Akses Corona Berwisata Diperluas
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Lensa Media News – Geliat wisata berkejaran dengan pertambahan jumlah warga positif Covid-19. Mengerikan! Namun itulah faktanya, new normal life ternyata menuntut pergerakan ekonomi yang jelas, meskipun disamarkan dengan ketaatan terhadap aturan protokoler kesehatan. Tak urung hal ini membuat jalanan, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat umum mulai dipenuhi manusia. Asal cuci tangan, diperiksa suhu dan bermasker maka boleh melakukan apa saja.
Berikutnya banyak bermunculan iklan, status FB atau video yang bernafaskan kembali ke alam, alias kembali berwisata. Tentu sekaligus tayangan protokoler kesehatannya. Seperti Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) atau Solo Zoo resmi dibuka kembali setelah tiga bulan tutup karena pandemi Covid -19. Namun, kini pengunjung hanya dibatasi maksimal 1.000 orang per hari dan dibagi menjadi dua kloter.
“Jadi ini dimulai dulu. Kita batasi 1.000 orang dibagi dua dulu. Pertama 09.00-12.00 WIB dan kedua 13.00-16.00 WIB,” kata Bimo Wahyu Widodo, Direktur Utama TSTJ usai peresmian di TSTJ. Pembatasan tersebut sesuai dengan protokoler kesehatan new normal (detik.com, 19/6/2020). Diikuti dengan beberapa wilayah seperti Banyuwangi, Aceh, Lumajang, Pacitan, Semarang dan lain-lain.
Perekonomian memang sedang ambruk, melemah dan menyisakan masa depan yang belum pasti. Mendorong pemerintah daerah untuk mulai kembali membuka jalur pariwisata, jalur termudah yang bisa ditempuh pemerintah daerah guna mengisi APBD yang mulai menipis. Kebijakan ini juga disambut gegap gempita oleh pelaku bisnis, yang paling merasakan dampak pandemi Covid-19. Namun, bisa dikatakan pula ini adalah jalan pintas memudahkan akses Covid-19 pun berpindah klaster.
Bagaimana tidak? Meskipun misalnya sekarang provinsi Jawa Timur dari 12 wilayah zona merahnya sudah tinggal 7, tapi tetap saja tak bisa dikatakan kita boleh tenang dan hidup normal seakan sudah tak ada lagi bahaya. Sekalipun kali ini pembukaan destinasi wisata menyertakan protokol kesehatan tetap saja ini beban. Terlebih penyebaran virus yang terbaru memunculkan status OTG (Orang Tanpa Gejala) jelas makin tinggi resiko yang akan dihadapi.
Berkerumunnya orang, masuknya warga asing lokal dan internasional, tak semua bisa dipastikan mematuhi protokoler, terutama pengusaha pendukung pariwisata seperti pusat oleh-oleh yang rentan menjadi klaster baru. Namun, ternyata pilihan peningkatan perekonomian lebih utama dari pemulihan kesehatan seluruh masyarakat. Padahal, perekonomian yang kuat harus didukung dengan manusia yang sehat dan kuat pula.
Bak simalakama, makan bapak mati, tak makan ibu mati. Dengan adanya otonomi daerah, dimana pemerintah daerah diharuskan membiayai wilayahnya sendiri maka rakyat menjadi tumbal itu sudah biasa. Yang penting kepentingan pribadi dan para pebisnis terpenuhi. Kapitalisme memang bertabiat kejam, tak peduli nyawa menjadi taruhannya. Keuntungan secara materi lebih diutamakan.
Mendapatkan harta atau pendapatan dengan segala cara tentu tak dibenarkan dalam Islam. Dan jika tidak benar pasti ada celaan jika tetap melakukannya, celaan mendatangkan azab. Bagi kita kaum Muslim, relakah kita mendapatkan azab tersebab pemimpin yang seenaknya saja mengeluarkan kebijakan? Padahal semestinya seorang pemimpin adalah orang yang paling berkepentingan menjamin ibadah setiap individu rakyatnya berjalan sempurna, bukan justru menggiring menuju murka. Masihkah ada ragu untuk kita berpindah sistem?
Wallahu a’ lam bish showab.
[LM]