Rasulullah saw. Teladan Menjalankan Toleransi
Oleh Hj. Lia Fakhriyah, S.P
LenSa MediaNews__ Allah ﷻ menyampaikan firman dalam Al-Qur’an:
قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ (1) لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ (2) وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ (3) وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمۡ (4) وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ (5) لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ (6)
Katakanlah, “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untuk aku agamaku.” (TQS Al-Kafirun [109]: 1-6).
Ayat ini digambarkan oleh Rasulullaah ﷺ Secara historis, di dalam naungan Negara Islam di Madinah al-Munawarah dengan sangat indah. Dari 10.000 penduduk Madinah, jumlah penduduk Muslim hanya 1.500 jiwa, sementara orang Yahudi ada 4.000 jiwa dan 4.500 jiwa lainnya masih menganut paganisme (musyrikin). Maka penduduk muslim di Madinah pada awalnya adalah kelompok minoritas. Namun dengan aturan yang ditegakkan oleh Rasulullaah ﷺ, penduduk Madinah, Yahudi dan musyrikin, tidak dipaksa untuk memeluk Islam. Hanya Aturan kehidupan yang digunakan untuk mengatur kehidupan penduduk Madinah, adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan dasar kepemimpinan yang dibuat oleh Rasulullaah ﷺ ini, telah mengantarkan kaum muslimin menjadi negara adidaya selama 13 abad.
Selanjutnya praktik toleransi dalam Islam juga terwujud indah dalam peradaban Islam di bawah naungan Khilafah Islam sepanjang sejarahnya. Di Mesir, misalnya, umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak masa Khulafaur Rasyidin. Di India, sepanjang Kekhalifahan Bani Umayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, muslim dan Hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Toleransi dalam Islam juga terbangun indah pada masa Kekhilafahan Islam di Spanyol. Di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen juga hidup berdampingan dengan tenang dan damai.
Toleransi yang dicontohkan Rasulullaah ﷺ, bukanlah sinkretisme beragama, pluralisme agama, humanisme beragama.
1. Sinkretisme beragama.
Sinkretisme beragama bermakna mencampuradukkan ajaran agama-agama. Termasuk mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain. Sinkrestisme beragama semacam ini jelas mencampuradukkan yang haq dan yang batil, yang nyata-nyata terlarang dalam Islam. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Jangan pula kalian menyembunyikan yang haq itu, sedangkan kalian mengetahui (TQS al-Baqarah [2]: 42).
2. Pluralisme Agama.
Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Karena itu kebenaran setiap agama adalah relatif. Konsekuensinya, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralisme bertentangan antara lain dengan firman Allah SWTﷻ berikut:
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ وَمَا ٱخۡتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ
Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Siapa saja yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, sungguh Allah sangat cepat hisab-Nya (TQS Ali Imran [3]: 19).
Allah SWT juga berfirman:
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِيْنًا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali agama itu tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85).
Ini bukan arogansi kaum muslimin. Namun semua adalah firman Allah ﷻ. Kaum muslimin hanya berkewajiban menyampaikan, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah ﷻ. Dan tidak boleh ada rasa arogan, karena rasa ini adalah sesuatu yang tidak disukai Allah ﷻ.
3. Humanisme Beragama.
Humanisme muncul pada era Renaissance di Eropa. Sejak kelahirannya, paham humanisme ini ingin menghilangkan peran agama dalam kehidupan. Caranya dengan menjadikan manusia pusat edar kehidupan, dengan mengabaikan Tuhan dan agama.
Paham humanisme bertentangan dengan firman Allah ﷻ:
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Katakanlah, “Sungguh shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (TQS Al-An’am [6]: 162).
Keindahan praktik toleransi dalam Islam sejalan dengan misi pengutusan Rasulullah ﷺ kepada seluruh manusia untuk menebarkan rahmat. Allah ﷻ berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً لِّلۡعَٰلَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS Al-Anbiya’ [21]: 107).
Dalam rangka menyampaikan apa yang dimaksud toleransi dalam Islam dan bagaimana praktik Rasulullaah ﷺ menerapkan toleransi, kita perlu terus berdakwah. Karena penerapan toleransi seperti yang dilakukan Rasulullaah ﷺ membutuhkan tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sebabnya, sudah terbukti bahwa hanya Khilafahlah melalui penegakan syariah secara kâffah dan misi dakwahnya yang universal yang mampu mewujudkan toleransi yang hakiki sekaligus menebarkan rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta.