Oleh: Dwi Rahayuningsih

Kedua kaki Andin gemetar, mulutnya menganga. Benda pipih memanjang dengan dua garis merah terjatuh dari genggaman tangan kanannya. Ia tak ingin percaya, namun fakta di depan mata. Kristal bening luruh dari kedua sudut mata bulatnya, membasahi pipi mulus yang selalu dirawatnya.


“Tidak. Ini tidak mungkin, …” gumamnya.
Kepalanya menggeleng-geleng tak percaya. Seketika tubuhnya luruh dan bersimpuh di bawah wastafel kamar mandi. Tangisannya pecah ketika mendengar ketukan pintu yang tak henti-henti.


“Tok … tok …tok. Andin, … ada apa, Nak? Kenapa kamu menangis? Buka pintunya, … ini Mama!” teriak Siska, mama Andin.

Teriakannya tak direspon. Siska semakin panik, takut terjadi sesuatu pada putri semata wayangnya. Sudah 30 menit Andin di kamar mandi, membuat Siska menggedor pintu bagai perampok untuk mengetahui apa yang terjadi. Karena tak ada respon juga, Siska memanggil suaminya untuk mendobrak pintu kamar mandi Andin.


“Brak.” Pintu terbuka dalam sekali tendangan. Tenaga Siswo, papa Andin sangat kuat. Maklum, dia mantan pelatih taekwondo di sanggar bela diri. Seketika keduanya terpaku melihat keadaan Andin yang sudah mirip zombi. Rambutnya acak-acakan, hidungnya merah, dan pandangan matanya sayu.


Benda pipih, kecil, memanjang yang menjadi sumber kekacauan ini menjadi fokus utama Siska. Pandangan matanya tertuju pada benda itu. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang menganga. Selangkah demi selangkah Siska mendekati Andin. Memungut benda laknat itu dengan tangan gemetar.


“Jelaskan apa maksud semua ini, Nak?” dengan tatapan sendu, Siska menuntut jawaban. Namun Andin hanya membisu. Tak ada pergerakan ataupun suara yang keluar dari bibirnya. Kedua tangan Siska meraih pundak Andin dan menggoyang-goyangnya meminta penjelasan.

Sementara Siswo menatap tajam putrinya. Kedua tangannya mengepal menampakkan buku-buku jarinya yang memutih. Giginya gemelutuk menahan emosi. “Plaaak,” satu tamparan mendarat di pipi kanan Andin, menimbulkan bunyi yang nyaring.


Andin tetap bergeming. Ia sudah pasrah dengan apapun yang akan dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ia seperti terdakwa yang menunggu keputusan jaksa.


“Katakan, siapa yang melakukan ini!” teriak Siswo akhirnya.


Andin segera menubruk kedua kaki papanya. Bersimpuh di hadapannya dengan tangisan meraung-raung. Ia tahu, jika papanya sudah berteriak, hidupnya akan segera berakhir.


“Maafkan Andin, Pa …, Andin gak tahu,” jawab Andin sambil menggeleng. Ia tak ingat apapun tentang kejadian itu. Yang ia tahu, pada malam pesta ulang tahun temannya ia minum sesuatu yang diberikan Riko. Lalu tertidur dan tak ingat apapun. Begitu bangun, ia sudah mendapati dirinya dalam keadaan yang mengenaskan tanpa sehelai benangpun kecuali selimut putih yang membalut tubuhnya. Sejak saat itu, ia menjadi pribadi yang sangat tertutup.


“Andin … diam-diam keluar tengah malam waktu itu. Karena Papa sama Mama gak mengijinkan Andin datang ke acara ulang tahun Nita. Andin keluar lewat jendela, karena kalau Andin gak datang, Nita bilang akan menjauhi Andin selamanya, hiks … hiks …, a … akhirnya Andin nekat pergi. Disana semua teman-teman sekelas Andin sudah berkumpul. Awalnya Andin mau langsung pulang setelah ngucapin selamat dan nyerahin kado ke Nita. Tapi, … Ri … Riko menahan Andin dan memberi minuman. Karena minuman itu hanya juz biasa, Andin meminumnya dengan cepat dan ingin segera pulang. Tapi, … hiks, Andin sudah gak tahu apa-apa lagi setelahnya. Yang Andin ingat, Andin sudah tertidur di kamar.”

Dengan terbata-bata, Andin menceritakan kronologis kejadian saat itu. Mulai dari ia yang menyelinap keluar lewat jendela pada tengah malam untuk menghadiri pesta ulang tahun sahabatnya, kemudian kejadian yang ia alami di pesta sahabatnya, di salah satu kafe terdekat, sampai ia sadar dan pulang dengan terseok, masuk lagi lewat jendela. Kedua matanya menatap kosong ke depan. Ia tak mengira, sahabat yang ia percaya menjebaknya dalam jurang nista.

Siska memapah Andin untuk dibawa ke kamarnya. Didudukkan dengan sangat hati-hati seolah takut jika terlalu keras ia memegangnya, putrinya akan remuk seperti kaca yang retak. Meski hatinya hancur dan kecewa, ia tak bisa langsung menghakimi. Karena bagaimanapun, ialah orang pertama yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa putrinya. Andai ia lebih perhatian dan tidak lalai terhadap putrinya, mungkin hal ini tak akan terjadi.


“Maafkan Mama. Ini semua salah Mama. Andai saja Mama lebih perhatian sama kamu, dan tidak sibuk dengan karir Mama, mungkin kejadian ini tak akan terjadi,” ucap Siska sambil memeluk putrinya. Ia memang kecewa. Hatinya hancur melihat putri semata wayangnya kehilangan masa depan. Namun ia tahu, putrinya lebih hancur dan lebih terpuruk dari siapapun. Ia tahu putrinya tak sengaja melakukan itu. Putrinya hanya seorang remaja yang baru tumbuh, yang membutuhkan kasih sayang dan butuh perhatian.

Di rumah, kedua orang tuanya selalu sibuk mengejar karir. Sementara putrinya harus tumbuh dengan pengawasan seorang asisten rumah tangga yang tidak lulus sekolah. Ia sadar, dialah yang harus disalahkan dalam kondisi ini. Putrinya hanyalah korban keserakahan kedua orang tuanya, serta korban pergaulan bebas akibat liberalisme yang sudah mewabah di kalangan remaja.


“Tidak, Ma. Ini salah Andin. Andin yang tidak bisa ngertiin mama sama papa. Andin yang tidak paham, jika apa yang mama dan papa lakukan semua demi masa depan Andin. Andin terlalu egois karena menuntut mama untuk selalu ada di samping Andin, …” isakan kecil kembali memenuhi kamar itu.


Papanya hanya diam sambil bersandar di dinding dekat mereka duduk. Ada segudang penyesalan yang nenyergap dirinya. Benar yang dikatakan istrinya. Seharusnya orang tualah yang memiliki peran utama dalam mendidik anak. Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Jika semua urusan anaknya diberikan kepada sekolah dan lingkungan, maka seperti inilah jadinya.

Akhirnya ketiganya saling berpelukan. Kemarahan yang sempat menyelimuti, hilang berganti kesedihan. Penyesalan menyergap semua orang yang ada di kamar ini. Semua telah terlambat. Andin sudah terlanjur hamil akibat pergaulannya. Kedua orang tuanya tak lagi bisa mengembalikan keadaan. Benarlah kata pepatah, penyesalan selalu datang di belakang.


Semenjak kejadian itu, keluarga Siswo berubah drastis. Siska memilih untuk resign dari pekerjaannya. Meski saat ini sedang di puncak karirnya, namun ia bertekad untuk memperbaiki keluarganya. Tak ada yang lebih berharga kecuali keluarga. Andin? Ia menjadi gadis yang penurut. Ia meminta kepada orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya dengan home schooling. Sehingga ia tak perlu bertemu lagi dengan sahabat-sahabat liberalnya. Selain itu, ia juga meminta untuk dipanggilkan guru ngaji di rumah.

Please follow and like us:

Tentang Penulis