Masalah Baru Dibalik Pembebasan Napi Ditengah Pandemi
Oleh: Ema Darmawaty
LensaMediaNews – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 narapidana dan Anak melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus corona. Data tersebut dirilis per Sabtu (4/4) pukul 14.00 WIB.
“Hingga saat ini yang keluar dan bebas 30.432. Melalui asimilasi 22.412 dan integrasi 8.020 Narapidana dan Anak,” ujar Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti, kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (4/4). Rika menjelaskan Sumatera Utara menjadi daerah terbanyak yang membebaskan warga binaan dengan jumlah 6.348. Disusul Jawa Timur 2.524, Lampung 2.416, Jawa Tengah 2.003, dan Aceh 1.898.
Kebijakan tersebut diambil karena dasar kemanusiaan dan mencegah terjadinya penularan Covid -19 di Lapas, Rutan dan LPAK. Keputusan ini pun menuai banyak kontra dari masyarakat, apalagi ditengah himbauan pemerintah untuk sosial distancing, justru tahanan yang sudah “aman” di dalam penjara akan di bebaskan.
Namun, pembebasan besar-besaran tersebut menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Sebab, napi yang dibebaskan kemungkinan bisa kembali berbuat kejahatan. Dan benar saja, beberapa laporan dari media online menyampaikan bahwa terdapat beberapa napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana.
Padahal, Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Hibnu Nugroho, menilai fenomena tersebut sebagai kegagalan Kemenkumham, khususnya Ditjen PAS serta lapas atau rutan, dalam mengawasi para napi yang dibebaskan.
Hibnu menduga lapas atau rutan belum menyiapkan sistem kontrol para napi tersebut dan hanya sekadar membebaskan. “Itu yang kita khawatirkan. Artinya asimilasi di rumah harus dibarengi pengawasan yang cukup ketat oleh lapas, jangan sampai lepas,” ujar Hibnu saat dihubungi, Kamis (9/4).
Lantas, apakah dengan telah diimplementasikannya pembebasan tersebut, pemerintah sejauh ini telah melakukan langkah yang tepat? Kebijakan ini justru memperlihatkan bahwa sistem peradilan negeri ini gagal, padahal sanksi atau hukuman seharusnya bisa membuat efek jera bagi pelaku kriminalitas dan bukan memanfaatkan momentum pandemi untuk memberikan “hadiah” bagi para napi apalagi dengan kasus kejahatan khusus misalnya narkotika dan korupsi.
Selain itu, untuk mengawasi napi sebanyak 30 ribuan adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dilakukan pihak Lapas. Ditambah kondisi ekonomi saat ini di tengah pandemi corona, situasi serba mahal, PHK dan sulitnya mendapat penghasilan, adalah sekian banyak faktor yang membuat makin meningkatnya kriminalitas di tengah masyarakat.
Kita tahu bahwa hukum peradilan yang digunakan negeri ini memang bersumber dari penjajah Belanda yang notabene merupakan hukum buatan manusia, hukum yang lahir dari sistem sekuler, tentu saja kualitas hukum ini sangat terbatas pada akal manusia. Padahal manusia tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan dan kepentingan.
Jadilah hukum buatan manusia berubah-ubah dan sangat dipengaruhi oleh pihak-pihak yang memiliki akses dan kekuatan untuk mempengaruhi proses legilasi hukum. Hasilnya tentu saja produk hukum akan lebih banyak mengakomodir kepentingan kapitalis. Alih-alih mampu menyelesaikan permasalahan rakyat, yang ada masalah baru dan terulang terus menerus berulang seolah tiada ujungnya.
Hanya Islam yang bisa menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.
Islam merupakan agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah sistem peradilan. Sistem hukum dan peradilan dalam islam memiliki kekhasan yang tidak sama dengan sistem hukum sekuler.
Adanya sistem sanksi (uqubat) adalah suatu tindakan manusia yang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan perbuatan yang haram, serta menentang perintah dan melanggar larangan yang pasti dan telah ditetapkan oleh hukum-hukum syara dan negara.
Uqubat dapat berupa hudud, jinayat,ta’zir dan mukhalafat. Dengan menerapkan sistem hukum dan peradilan islam, akan membuat jera pelaku kejahatan karena akan menangung hukuman yang setimpal. Inilah sifat dari sanksi hukum Islam, yang bersifat zawajir (pencegahan), karena dapat mencegah manusia dari mudahnya melakukan tindak kejahatan.
Sedangkan sifat jawabir (penebus dosa di akhirat), apabila sanksi hukum telah dilaksanakan oleh negara, maka pelaku kejahatan sudah terbayarkan kesalahannya dan di akhirat tidak mendapatkan pembalasan yang lebih berat .
Sesungguhnya keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya negara yang kuat amat ditentukan oleh ketangguhan sistem peradilannya. Ketangguhan sistem peradilan suatu negara ditentukan oleh ketangguhan sistem sanksinya. Untuk itu, memahami sistem persanksian di dalam Islam merupakan perkara yang wajib kita pahami dan kita laksanakan dalam sebuah sistem pemerintahan Islam.
Sudah saatnya kita bertaubat, kembali kepada aturan Allah yang mampu menyelesaikan masalah secara tuntas dan menyejahterakan dunia dan akhirat. Bukan aturan manusia yang lahir dari sistem kapitalisme yang terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah justru menambah masalah baru lagi.
Wallahua’lam bish shawab.
[ry/LM]