Demi Rakyat atau Saudara Dekat?
Oleh : Isturia
LenSa Media News–Sah! sekitar 580 anggota DPR resmi dilantik untuk masa kerja 2024-2029. Ternyata beberapa anggota DPR baru memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik, elite politik, hingga sesama anggota DPR terpilih lainnya. Menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Sekitar 79 dari total 580 anggota DPR baru periode 2024-2029 terindikasi punya kekerabatan dengan pejabat publik (Tirto.id, 2-10-2024).
Jika demikian mampukah anggota dewan berpihak dan membela rakyat? mampukah anggota dewan tidak tunduk pada kepentingan parpol, elite politik, kekuasaan eksekutif? mampukah mereka bekerja iklas demi rakyat bukan demi meraup untung pribadi dan keluarga?
Wajar dalam Sistem Sekuler Kapitalisme
Fakta seperti itu hal yang biasa dalam sistem sekuler kapitalisme. Sistem saat ini mengajari untuk mengumpulkan sebanyak mungkin materi. Tidak ada kepentingan rakyat, yang ada kepentingan pribadi atau golongan. Politik dinasti akan selalu ada di antara wakil rakyat. Meski jadi DPR, bisa jadi mereka tidak paham perpolitikan. Kehadirannya pun hanya sekedar menggugurkan kewajiban.
Mereka baru saja dilantik dan belum bekerja, sudah ada wacana tunjangan rumah. Padahal banyak rakyat yang sulit mendapatkan rumah. Apakah ini tanda buruk bahwa kinerja anggoa dewan tidak jauh dari bagi-bagi kue kekuasaan? pembelaan terhadap rakyat hanya seperlunya saja karena kepentingan pribadi atau golongan yang utama. Sungguh menyedihkan.
Politik transaksional akan selalu mewarnai pemilu. Bisa antara rakyat dan kontestan atau kontestan dengan parpol, penyebabnya adalah pendapatan rakyat yang masih rendah sehingga kondisi ini dijadikan alat untuk membeli suara rakyat oleh politisi. Dari sini lahirlah pemimpin korup.
Kenapa dikatakan pemimpin korup? karena untuk melenggang ke senayan butuh biaya yang fantastis dengan cara membeli suara rakyat. Padahal biaya mereka untuk menjadi anggota dewan tidak sebanding dengan gaji mereka perbulan. Alhasil korupsi menjadi jalan mereka untuk balik modal. Masihkah berharap pada sistem saat ini. Yang hanya mengkayakan pejabat dan memiskinkan rakyat?
Wakil Rakyat dalam Islam
Dalam Islam ada yang namanya Majelis Umat yaitu wakil umat dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap para pejabat pemerintahan serta musyawarah. Majelis ini juga menjadi rujukan khalifah dalam meminta pendapat dalam berbagai urusan.
Non muslim pun boleh menjadi anggota Majelis ini. Tugasnya menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa kepada mereka, buruknya penerapan hukum Islam terhadap mereka, tidak tersedianya berbagai pelayanan bagi mereka, dan yang lainnya.
Pemilihan anggota Majelis Umat melalui pemilu dan tidak melalui penunjukan. Mereka merupakan wakil-wakil masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Pemilihan wakil oleh muwakil (orang yang mewakilkan) dan wakil tidak boleh dipaksa oleh muwakil.
Majelis Umat berbeda dengan anggota dewan di sistem demokrasi. Anggota DPR membuat anggaran dan membuat undang-undang sedangkan Majelis Umat tidak. Dalam Islam pembuatan anggaran dibuat oleh struktur yang ada di Baitulmal. Tidak ada pembuatan hukum tapi adopsi hukum dari Al-qur’an dan Sunah oleh khalifah.
Adanya Majelis Umat sesuai aktivitas Rasulullah saw. yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan orang-orang dari kaum Muhajirin dan Ansar yang mewakili kaumnya. Juga ada beberapa dalil yang menyeru kaum muslim untuk mengontrol dan mengoreksi penguasa.
Adapun dasar pemilihan anggota Majelis Umat adalah pertama, harus mewakili masyarakat secara perwakilan seperti halnya kondisi yang menjadi pijakan Rasulullah dalam memilih para penanggung jawab. Kedua, mewakili kelompok secara perwakilan seperti Rasulullah saw. dalam memilih wakil dari kaum Muhajirin dan Ansar.
Fakta Majelis Umat sangat berbeda dengan DPR saat ini. Baik dari fungsi maupun motivasinya. Islam menutup celah adanya penyalahgunaan akad perwakilan, sebab segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Maka, menjadi kewajiban kita sebagai kaum muslim untuk mewujudkan sistem yang lebih baik dari hari ini, menggantinya dengan syariat Islam. Wallahualam bissawab. [LM/ry].