kembali mengusap air matanya. Kali ini mengalir lebih deras.

“Kamu berubah ke arah yang lebih baik dari hari ke hari. Kamu semakin berbakti sama Papa dan Mama. Tapi Papa, Papa malu Haura. Papa malu dengan kesombongan papa. Bukannya Papa bersyukur dan mendukungmu, Papa malah sering membuat hatimu gusar. Iya kan, sayang? Maafkan Papa ya, sayang.”

Aku tak kuasa mendengar lanjutan kata apa lagi yang hendak papa ucapkan. Walau masih sedikit kaget dengan apa yang barusan kudengar tadi, sebenarnya aku bersyukur. Sungguh luar biasa cara Allah mengetuk pintu hati Papa. Bahkan dimasa-masa mencekam saat  kecelakaan tersebut pun cahaya hidayah Allah nampak terang dalam pandangan papa.

Papa menggenggam tanganku. Kali ini lebih kuat.

“Ajak Papa mengenal Islam lebih dalam yaa sayang. Ajak papa ke kajian-kajian yang sering kamu datangi di masjid raya. Papa juga mau hijrah, Nak.”

Semilir hembusan angin merambat perlahan. Desiran ombak kegelisahan sirna seiring untaian kata-kata yang mengalun diiringi niat meniti jalan takwa. Mungkin inilah jawaban dari apa yang selalu ku pinta dalam do’a. Dalam keheningan hati aku hanya mampu berucap, Alhamdulillah…Alhamdulillah Yaa Rabbanaa…

 

-SEKIAN-

 

[sn/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis