Skandal Djoko Tjandra: Benang Merah Korporasi dan Pejabat Negeri
Oleh: Ayu Ramadhani
(Aktivis The Great Muslimah Community, Mahasiswa Universitas Negeri Medan)
Lensa Media News – Siapa yang tak kenal Djoko Tjandra? Adalah tersangka kasus Bank Bali 1999 yang melarikan diri keluar negeri pada tahun 2009 dan menyita perhatian publik. Namanya kini kembali mencuat menjadi tajuk perbincangan para elemen masyarakat. Pasalnya setelah tidak terendus selama 11 tahun, kabarnya Djoko Tjandra berada di Indonesia selama beberapa bulan terakhir.
Dilansir dari News.detik.com (15/07/2020) bahwa dari kehadirannya di PN Jaksel pada awal Juni 2020, terungkap banyak fakta. Djoko Tjandra diketahui sempat membuat e-KTP tanpa dicurigai sebagai buronan. Bahkan dengan leluasa mendapatkan paspor dan ‘surat jalan’.
Tidak hanya dalam administratif, bisnis Djoko Tjandra ternyata juga terus terawat hingga kini. Hal ini terendus saat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melayangkan gugatan kepada salah satu perusahaan miliknya, PT Sanggarcipta Kreasitama terkait sewa gedung Wisma Mulia 1 sejak 17 Januari sampai 14 Juli 2021 sebesar Rp. 412,30 miliar (Tirto.id, 25/7/20).
Fakta di atas sudah cukup membuat publik heran. Sejak menghilang, penangkapannya menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Buron 11 tahun cukup membuat publik penasaran, mengapa jejaknya selama ini tak terendus pihak yang berwenang. Pihak OJK telah melayangkan gugatan atas tagihan sewa gedung dan biaya service. Maka tentunya, keberadaannya dapat diendus lebih awal melalui jejaring bisnis miliknya. Hal ini sangat disayangkan.
Fakta lain yang tak kalah miris adalah kelalaian pejabat negeri. Seperti yang dilaporkan banyak media, Djoko Tjandra sempat membuat e-KTP dan memperoleh surat jalan tanpa dicurigai sebagai buronan. Keganjalan dimulai dari tidak adanya kecurigaan buronan dan surat jalan terbit untuk internal polisi. Kelalaian pejabat negeri juga tampak pada pembuatan e-KTP atas nama Djoko Sugiharto Tjandra itu. Banyak hal hal diluar prosedur dalam pengurusan e-KTP tersebut. Hal yang menjadi tanda tanya besar adalah tidak adanya kecurigaan terhadap tersangka yang bahkan telah buron 11 tahun. Bagaimana mungkin seseorang yang menghebohkan seantero negeri dengan kasus Bank Bali ’99 itu dapat mengurus administratif dengan leluasanya tanpa kecurigaan bahwa dia seorang buronan?
Tentu tidak mungkin Djoko Tjandra tidak dicurigai sebagai buronan. Hal yang dapat diterima adalah kesengajaan untuk tidak mencurigainya. Hal ini lantas dibenarkan dengan pencopotan jabatan dan ancaman pidana yang mengarah pada Brigjen Pol Prasetijo Utomo, polisi yang menerbitkan surat jalan Djoko Tjandra. Jika dalam pengurusan surat jalan saja Djoko Tjandra tidak terendus pihak kepolisian, bukankah ada hubungan terlarang diantara keduanya?
Kasus e-KTP dan skandal surat jalan Djoko Tjandra menampilkan hal yang memalukan bagi negara, khususnya kalangan pejabat negeri. Kedua fakta tersebut membuktikan takluknya pejabat negeri dalam hal kepengurusan mereka dihadapan korporasi. Keduanya memiliki hubungan yang menguntungkan, saling membutuhkan hingga hal yang dilakukan pejabat negeri seterusnya tak lain lantaran “pesanan” korporasi dan pemilik modal.
Kelalaian yang disengaja dan prosedur yang terabaikan karena pesanan, tidakkah cukup membuka mata kita bahwa banyak kejanggalan dan benang merah diantara keduanya? Kepada siapa aparat/pejabat sebenarnya mengabdi? Kepada rakyat dan negara, atau pemilik modal dan korporasi?
Lalu setelah kepulangan Djoko Tjandra yang penuh celah, masihkah pantas penangkapannya dilihat sebagai sebuah prestasi? Sudah kewajiban aparat negara untuk menindaklanjuti pelaku kejahatan. Terlepas pelaku adalah buronan bertahun-tahun yang tak kunjung pulang dan terendus, kewajiban aparat yang berwenang tetap sama adanya. Tidak dapat dilihat sebagai sebuah prestasi untuk kewajiban yang lama penuntasannya dan banyak celah di dalamnya.
Beginilah yang terjadi pada tubuh pemerintahan yang menganut paham kapitalis-sekuler. Penolakan andil Sang Pencipta dalam urusan kehidupan berdampak buruk pada segala lini. Amanah pejabat yang sejatinya pelayan masyarakat itu pun dipertanyakan. Benarkah keberadaan aparat tak lebih hanya untuk menguntungkan kaum pemodal, menjadikan rakyat sekedar tangga yang diinjak untuk sebuah tujuan yang hanya menguntungkan mereka?
Dalam Islam tentu hal ini adalah sebuah keharaman. Membantu pelaku kejahatan bebas dari hukum dan melalaikan tugasnya yang berujung pengkhianatan adalah kemaksiatan. Negara harus menindak keras dan tegas kemaksiatan seperti ini. Bukan mendiamkan dan membiarkan hingga kejadian terus berulang. Hal tersebut dilakukan sebagai penjagaan pada warga negara. Bukan sekedar fisiknya, namun juga menjaga dirinya dari kemaksiatan yang kelak akan meberatkannya. Beginilah seharusnya wajah negara yang hadir di tengah kehidupan masyarakat. Tentunya, negara yang seperti itu tidaklah mungkin ditemui dalam sistem kapitalis-sekuler yang memisahkan urusan langit dan bumi ini. Masihkah kita tetap diam dengan benang merah yang mengikat korporasi dan pejabat negeri hari ini?
Wallahu’alam bishshowab.
[ah/LM]