Kebocoran Pajak di Tengah Beban Rakyat

Oleh: Yuke Octavianty

(Forum Literasi Muslimah Bogor)

 

Lensa Media News – Kasus megakorupsi PT Timah Tbk. yang diungkap Kejaksaan Agung membuat heboh publik. Tidak tanggung-tanggung, kasus ini menelan kerugian negara sebesar Rp 217 Triliun. Tidak lama berselang, muncul kasus baru yang tidak kalah mencengangkan. Kasus pengemplangan pajak yang menyebabkan kerugian negara berupa potensi penerimaan negara hingga Rp 300 Trilliun (cnbcindonesia.com, 12-10-2024). Melalui kabinet baru, pemerintah berjanji akan mengejar 300 pengusaha nakal yang mengemplang pajak. Berdasarkan data yang terhimpun, pengusaha tersebut diduga bergerak di bisnis sawit.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar memaparkan, Kejaksaan Agung tengah menyidik kasus korupsi tata kelola sawit 2005-2024. Dalam perkara tersebut, Kejagung telah menggeledah kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 3 Oktober 2024 lalu.

 

Dampak Sistematis Sistem Rusak

Terbongkarnya kebocoran anggaran negara akibat pengemplang pajak, dengan nilai melebihi Rp 300 triliun, merupakan kejadian yang membuat rakyat kian tidak percaya dengan kinerja pemerintah. Kejadian ini merupakan akumulasi pajak pengusaha yang tidak terbayarkan selama bertahun-tahun dan baru menjadi perhatian saat ini. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa negara bersikap lemah terhadap pengusaha yang tidak membayar pajak.

Kondisi ini menjadi bukti nyata bahwa negara memberi posisi yang istimewa bagi para pengusaha, terutama pengusaha besar yang tergolong oligarki, yakni pengusaha yang juga memiliki wewenang kekuasaan di kursi pemerintahan. Gambaran ini menambah deretan kebijakan negara yang cenderung bersikap ‘lembek’ terhadap para pengusaha. Berbagai keringanan pajak ditetapkan negara mulai dari tax holiday, tax amnesty dan lainnya.

Berbeda secara diametral dengan kebijakan pajak yang ditetapkan untuk rakyat. Rakyat dibebani berbagai pajak yang memberatkan dengan besaran yang terus naik dari waktu ke waktu. Slogan ‘Orang Bijak Taat Bayar Pajak’ terus dideraskan di tengah masyarakat demi mendongkrak kesadaran rakyat agar membayar pajak tepat waktu. Segala bentuk pelayanan yang diberikan negara diklaim bersumber dari pajak. Padahal faktanya, pemasukan negara berupa pajak, banyak disalahgunakan penggunaannya.

Di sisi lain, penerapan kebijakan pajak yang berbeda antara perusahaan dan individu ini, jelas merupakan bentuk kewenangan negara terhadap rakyat. Negara lalai dalam menjaga kepentingan rakyat. Apalagi penetapan kebijakan pajak terhadap rakyat berdampak pada penundaan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan rakyat. Wajar saja, rakyat terus menderita dengan kebijakan yang ditetapkan negara. Apalagi ketika hal ini berdampak pada penundaan pembangunan yang dibutuhkan rakyat, rakyat justru makin sengsara hidupnya.

Inilah realita pengurusan rakyat ala sistem sekular kapitalisme. Sistem yang hanya berorientasi pada keuntungan materi. Asasnya yang sekular, yakni menjauhkan konsep aturan agama dari kehidupan, melahirkan berbagai kerusakan yang merugikan kepentingan rakyat.

 

Islam Menjaga Rakyat

Sistem Islam memiliki strategi dan mekanisme yang khas dalam menjaga urusan umat. Dalam hal pembangunan, Islam menyandarkan pada anggaran khusus yang ditetapkan negara. Islam menetapkan pajak dan utang negara bukanlah instrumen pokok dalam pengaturan sistem keuangan. Pembangunan dalam Islam dianggarkan melalui pemasukan negara dari berbagai sumber sebagaimana ditetapkan dalam sistem ekonomi Islam, antara lain ghanimah (harta rampasan perang), fa’i, kharaj, dan pemasukan lainnya yang ditetapkan negara.

Negara menetapkan urusan rakyat sebagai urusan prioritas utama. Karena dalam sistem Islam, negara adalah perisai sekaligus pengurus urusan umat.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,

Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya” (HR. Al Bukhori).

Terkait pajak, pajak hanya dipungut dalam kondisi khusus/insidental, misalnya saat ada kebutuhan pokok umat yang sangat mendesak dan keadaan kas negara dalam kondisi kosong. Namun, pajak hanya dibebankan pada orang muslim yang kaya dan mampu. Setelah kondisi keuangan negara stabil dan aman, pajak tidak lagi dibebankan pada aghnia (orang yang mampu secara finansial). Demikian konsep sistem penjagaan dalam Islam. Konsep tersebut hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam yang tangguh dan sempurna di bawah institusi khilafah yang amanah.

Hanya dengannya, kebutuhan umat terjaga. Kesejahteraan merata, rakyat pun aman sentosa.

Wallahu’alam bisshowwab.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis