Santri, Pemuda dalam Bayang Moderasi (Catatan Hari Santri dan Hari Pahlawan)
Oleh: Nunik Umma Fayha
LenSaMediaNews.com__Santri selalu diidentikkan sebagai alim, paham masalah agama, menjaga adab dan akhlak. Akan tetapi saat ini santri justru dikepung banyak persoalan yang mendegradasi nilai kesantrian. Terlebih dengan masifnya pengarusan moderasi beragama.
UU Pesantren no. 18 tahun 2019 khususnya pasal 3, menjadikan arah pendidikan pesantren menjadi moderat guna membentuk pemahaman agama dan keberagaman yang moderat. Di pasal 10, santri dididik untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan, menyemaikan akhlak mulia, memegang teguh toleransi, keseimbangan, moderat, rendah hari dan cinta tanah air.
Sementara itu dalam dakwahnya, di pasal 38 UU Pesantren disebutkan bahwa dakwah Pesantren harus mengajarkan pemahaman dan keteladanan pengamalan nilai keislaman yang toleran (tasamuh) dan moderat (tawasut) (muslimahnews.net, 10-11-2024).
Salah satu Mubalighah Nasional, ustadzah Kholisoh Dzikri menyampaikan bahwa moderasi beragama ini melemahkan kualitas pesantren dalam mencetak ulama warasatul anbiya (pewaris para nabi). Pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaquh fiddin untuk mencetak santri-santri menjadi ulama yang berakhlak mulia dan terdepan dalam amar makruf nahi munkar (muslimahnews.net, 10-11-2024).
Santri dan Perannya
Di masa perjuangan santri digerakkan untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan semangat jihad fi sabilillah. Santri dan sejarah Hari Pahlawan adalah satu kesatuan. 10 November 1945 adalah puncak perlawanan arek-arek Surabaya didukung para santri se-Jawa Madura yang terpanggil oleh Resolusi Jihad yang dirumuskan di kantor PB ANO (PB Ansor Nahdhlatul Oelama), jl. Bubutan VI/2, pada Senin 22 Oktober 1945 bertepatan tanggal 15 Dzulqadah 1364H.
Kini, 79 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, santri dimobilisasi untuk menjalankan moderasi beragama, menjauhkan umat dari kebenaran agamanya. Kurikulum pendidikan yang menjadi senjata ampuh merubah pemahaman dibuat dengan ‘khusyu’ justru untuk membuat pemahaman agama yang lurus dicampur aduk dengan ajaran Barat entah itu sekularisme, kapitalisme. Umat dipaksa mencukupkan diri dengan hablum minallah tapi dimutilasi hablum minannas-nya.
Santri, Garda Depan Umat
Perang pemikiran telah dilesakkan pada umat Muslim sejak ratusan tahun lalu bahkan saat masih ada Khilafah. Filsafat digunakan untuk membuat pemahaman bergeser dengan mempertanyakan segala sesuatu dalam timbangan logika. Kurikulum menjadi lahan berikut yang memuluskan penyebaran paham Barat.
Saat ini dunia Islam berada dalam cengkeraman paham moderat yang mengakomodasi nilai-nilai Barat seperti pluralisme, kesetaraan gender dan lain-lain. Semua paham Barat yang tidak sesuai syariat Islam ini dicoba paksakan dalam pemahaman Islam. Padahal sudah jelas disampaikan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dalam HR. Muslim no. 1718: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Islam adalah furqon, pembeda haq dan bathil sebagaimana ayat berikut:
“Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Ali-‘Imran 3: 60)
Santri adalah kepanjangan ulama, warasatul anbiya, pewaris para Nabi, jadi sudah pasti seharusnya menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman di setiap gerak dan lisan. Pantaskah apa-apa yang asalnya dari Allah dipertanyakan dan lebih memilih hasil pemikiran manusia yang terbatas ilmunya.
Moderasi yang terus diaruskuatkan dalam kurikulum pendidikan termasuk pesantren, adalah hasil pemikiran para pembenci Islam yang dijajakan pada umat justru oleh orang-orang yang dianggap paham agama. Semua hal diberikan pemahaman sesuai arahan Barat. Makna toleransi, makna kaffah, jihad dan banyak lagi semua disesuaikan pandangan Barat.
Sebagai garda depan, santri diharapkan mampu menjadi contoh kebaikan, kesalihan bagi umat. Santri digambarkan sebagai representasi ulama. Maka ketika ulama justru membawa keburukan mencampur yang haq dan bathil. Ke mana lagi umat harus mencari kebenaran, mencari nasihat.
Asy-Syaikh Shalih Fauzan menyampaikan: “Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140)
Naudzubillah mindzalik. Jangan sampai terjadi huru-hara karena tercabutnya ilmu dari para ulama salih. Tugas berat yang akan semakin berat bila kita diam dengan segala kezaliman atas syariat ini termasuk zalim pada kurikulum pesantren yang bukannya melahirkan kesalihan justru membawa kerusakan tatanan.
Semoga kita tetap bisa memegang erat petunjuk Al Qur’an dalam QS Ali-‘Imran ayat 32: “…Taatilah Allah dan Rasul….”
Maka janganlah kita biarkan orang-orang kafir menjajah kita melalui penjajahan kurikulum pesantren. Selamatkan Santri! [LM/Ss]