Kuingin Sesurga Bersamamu, Nerakamu Aku Tak Mau

 

(Bagian 2-Tamat)

Oleh : Sunarti PrixtiRhq

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

#################################

 

Gelap suasana selimuti rumah lestari. Alunan rindu nan merdu Si Burung malam pecahkan kesunyian. Gelap suasana persawahan kian pekat. Serasa beradu dengan gulita hati Lestari. Dia bingung, dia limbung. Rasa bersalah akan perilaku suami yang memiliki wanita lain, serasa menusuk hati.

Dan kali ini bertambahlah bersalahnya, saat dia tahu suaminya berzina lantaran kecewa dengan penampilan taatnya pada “Rabbul Izati”. Rasa takut yang luar biasa juga menghinggapi batin Lestari, tatkala Jatmiko dengan lirih mengatakan hadist tentang terhapusnya amalan istri karena berkata kasar pada suami.

Lestari hanya menghela napas berat. Didengarkan dengan sabar apa yang Jatmiko katakan padanya. Di benak Lestari cuman ada satu pemikiran “Aku tak mau suamiku berzina.”

Lestari yang masih terisak dengan tangisnya perlahan angkat bicara. “Mas, aku mohon, putuskan wanita itu sekarang. Berhenti berzina! Dan aku mohon malam ini juga kita selesaikan persoalan ini,” kata Lestari yang tetap kukuh dengan keinginannya.

Akhirnya merekapun berangkat di tengah malam gulita menuju kota tempat tinggal si wanita simpanan Jatmiko.

Tubuh Lestari yang mungil dan kurus itu dibungkus jaket tebal. Dengan memeluk tas rangsel milik anaknya, Lestari berjalan mengikuti suaminya menuju sepeda motornya. Sepanjang perjalanan air mata tak henti mengalir dari sudut kedua matanya. Sementara ucapan istigfar yang dilafalkan oleh mulut mungil Lestari juga tak terhenti. Di benaknya tidak ingat lagi anak-anak mereka esok hari, yang Lestari ingat hanya “dosa zina ini harus segera diputus.”

Empat jam sudah perjalanan mereka menuju rumah wanita kekasih Jatmiko. Sesampai di tempat tujuan, mereka disambut oleh dua orang pria setengah baya dan seorang wanita usia duapuluhan tahun. Mereka berlima duduk di sebuah ruangan dalam sebuah rumah mungil yang konon milik Nika. Yah, Nika nama perempuan yang merebut hati suami Lestari.

Setelah basa-basi, Jatmiko memperkenalkan Lestari kepada mereka. Dengan nada berat Jatmiko menyampaikan maksudnya datang di pagi menjelang Subuh itu. “Begini Pak dan Paman, kedatangan saya ke sini untuk mengembalikan putri Bapak. Bagaimanapun saya tidak bisa mendua selamanya. Dan saya memilih Ibunya anak-anak untuk melanjutkan rumah tangga ini. Nika, maafkan saya. Saya tidak bisa melanjutkan perjalanan kisah ini bersamamu. Carilah pria yang lebih baik dariku. Kamu masih muda, kamu bisa mendapatkan yang lebih dariku,” jelas Jatmiko.

“Apa, Mas? Delapan tahun kita bersama, cuma begini akhirnya?” kata wanita berpakaian seksi itu dengan lantang. Tubuhnya hanya berbalut “tank top” dan tampak jelas tonjolan di bagian tubuhnya.

Wanita itu terhenyak dari tempat duduknya. Mukanya tampak geram, tangannya mengepal kuat. Tampak gemertak gigi-giginya. Kakinya yang hanya mengenakan celana di atas lutut, tampak semakin jelas dari tempat Lestari duduk. Rupanya wanita macam begini yang membuat suamiku menggadaikan surganya. Dialah Anik Anindita, wanita yang akrab disapa Nika.

Batin Lestari hanya melafalkan istigfar. Matanya yang sudah sayu, tampak semakin sayu dengan rasa kantuk yang masih mendera. Hatinya kembali berdebar melihat wanita di depannya berdiri dan berkacak pinggang. Disertai dengan desahan napas yang keras dan pandangan mata melotot, membuat Lestari kian was-was. “Apa yang akan dia lakukan?” kata hati Lestari.

“Apa, Mas? Jadi selama delapan tahun ini, kamu berzina?” kata Lestari dengan nada gemetar. Matanya sudah mulai berkaca-kaca kembali. Debar jantung Lestari semakin cepat. Raganya serasa lunglai mendengar semuanya. Apakah suaminya berzina karena dirinya yang tidak taat untuk berpenampilan seksi?

“Ya tidak to, Bu. Wong mereka sudah nikah siri,” kata lelaki yang bernama Lukito, dia adalah bapak si wanita di depan Lestari.

