Oleh : L. Nur Salamah
(Kontributor LenSa Media News)

 

Tsaqofah – Setiap manusia pasti mendambakan hidup mulia dan bahagia. Tak seorangpun yang mengharapkan hidup dalam penderitaan dan kehinaan. Berbagai upaya ditempuh untuk menggapai segala yang diinginkan. Bekerja banting tulang, peras keringat, berangkat pagi pulang petang, hanya untuk mendapatkan predikat kaya dan terhormat.

Tidak sedikit yang harus mengeluarkan nominal besar untuk menduduki jabatan tertentu. Bahkan terkadang harus menabrak rambu-rambu syariat, karena bersinggungan dengan risywah (suap-menyuap) atau yang serupa dengannya. Semua itu dilakukan demi mendapatkan status mulia di mata masyarakat. Arti bahagia dan mulia menurut kebanyakan orang adalah ketika mempunyai jabatan tinggi, menyandang profesi yang bergengsi, rumah megah dan mobil mewah dapat terbeli, hidup bergelimang harta, serta berpenampilan menarik. Dengan kata lain, arti kebahagiaan dan kemuliaan hanya diukur dari kemewahan dunia dan segala sesuatu yang bersifat jasadiah semata.

Fakta telah membuktikan, berapa banyak selebritis yang gagal dalam membina rumah tangganya. Bukankah secara fisik, mereka mendekati kata sempurna?
Tak jarang juga kita mendengar kasus bunuh diri karena frustasi. Mereka adalah anak-anak yang berkehidupan mewah, namun haus perhatian dan kasih sayang. Lantas benarkah kemewahan dan kenikmatan dunia mampu mengantarkan manusia dalam kebahagiaan dan kemuliaan?

Imam Az-Zurnuji rahimahullah dalam kitabnya Ta’limul Muta’alim, bab mukadimah menyebutkan segala puji bagi Allah yang mengutamakan Bani Adam (manusia) dengan ilmu dan amal atas seluruh alam. Maksudnya adalah bahwa Allah SWT melebihkan manusia atau memuliakan manusia dari makhluk yang lain melalui ilmu dan amal. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 31 yang artinya: “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, ‘Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!”

Kemudian dalam surat Al-Mujadalah ayat 11, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, maka berlapanglah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.”

Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa untuk mendapatkan kemuliaan di dunia dan di akhirat, tidak lain hanya dengan ilmu. Setiap amal perbuatan harus disertai ilmu, karena jika kita beramal tanpa disertai ilmu ibarat orang buta yang tak tahu arah. Kita mungkin tersesat dan sengsara.

Dalam redaksi yang lain dijelaskan bahwa tidurnya orang alim lebih baik daripada ibadahnya orang bodoh. Mengapa demikian? Karena orang berilmu, dalam keadaan tidurpun, hati dan pikirannya senantiasa dekat dan terikat kepada Allah SWT. Selalu memikirkan hakikat penciptaannya.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa ilmu adalah investasi yang tak pernah merugi hingga ruh terlepas dari jasad ini. Dengan demikian, predikat mulia akan dicapai manakala kita beriman dan berilmu, sedang bahagia akan kita rasakan ketika dalam keridaanNya.

Wallahu’alambishawwab

 

Sumber: Kitab Ta’limul Muta’alim

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis