Sikap Kritis Dikebiri, Inikah Wajah Asli Demokrasi?
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Konon katanya demokrasi menjamin kebebasan berekspresi maupun kebebasan berpendapat. Namun, fakta di lapangan justru berbanding terbalik dengan slogan yang selalu diagungkan. Dikutip dari laman Merdeka.com (25/10), Lembaga Indikator Politik Indonesia mencoba memotret kondisi demokrasi di Indonesia melalui survei opini publik. Salah satu yang menjadi variabel yakin hak menyatakan pendapat.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pihaknya menanyakan setuju tidaknya responden dengan adanya pernyataan bahwa warga makin takut dalam menyatakan pendapat.
“Survei menunjukkan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat 79,6 persen, makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes 73,8 persen, dan aparat dinilai semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa 57,7 persen,” terang Burhanuddin.
Adanya ketakutan publik bukan tanpa sebab. Selama ini masyarakat mampu mengindera dengan jelas kesewenang-wenangan yang dipraktikkan penguasa kapitalis sekuler. UU ITE menjadi senjata pamungkas untuk membungkam. Padahal Hak Kebebasan Berpendapat merupakan hak dasar manusia. Di Indonesia kebebasan untuk berpendapat diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dimana setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dalam praktiknya masih jauh dari ketentuan.
Hal ini mengkonfirmasi ragam tudingan publik bahwa rezim Jokowi identik dengan Orba. Menurut pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, ada 3 indikatornya, yaitu:
Pertama, pembatasan kebebasan sipil. Menurutnya, hal itu bisa dilihat dari cara pemerintah merespon kritik publik, baik dari langkah mengondisikan media massa hingga mengkriminalisasi aktivis.
Kedua, bisa dilihat dari cara pemerintah memanfaatkan aparat penegak hukum untuk menciptakan stabilitas keamanan dan politik. Menurutnya, indikator ini telah dikonfirmasi oleh sejumlah elemen masyarakat sipil.
Indikator terakhir terlihat dari ‘perselingkuhan’ antara kekuatan bisnis dan kekuasaan yang semakin vulgar terjadi. Menurutnya, perselingkuhan itu telah terlihat terjadi sejak pengesahan revisi UU KPK hingga pengesahan UU Minerba dan UU Ciptaker (ccnindonesia, 22/10/2020).
Senada, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan tudingan mengidentikkan rezim Jokowi dengan Orba tidak mungkin ada jika Jokowi tidak melakukan yang dianggap publik sebagai tindakan otoriter.
Menurutnya, salah satu indikasi yang bisa mengidentikkan rezim Jokowi dengan Orba adalah penangkapan sejumlah masyarakat yang mengkritik pemerintah lewat media sosial. “Ada dasarnya tentu, tidak akan ada asap jika tidak ada api, tidak akan ada tuduhan jika itu ada fase yang dianggap dia otoriter,” ucap dia.
Ujang berpendapat bahwa situasi ini tidak aneh dan mengherankan. Berdasarkan teori filsuf Pierre Bourdieu, menurutnya, reformasi bisa berjalan tanpa mengubah kebiasaan yang pernah terjadi di masa lampau.
Meski mengalami perjalan panjang dari Orba hingga reformasi tak mampu mengubah apa-apa. Perjalanan panjang reformasi yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan HAM seperti berjalan di tempat. Dua puluh tahun lamanya setelah terbebas dari Orba justru mengantarkan reformasi kembali dalam pelukan Neo Orde Baru.
Jelas hal ini mengkonfirmasi bahwa sistem buatan manusia tidak akan mampu mewujudkan kemaslahatan. Justru melanggengkan hukum buatan manusia akan menyeret ke dalam kubangan kesengsaraan yang tiada kesudahan.
Lantas bagaimana dengan pandangan Islam? Dalam Islam setiap orang bebas berpendapat. Hal ini tampak dari gugatan seorang wanita di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Bahkan argumennya mampu menganulir undang-undang yang sempat disahkan oleh sang Khalifah. Ini menunjukkan bahwa kebebasan diapresiasi dalam Islam selama tidak melanggar syariat Islam.
Umar bin Khaththab selaku kepala negara pun bersikap legowo menerima kritik. Jelas hal ini merupakan bentuk ketaatannya terhadap syariat Islam. Rasulullah bersabda yang artinya:
“ Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“ [HR. Imam Ahmad]
Mengingat pentingnya aktivitas amar ma’ruf nahyi mungkar, khilafah memberikan ruang dengan adanya majelis umat untuk menyampaikan pendapatnya. Aktivitas mengoreksi penguasa melalui majelis umat maupun partai politik diberi keleluasaan. Titik pentingnya terletak pada syariat Islam sebagai acuan setiap aktivitas maupun kebijakan. Serta menjadikan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam kehidupan.
Wallahu a’lam bish shawab.
[ry/LM]