Tubuh Lestari terasa limbung. Hawa dingin menyeruak di leher belakangnya, seolah dikompres dengan gumpalan es batu. Badannya dirasa menggigil tanpa sebab. “Astagfirullah,” ucap Lestari lirih. Dia berusaha menahan amarahnya.

“Aku tidak mau kau cerai, Mas. Aku selama ini cuman minta waktumu tiga hari dalam satu bulan,” kata Nika dengan ketus. Tampak Nika membuang muka karena marah.

“Eh, Bu, lagian kenapa Ibu tidak rela berbagi? Bukankah Ibu lebih tahu ilmunya poligami?” ketus kata Nika ke arah Lestari. Tangan Nika menunjuk-nunjuk muka Lestari. Yang diperlakukan begitu, cuman memandang dengan pandangan hambar. Hancur hati Lestari semakin menjadi. Matanya yang sudah basah dengan air mata, kini semakin deras saja. Sesenggukan kembali Lestari dengan perlakuan madunya. Sementara ketiga lelaki yang berada di ruangan itu terdiam.

“Minggu ini, jatah saya kau kunjungi, Mas. Tapi engkau tak datang. Eh, sekarang malah datang dengannya, istrimu yang kau bilang kuno dan penyakitan itu,” ketus kata Nika menembus dada Lestari yang sudah terluka. Serasa semakin perih kini napas di dadanya.

“Aku hamil Mas, baru saja aku mau memberitahumu. Tapi kenapa tiba-tiba kau hendak menceraikanku?” kata Nika. Kali ini kata-katanya tercekat di kerongkongan.

“Astagfirullah,” hampir bersamaan Lestari dan Jatmiko berucap. Lestari masih dengan tangisnya tetap duduk di atas kursi. Sementara Jatmiko menenangkan Nika dengan mendekatinya.

“Sudah, berarti saya belum bisa memutuskan semua ini, Dik Nika, maafkan saya. Buk, kita jernihkan pikiran. Aku tidak mungkin memilih kalian. Kalian sudah menjadi bagian hidupku selama ini. Buk, maafkan aku. Selama ini tidak bisa menerimamu apa adanya. Hingga aku tergoda dengan Nika. Sedikit banyak aku tahu dosa, dan mereka berdua ini paman dan ayah Nika, yang menikahkanku dan menjadi saksinya,” jelas Jatmiko sambil merengkuh Nika dan mengajaknya duduk kembali.

Azan Subuh membuat mereka menghentikan perbincangannya. Nika berkelebat menuju sebuah kamar di sisi ruang tamu. Dihentakkan pintu kamar itu dengan keras. Sementara Lestari meminta izin kepada paman dan ayah Nika untuk salat di musala terdekat. Kedua pria ini pun mempersilahkan dan menunjukkan arah musala terdekat. Dan Jatmiko masih termangu di kursi, mukanya ditutup dengan kedua tangannya.

Lestari melangakah sendiri ke musala yang tak jauh dari rumah Nika. Kegalauannya hendak dia luapkan di hadapan Rabbnya. “Yaa Allah, kuatkan aku,” katanya dalam hati.

Lestari menerima keputusan suaminya meskipun masih dengan hati berat. Meskipun suaminya bilang hendak memutuskan hubungan dengan wanita itu, tapi buktinya Jatmiko malah hendak memiliki anak dengan Nika. Dalam benak Lestari, kehidupan anak-anaknya lebih penting daripada sekedar perasaan sakit hatinya. Dia akan selalu rela dengan keputusan suaminya apabila hal itu tidak untuk bermaksiat pada Allah Ta’ala.

Dalam hatinya hanya ingin menaati suaminya dengan tidak bermaksiat kepada Allah. Meskipun hal yang dibenci suaminya adalah ketaatannya kepada Allah, yaitu menutup aurat. Namun Lestari berusaha dengan kuat untuk menjaganya. Ia tidak mau ketaatan kepada suaminya melebihi ketaatannya kepada Allah. Memang dia ingin ke surga bersama suami dan anak-anaknya, tapi ternyata perihal prinsip ketaatan Jatmiko justru sama sekali tidak taat kepada hukum Allah.

Ia tidak ingin Jatmiko meninggalkan dirinya dan anak-anaknya. Dia ingin berusaha menyadarkan Jatmiko sekuat kemampuannya. Meskipun hatinya masih terasa sakit. Namun di benak Lestari tersimpan harapan luasnya surga Allah tatkala dia tetap istiqamah dalam ketaatan.

(HW/FA)

Waallahu ‘alam bishawab.

* Kisah di atas hanya fiktif semata. Bila ada nama tokoh dan peristiwa yang sama, itu hanya kebetulan saja.

Please follow and like us:

Tentang Penulis