Kuingin Sesurga Bersamamu, Nerakamu Aku Tak Mau

 

(Bagian 1)

Oleh : Sunarti PrixtiRhq

“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” [Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1159)]

==================================

Semburat cahaya mentari menerobos rumpun bambu di sebuah pedesaan. Cahayanya memancar menembus, hingga bawah batang-batang panjang bambu. Dan menerpa atap genting pada rumah kayu yang tampak kokoh. Sebuah rumah besar yang berbatasan dengan pematang sawah itu tampak sepi sepagi ini.

Rumah besar yang dihuni oleh tiga orang anak dengan ibu bapaknya. Ibu Lestari dan Pak Jatmiko. Mereka memiliki tiga orang anak, Raihan, Raihana dan Raihani. Hidup Lestari dan Jatmiko diliputi ketenteraman dan kedamaian selama hampir dua puluh lima tahun. Meski dengan gaya hidup yang sederhana, mereka selalu jalani dengan bahagia.

Selain seorang petani tekun, juga sebagai seorang yang disegani di desanya, Jatmiko pandai bergaul dengan siapa saja. Demikian juga dengan anak dan istrinya. Banyak sekali kenalan dari Jatmiko maupun Lestari istrinya.

Lestari adalah perempuan yang tekun. Selain tekun membantu suaminya di sawah, dia juga sosok yang tekun belajar Islam. Tak jarang kesehariannya dihabiskan di sawah untuk merawat tanaman hortikultura (cabai, tomat, sayur-sayuran dan lainnya). Sesekali saja dia pulang agak siang untuk menekuni Ilmu Islam bersama ustazahnya. Sementara pekerjaan di rumah, seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dia selesaikan menjelang subuh atau sehabis salat isya. Lestari juga lebih sering bangun di sepertiga malam, untuk bersujud dan mengadukan berbagai persoalan kepada Rabbnya. Dan melanjutkan pekerjaannya setelah puas bermunajad pada Tuhannya.

Pergolakan muncul di hati Lestari. Kala itu Lestari sengaja pulang lebih awal dari sawahnya. Ia berniat untuk membereskan rumah dan baju-baju yang sudah menumpuk di dapur, membuatnya bergegas menuju rumah.

Dan sore itu Lestari sengaja tidak kembali ke sawah. Dia hendak menata baju-baju suami dan Raihani yang sudah menumpuk di dipan kayu dekat dapurnya. “Besok suami ke kantor dan Hani ke sekolah. Aku kemarin belum sempat setrika baju mereka,” kata lirih Lestari.

Diraihnya beberapa pakaian di dipan kayu itu. Sekejap tubuh rampingnya melangkah ke ruang tengah yang sudah terhampar tikar anyaman. Ditaruhlah baju-baju dalam rangkulannya di tepi tikar. Dahi Lestari yang sedikit terlihat dari balik kerudung tampak berkeringat. Diusapnya keringat itu dengan tangannya yang kecil dan keriput.

Dengan sedikit mendesah Lestari menuju almari kayu di ujung ruangan. Diambilnya tumpukan selimut dari dalam lemari. Masih dengan wajah lelahnya, Lestari menata selimut-selimut itu di atas tikar. Dengan cekatan tubuh mungilnya mengambil setrika dan gulungan kabel di bawah meja di dekat almari kayunya.

Penuh hati-hati dia memasang kabel ke colokan dan dilanjutkan dengan memasang colokan setrika ke terminal saluran listrik yang dibawanya. Sembari duduk pelan-pelan di antara tumpukan baju dan hamparan selimut, desahan kecil keluar dari mulutnya. Tidak lama, beberapa pakaian sudah rapi tertindas setrika Lestari yang maju mundur dengan cekatan.

Baju-baju sudah hampir habis disetrika. Tibalah baju kemeja biru suaminya, kali ini pandangan matanya mencurigai sesuatu di dalam saku atas kemeja itu. Tapi segera ditepisnya rasa curiga itu, dia tidak mau suuzan. “Memang saku yang belum disetrika kan menggelembung,” batinnya. Dilanjutlah dia taruh kemeja di atas selimut dan tangan mungilnya kembali menggerakkan setrika maju mundur di atas lengan baju biru itu bergantian. Akhirnya jalan setrika itu terhenti sampai di bagian depan baju.

Dan betapa terkejut saat ujung depan setrika itu menyentuh benda dalam saku. Tidak bisa ditindas dengan setrika dan tampak tonjolannya sangat nyata. Akhirnya tangan kanan Lestari reflek mengecilkan voltase setrika dan memiringkan setrika itu. Segera diraihnya kemeja itu. Dirogohnya isi saku baju biru yang hampir seluruhnya halus oleh setrika. “Astagfirullah” jerit Lestari seketika mengetahui isi saku.

Beberapa kali diusaplah wajah yang mulai dirasanya dingin itu, sambil mulutnya terus beristigfar. Tubuhnya serasa lemas dan lunglai tiada berdaya, dengan apa yang dilihatnya. “Ya Allah, Astagfirullah. Barang ini milik wanita tapi ini bukan milikku,” ucapnya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya gemetar, leher belakangnya terasa kaku dan panas. Dadanya mulai terasa sesak hingga sesekali tersengal.

Angan Lestari kembali pada masa lalu, saat dirinya menemukan foto wanita di laci kerja suaminya. Sebagai seorang aparat desa Jatmiko punya jawaban kuat saat Lestari menanyainya tentang foto itu. “Oh, itu, warga baru di dusun sebelah. Aku diminta membuatkan keterangan tinggal sementara,” kata Jatmiko dengan tenang.

Dengan jawaban tenang Jatmiko, membuat Lestari percaya. “Toh, dia jujur selama ini. Aku juga tidak mau suuzan padanya,” kata hati Lestari kala itu. Tapi kali ini betapa debar dadanya tidak menentu. Kecurigaan tiba-tiba muncul di benaknya. Suuzan akhirnya tumbuh begitu saja saat dilihatnya ‘pakaian dalam (under ware)’ itu bertengger di saku suaminya yang jelas-jelas bukan miliknya.

Lestari tergugu sendiri di tempatnya. Tiada kuasa ia beranjak. Tangannya yang kurus memeluk baju dinas suaminya. Semetara wajahnya tertunduk dengan deraian air mata. Isak tangis yang tidak bisa dia tahan lagi meluap begitu saja. Kacau, hatinya.

“Ibu kenapa?” tiba-tiba suara Raihan mengagetkan Lestari.

“Ah, eh kamu, Han. Dari mana?” tanya Lestari gugup. Tanganya berusaha menutupi tangisnya dengan mengusap pipi yang basah.

“Ah, Ibu. Ada apa?” tanya Raihan lagi. Rupanya anak pertama Lestari ini, sudah melihat Ibunya sedang menangis sendirian. Desentuhlah pundak wanita paruh baya itu dengan lembut.

“Bu, katakan saja, ada apa?” suara Raihan lembut dan menenangkan ibunya.

“Ah, tidak, tidak ada apa-apa,” jawab Lestari masih gugup. Dia masih berusaha menyembunyikan gejolak hatinya.

Dengan cekatan Lestari segera membereskan pakaian yang disetrikanya. Seperti tidak terjadi apapun, dia meninggalkan Raihan yang masih berdiri di atas tikar. Gelagat yang tidak biasa dia dapati dari ibunya. Raihan pun memandang ibunya dengan lekat hingga ibunya masuk ke kamarnya dengan setumpuk pakaian rapi.

Berharap ibunya mau bercerita, Raihan masih menunggu di tempatnya semula. Namun yang ditunggu tidak segera ke luar kamar. Raihan menuju kamar ibunya, diketuknya pintu kamar itu dengan pelan. “Bu, boleh aku masuk? Ibu, cerita saja ada apa?” Raihan memohon pada ibunya. Namun, wanita yang dipanggil ibu yang saat itu di dalam kamar, hanya diam tanpa suara. Raihan tidak mau membuat ibunya tambah kecewa. Maka berlalulah dia dengan tanda tanya besar di benaknya.

Sore itu berlalu seperti tidak terjadi sesuatu di rumah Lestari. Seperti hari sebelumnya, sebagai ibu, Lestari menjalankan rutinitas sore hingga malam tanpa ada perubahan. Meski hatinya kecut dan kecewa, tapi dia simpan rapat-rapat.

Malamnya, Lestari memanfaatkan kelonggaran Jatmiko. Menjelang tidur malam, Lestari menunggu suaminya merebahkan tubuhnya. Sementara dia masih terduduk di kursi riasnya. Sambil menata hati dan menyusun kata-kata yang pas untuk menanyakan siapa pemilik benda di saku suaminya itu.

“Buk, kok gak segera tidur? Bukannya tadi pulang siang setrika? Apa ndak capek?” tanya Jatmiko.

“Eh, em, anu Yah. Aku, ehm, aku…” jawab Lestari terbata.

“Ada apa, kok gugup begitu. Ada masalah?” tanya Jatmiko yang terbangun dari rebahannya.

Tak ada jawaban dari Lestari. Pandangan matanya kosong. Pikirannya melayang. Serasa panas dalam dadanya mengalir ke atas, menjalar ke leher dan telinga. Dan tangisnyapun pecah. Kedua tangannya menutup mukanya yang basah oleh air mata. Tubuh Lestari terguncang di atas kursi, sesenggukan.

Jatmiko bingung dengan istrinya yang tak biasa menangis tersedu. Segera dia turun dari ranjang dan mendekati istrinya. “Ada apa? Katakan!” kata Jatmiko datar. Tangannya mengelus kepala istrinya dengan penuh sayang.

