Tepatkah, Membebaskan Napi Agar Selamat dari Corona?
Oleh: Kunthi Mandasari
LensaMediaNews – Di tengah penyebaran virus Corona yang kian memprihatinkan. Lahir sebuah kebijakan untuk membebaskan para napi termasuk di dalamnya napi korupsi yang berusia senja. Konon katanya kebijakan ini mampu menghemat anggaran negara untuk kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) hingga Rp260 miliar.
Kebijakan tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid -19; Keputusan Menteri HUkum dan HAM RI No.M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19; dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan No.: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang hal yang sama (tirto.co.id, 01/04/2020).
Kebijakan ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Pasalnya mereka yang mendekam di penjara memiliki catatan kriminal. Baik yang biasa maupun yang sangat serius. Melepaskan narapidana di tengah kondisi ekonomi yang carut marut, hanya akan menyulut permasalahan baru.
Padahal keberadaan narapidana di dalam sel justru melindungi mereka dari wabah. Mereka tak terjamah dunia luar yang terpapar virus Corona. Selama prosedur penjengukkan diperketat sehingga tidak sembarang orang diberi keleluasaan untuk membesuk. Jika perlu selama wabah masih merebak orang luar tidak diberi akses untuk ke lapas. Maka kondisi narapidana bisa dipastikan akan lebih aman dibandingkan mereka berkeliaran di luar.
Jika benar pembebasan ini untuk menghemat anggaran, tetapi kenapa pembangunan ibukota baru tidak dihentikan? Mengingat membangun ibukota juga memerlukan biaya yang tidak murah. Selain itu pembangunan ibukota baru tidak mendesak untuk dilakukan. Sehingga pengalihan dana pembangunan untuk penanganan virus Corona dirasa lebih bijaksana.
Kecuali memang ada udang dibalik batu atas pembebasan narapidana. Seperti berita yang santer dihembuskan, yaitu membuka jalan untuk bebasnya narapidana koruptor melalui wacana revisi Peraturan Pemerintah ( PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menilai, Yasonna sengaja memanfaatkan wabah Covid-19 sebagai justifikasi untuk merevisi aturan tersebut.
“Wacana ini dimunculkan bisa kita sebut aji mumpung, bisa juga kita melihat sebagai peluang, sehingga ada akal-akalan untuk mengaitkan kasus corona yang terjadi saat ini dengan upaya untuk merevisi PP 99/2012 agar narapidana kasus korupsi bisa menjadi lebih cepat keluar dari selnya,” kata Donald dalam konferensi pers, Kamis (2/4/2020) lalu (nasional.kompas.com, 05/04/2020).
Hal serupa juga disampaikan oleh Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenurrohman atau akrab disapa Zen menilai wacana yang dilontarkan Yasonna tidak tepat. Zen memaparkan beberapa alasannya.
Pertama, dibandingkan kasus kriminal lainnya, narapidana kasus korupsi jumlahnya tidak banyak. Kedua, kasus korupsi bukanlah kejahatan biasa. Korupsi adalah kasus kejahatan serius. Sehingga langkah Kemenkumham membebaskan narapidana kasus korupsi dinilai tak tepat (m.merdeka.com, 02/04/2020).
Hal ini menjadi indikasi kuat kegagalan kapitalisme dalam menegakkan keadilan. Aturan buatan manusia nyatanya dengan mudah diotak-atik sesuai kebutuhan. Sebagaimana revisi RUU KPK yang menuai kecaman. Karena 26 pasalnya dianggap melemahkan lembaga KPK.
Tak hanya sampai disitu saja, revisi Undang-Undang Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan atau revisi UU PAS juga menuai kontroversi. Sejumlah pasalnya dianggap meringankan dan melonggarkan sanksi bagi narapidana dalam menjalankan masa tahanan. Di antaranya, pasal 9 dan 10 revisi UU PAS yang memberi hak rekreasi dan cuti bersyarat kepada napi. Sedangkan dari sisi oknum penegak hukumnya pun masih bisa diajak negosiasi.
Pantas saja jika Allah Swt memberikan peringatan melalui firman-Nya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum 30: Ayat 41)
Kerusakan ini terjadi akibat kemaksiatan dan pengabaian terhadap hukum Allah Swt. dengan menerapkan hukum buatan manusia. Maka tak heran meskipun penangan kasus korupsi telah lama berlangsung, tetapi hanya berakhir dengan kegagalan. Karena pondasi rapuh yang digunakan untuk menanganinya.
Berbeda dengan Islam yang akan menindak tegas para pelaku kriminal. Apapun jenis kejahatannya akan diberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan siapapun yang melakukan.
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya yang menyebabkan hancur dan binasanya ummat sebelum kalian adalah bilamana orang-orang lemah melakukan kesalahan, mereka lalu menghukumnya. Akan tetapi bilamana orang-orang terhormat yang melakukannya, mereka membiarkannya (tidak menghukumnya).”
Selain itu, bagi mereka yang mempunyai kedudukan dan jabatan harus mendukung sepenuhnya kebijakan tersebut. Maksudnya, ketika keluarga, atau kelompoknya jelas-jelas bersalah, ia harus berani menyatakan bersalah. Bukan malah membela secara membabi buta. Bahkan kalau perlu, ia juga harus berani menghukum untuk yang kedua kalinya.
Bagaimanapun supremasi hukum baru akan terwujud bila ada contoh kongkret dan jaminan kuat dari penguasa tertinggi. Sebagaimana jaminan Rasulullah Saw terhadap para sahabat dan ummatnya, “Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri, aku pasti akan memotong tangannya.” (HR Bukhari Muslim).
Wallahu’alam bishshawab
[faz/LM]