Layakkah Tunjangan Rumah Untuk Anggota DPR?
Oleh: Rifdah Nisa
LenSa Media News–Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan kebijakan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR periode 2024-2029 merupakan bentuk pemborosan uang negara. Peneliti ICW, Seira Tamara, memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar dari Rp. 1,36 Triliun hingga Rp. 2,06 Triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan (kompas.com, 11-10-2024).
Tunjangan rumah dinas anggota DPR menambah panjang daftar fasilitas yang diterima anggota dewan. Harapannya, tunjangan ini mampu memudahkan peran anggota dewan untuk menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Namun realitanya, anggota dewan yang menjabat selama ini justru tidak mengutamakan urusan rakyat.
Terbukti banyak undang-undang yang menzalimi rakyat seperti; UU Ciptaker, UU Kesehatan, UU Minerba dan lain sabagainya. Lantas layakkah tunjangan rumah untuk anggota DPR?
Anggaran untuk tunjangan rumah anggota dewan, selain bentuk pemborosan, juga menunjukkan bahwa kebijakan ini sarat akan kepentingan pribadi anggota dewan. Dengan mekanisme pengawasan dana yang sangan minim karena langsung ditransfer lewat rekening masing-masing anggota dewan, maka semakin menambah kekecewaan rakyat.
Ironinya, wacana tunjangan rumah untuk anggota dewan menjadi perkara yang segera diputuskan di tengah kondisi rakyat yang kesulitan memiliki rumah. Ditambah beban iuran Tapera yang akan diberlakukan pada rezim yang baru.
Inilah gambaran demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya kamuflase bagi elit politik untuk mendapatkan keuntungan dan kekuasaan. Wakil rakyat yang seharusnya mengutamakan urusan rakyat justru mendahulukan kepentingan korporasi.
Suara rakyat hanya dibutuhkan ketika kontestasi pemilu. Namun ketika sudah menjabat, suara dan protes rakyat diabaikan. Bahkan banyak kasus persengketaan lahan yang dimenangkan oleh korporasi dengan dalih proyek strategis Nasional (PSN). Rakyat kembali terzalimi.
Berbeda dalam pandangan Islam. Majelis Ummah yang merupakan wakil rakyat memiliki tugas dan fungsi untuk menjadi penyambung lidah rakyat atas dasar keimanan dan kesadaran. Majelis Ummah akan menjalankan amanah untuk menyampaikan nasehat pada penguasa dan aspirasi umat.
Karena yakin bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Fokus tugas Majelis Ummah hanya untuk menyampaikan aspirasi umat dan muhasabah terhadap penguasa bukan menentukan kebijakan yang diterapkan di masyarakat sebagaimana dalam demokrasi.
Terkait harta dalam pandangan Islam dibagi menjadi tiga; pertama, harta individu meliputi rumah, sawah, ladang, dan semua hasil usaha individu dalam perniagaan, pertanian, perdagangan dan gaji dalam profesi tertentu. Kedua, harta rakyat meliputi semua hasil sumber daya alam yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat dan tidak boleh diserahkan ke pihak asing (investor). Ketiga, harta negara seperti iqtho’, jizyah, usyur dan lain sebagaiknya.
Jelas, kesejahteraan akan terwujud ketika diterapkan pembagian harta berdasarkan syariat ini. Seorang wakil rakyat tak kemudian mendahulukan kepentingannya di atas amanah perwakilan yang ia emban. Sehingga tak ada kesenjangan sosial, dan ini hanya bisa terwujud ketika kapitalisme-demokraai dicabut. Wallahualam bissawab. [ LM/ry ].