Lestari semakin tidak bisa menahan tangisnya. Tangannya yang kecil segera merangkul pinggang Jatmiko yang berdiri tepat di depannya. Tangisnya semakin menjadi. “Astagfirullah, astagfirullah. Kamu ngapain saja selama ini, Mas? Kamu ke mana saja?” kata Lestari di tengah tangisnya. Sesekali dia pukul-pukul perut suaminya dengan kesal. Jatmiko semakin bingung dengan ulah Lestari.

“Katakan, Kamu kenapa?” Jatmiko terus bertanya sambil menenangkan istrinya. Dengan kedua tangannya dia pegang tangan Lestari yang memukul-mukulnya, lantas terduduklah Jatmiko di hadapan istrinya. “Katakan!” kata Jatmiko dengan nada agak kesal.

“Lepaskan tanganku!” kata Lestari ketus. Kali ini seolah tidak kuat menahan emosi. Rupanya Jatmiko tanggap apa yang diminta istrinya, dia lepaskan tangan Lestari. Dengan cepat Lestari membuka loker meja riasnya. “Ini punya siapa? Punya siapa, Mas? Katakan!” kata Lestari dengan nada tinggi.

Memerah wajah Jatmiko, terkejut melihat benda di tangan istrinya. Tidak diduga benda itu sampai di tangan istrinya. “Ehm, eh, ehm, anu” kata Jatmiko tergagap.

“Apa? Punya siapa? Mas berzina? Mas punya wanita lain?” tanya Lestari masih dengan isaknya.

“Lestari dengar aku, akan aku jelaskan semua,” kata Jatmiko. Kali ini Jatmiko berdiri dan duduk di atas ranjang. Sementara Lestari melempar benda di tangannya ke lantai dan kembali menutup muka dengan kedua tangannya.

Namun justru Jatmiko terbelalak melihat Lestari melempar benda itu. “Lestari, cukup!” katanya ketus.

“Apa, Mas? Kamu marah dengan aku membuangnya? Astagfirullah” kata Lestari mencoba menahan kalimatnya. Dia ingat jangan sampai membentak dan kasar pada suaminya, dia takut, sangat takut dengan murka suaminya.

“Baiklah, aku punya wanita. Aku punya wanita lain selain kamu. Dia tinggal di luar kota. Dia tidak menuntut apa-apa padaku. Dia hanya minta waktuku tiga hari selama satu bulan,” jelas Jatmiko. Kali ini Jatmiko bersuara keras dengan nada membentak.

“Astagfirullah. Mas, Mas tahu itu dosa. Mas tahu, Mas sebagai panutan masyarakat di sini. Kenapa Mas lakukan itu?” jawab Lestari, masih berusaha menahan nada bicaranya. Dan seolah kalimatnya tercekat di kerongkongannya.

“Mas, gini saja, Mas pilih aku atau wanitamu, Mas?” tiba-tiba Lestari tidak bisa menahan amarah. Kalimatnya muncul begitu saja di sela tangisnya. “Astagfirullah,” lanjutnya.

“Aku pilih kamu dan anak-anak,” kata Jatmiko ketus.

“Bohong kamu Mas. Kamu memilihku tapi kenapa menyimpan Dia? Dosa, Mas, dosa,” seperti hilang kendali Lestari melotot ke arah suaminya. “Kalau Mas memilihku, buktikan malam ini juga! Aku tidak mau suamiku berlarut-larut melakukan zina. Aku tak mau besok atau lusa, putuskan dia sekarang!” katanya tegas.

“Ok. Aku ajak kamu ke wanitaku. Sekaligus akan kubuktikan kalau aku lebih memilih kamu dan anak-anak,” kata Jatmiko ketus. Wajahnya tampak merah padam, desah napasnya terdengar keras dan kedua tangannya mengepal seolah hendak memukul sesuatu.

“Sebenarnya ini bukan salahku saja. Tapi kamu juga tidak taat padaku. Aku tidak suka pakaianmu itu. Dari awal menikah hingga dua puluh lima tahun ini, kamu tidak pernah menuruti apa mauku. Apa beratnya berpenampilan menarik seperti wanita pada umumnya?” kata Jatmiko masih ketus.

Lestari masih sesenggukan mendengar itu semua. “Aku tak bisa membuka auratku di luar sana, Mas. Aku mau taat kepada Allah dengan menutup aurat total. Bukan aku tidak taat padamu, tapi aku lebih takut kepada Allah,” kata Lestari dengan terbata.

“Dari itu, aku tak suka. Aku lebih suka perempuan berpakaian seksi,” jawab Jatmiko membuang muka.

“Ini pilihanku, Mas, untuk taat pada Allah. Mas, aku rela Mas punya wanita lagi, tapi bukan berzina seperti ini. Sekarang tunjukkan, pilih aku apa wanitamu itu!” kata Lestari. Dia tetap saja kukuh meminta suaminya memilih.

(HW/FA)

Bersambung

Waallahu alam bisawab.

* Kisah di atas hanya fiktif semata. Bila ada nama tokoh dan peristiwa yang sama, itu hanya kebetulan saja.

Please follow and like us:

Tentang Penulis