Efektifkah Ketika Subsidi LPG Jadi BLT?

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si

 

LenSa Media News–Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan agar bentuk subsidi Liquid Petroleum Gas (LPG) diubah dari subsidi terhadap produk menjadi subsidi yang langsung diberikan kepada masyarakat dalam bentuk uang tunai.

 

Usulan ini diajukan agar penyaluran subsidi lebih tepat sasaran dan mengurangi beban anggaran negara. Masyarakat yang terkategori berhak menerima subsidi ini nantinya akan menerima uang tunai senilai Rp 100 ribu per bulan.

 

Rencana peralihan bentuk subsidi ini akan mulai dilaksanakan pada tahun 2026 mendatang setelah adanya penyesuaian Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) (cnbcindonesia.com, 12/07/2024).

 

Kapitalisme Merampas Hak Rakyat

 

Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai rencana ini tidak efektif dan justru akan menimbulkan masalah baru karena implementasinya yang rumit.

 

Masalah pertama adalah mekanisme pengawasan penggunaan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Beliau mempertanyakan apakah mekanisme pengawasan bisa dilakukan untuk memastikan BLT betul-betul digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan tidak digunakan untuk aktivitas judi online dan semisalnya?

 

Masalah kedua, imbas pada kenaikan harga bahan pokok. Jika subsidi LPG dihapus, sangat dimungkinkan terjadi kenaikan harga bahan pokok yang cukup tinggi yang akan semakin menurunkan daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin.

 

Trubus menganalisa bahwa sebetulnya yang lebih tepat dilakukan oleh pemerintah adalah memperbaiki pengelolaan distribusi LPG ini yang selama ini disinyalir justru mengalir kepada kalangan yang mampu.

 

Penyaluran yang tidak tepat sasaran tersebut bisa terjadi karena rantai distribusi yang panjang yang membuka celah berbagai penyelewengan dan pelanggaran, misalnya di level pengecer, yang ujung-ujungnya memperkaya pihak tertentu saja (beritasatu.com, 18/07/2024).

 

Pengurangan subsidi terhadap gas yang merupakan kebutuhan pokok rakyat menunjukkan bahwa sistem ekonomi kapitalis liberal sudah merampas hak hakiki rakyat terhadap sumber daya alam (SDA).

 

Sistem ini telah menjadikan negara berperan sebagai regulator yang memfasilitasi kelompok tertentu (pemilik modal), sehingga kebijakan yang ditetapkan tidak berpihak pada rakyat. Yang terjadi adalah negara berbisnis dan mencari keuntungan dari rakyatnya sendiri!

 

Jadi, selama kapitalisme diterapkan di negeri ini, maka meskipun SDA migas di negeri ini melimpah, rakyat tidak akan pernah bisa menikmatinya.

 

Sistem Islam Menjaga Hak Rakyat 

 

Islam mewajibkan negara untuk mengurusi rakyatnya (raain) dan memenuhi semua kebutuhannya sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam hadis yang diriwayatkan Imam al Bukhari dan Ahmad bahwa ,”Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus“.

 

Sebagai sistem yang paripurna, Islam mengatur kepemilikan harta menjadi tiga jenis yaitu milik individu, milik umum dan milik negara yang pengaturannya dilakukan sesuai syariat Allah Taalaa.

 

Barang tambang yang jumlah tidak terbatas (melimpah) seperti minyak dan gas (migas) merupakan harta milik umum, baik muslim maupun non muslim, sehingga tidak boleh dimiliki atau dikelola perorangan ataupun swasta.

 

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah bahwa ,”ada tiga hal yang tidak pernah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang dan api“. Yang dimaksud air dalam hadis ini adalah sumber air seperti laut, sungai, danau dan sebagainya. Sementara yang dimaksud dengan api adalah barang tambang migas.

 

Rasulullah Saw. pernah mencontohkan dilarangnya pemilikan dan pengelolaan barang tambang tak terbatas oleh perorangan seperti yang terjadi pada Abyadh bin Hammal, ketika Beliau mengetahui bahwa tambang tersebut jumlahnya tak terbatas (melimpah).

 

Negara Islam memiliki kas negara (Baitulmal) yang sumber pemasukannya berlimpah dari tiga pos pemasukan yaitu harta milik umum, harta milik negara dan zakat.

 

Untuk pembiayaan pengurusan negara dan kebutuhan rakyatnya, termasuk juga pemrosesan minyak dan gas dari mulai tahapan pengeboran, penyulingan dan sebagainya serta proses yang memerlukan usaha keras dan biaya besar, sampai ke distribusinya maka semua itu ditanggung baitul mal, yang dikelola secara berdaulat oleh negara tanpa campur tangan swasta (An-Nabhani, Taqiyuddin. 2015. Sistem Ekonomi Islam).

 

Islam melarang privatisasi dan pengelolaan oleh swasta, karena akan mengakibatkan perusahaan kapitalis menguasai dan mengendalikan negeri-negeri muslim baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Larangan Allah terkait kondisi ini sebagaimana firmanNya dalam QS An Nisa ayat 41 bahwa,” Allah sekali-sekali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. ”

Dengan pengaturan seperti ini maka akan terwujud keadilan, kesejahteraan dan keberkahan dalam kehidupan.  Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis