Predator Anak Marak, di Mana Perlindungan Negara?
Oleh: Nurainah
LenSaMediaNews.com__Baru-baru ini Indonesia digegerkan lagi dengan kasus predator anak yang menimpa gadis cilik berinisial DCN yang berusia 7 tahun. Siswi kelas 1 Madrasah Ibtidaiah (MI) ini dibunuh dan diperkosa sepulang sekolah pada Rabu (13/11) di Banyu Wangi Jawa timur (Liputan6.com, 03-11-2024).
Kasus yang sama juga terjadi pada Senin (11/11) lalu. Di mana Polres Aceh Utara menangkap tiga pelaku pemerkosan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara (Kompas.com, 11-11-2024).
Menanggapi kejadian-kejadian tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi mengecam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan tersebut (Kompas.com, 17-11-2024).
Lantas apakah dengan mengecam dan dengan melaporkannya, akan menyelesaikan permasalahan ini? Tentunya tidak, karena banyak faktor yang mengakibatkan permasalahan seperti ini terjadi berulang-ulang.
Kejahatan seksual sangat kompleks dan beragam. Namun, sistem hari ini tidak mampu mendefinisikan apa itu tindak asusila, zina, amoral, maupun perbuatan cabul. Sistem sekuler menjadikan manusia hidup semaunya, bebas, dan tidak terikat dengan aturan Allah Swt.
Karena paham sekuler sudah tertanam kokoh, mereka menganggap aturan Sang Pencipta tidak memiliki wewenang mengatur kehidupan manusia. Agama ditempatkan untuk mengatur ritual peribadatan semata. Seakan aturan buatan manusia saja yang berlaku.
Kondisi ini diperparah dengan kemajuan teknologi dan media yang menyuburkan industri pornografi sebagai stimulus seksual yang membabi buta. Tentu saja, permasalahan kompleks ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberikan pendidikan seks sejak dini atau mempertimbangkan kondisi psikologis pelakunya. Harus ada upaya sistemis untuk menyelesaikan masalah ini hingga tuntas sampai akarnya.
Akhirnya, anak makin terancam. Keluarga, masyarakat, dan negara tidak bisa diharapkan menjadi benteng perlindungan bagi anak. Inilah dampak penerapan sistem sekuler yang merusak naluri dan akal manusia.
Kondisi ini juga terjadi karena lemahnya keimanan individu, juga buruknya standar interaksi yang terjalin di antara masyarakat. Sementara peran negara sangat minim dalam melindungi anak di berbagai aspeknya, baik pendidikan berasas sekuler, maupun sistem sanksi yang tidak menjerakan.
Jika kita kembali pada syahadat kita sebagai seorang muslim, tentu Islam adalah satu-satunya solusi dalam menjawab permasalahan kejahatan seksual termasuk predator anak.
Islam memandang bahwa naluri seksual adalah salah satu potensi yang ada pada diri manusia secara alami dan membutuhkan pengaturan untuk penyalurannya. Islam juga menegaskan bahwa satu-satunya aturan yang Allah halalkan dalam mengimplementasikan naluri nau’ (naluri melestarikan keturunan) adalah melalui pernikahan, bukan yang lain.
Aturan ini harus dipahami agar kerusakan sosial seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, sodomi, dan kejahatan seksual lainnya bisa dihindari. Aturan Islam bersifat preventif (pencegahan), di antaranya pengaturan interaksi antara laki-laki dan perempuan, termasuk sesama jenis. Selain adanya larangan khalwat dan ikhtilat di antara lawan jenis, dalam interaksi sesama jenis pun Islam menetapkan aturan tertentu.
Aturan itu seperti larangan untuk tidur di tempat tidur yang sama, larangan untuk tidur dalam satu selimut, hingga mengatur batasan aurat antara sesama jenis. Selain itu, negara bertanggung jawab melindungi rakyat dari berbagai informasi maupun konten yang menstimulasi syahwat.
Negara pun wajib mengatur jalannya informasi di media dan memilah informasi sampah yang menyesatkan pikiran dan perasaan masyarakat. Di samping aktivitas preventif ini, negara akan menerapkan sejumlah hukum yang mengatur sanksi yang diberikan negara atas pelaku zina dan perilaku seksual yang menyimpang.
Bagi pezina, hukumannya adalah rajam bagi pelaku muhshan (sudah pernah menikah), dan hukuman cambuk 100 kali jika ghairu muhshan (belum pernah menikah). Adapun perilaku zina sesama jenis, hukumannya adalah hukuman mati.
Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang kalian jumpai melakukan perbuatan kaum Nabi Luth a.s. maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Islam menetapkan negara memiliki kewajiban menjaga generasi, baik dalam kualitas hidup maupuin lingkungan yang baik dan juga keselamatan generasi dari berbagai bahaya, termasuk berbagai macam kekerasan dan ancaman keselamatan.
Islam memiliki tiga pilar perlindungan terhadap rakyat termasuk anak, mulai dari ketakwaan individu, peran keluarga, kontrol masyarakat, hingga penegakan sistem sanksi oleh negara yang tegas, dan menjerakan. Semua itu akan terwujud dengan penerapan semua sistem kehidupan berdasarkan sistem Islam secara kafah. [LM/Ss]