Fenomena Dokter Asing Kuatkan Kapitalisasi Kesehatan
Oleh: Dian Agus Rini, S.E
LenSa MediaNews__ Rekrutmen dokter asing di Indonesia menjadi headline di berbagai media. Salah satu sumber dari Liputan6.com, menyebutkan payung hukum mendatangkan dokter asing ada pada Undang-Undang (UU) Kesehatan No.17 Tahun 2023, yang menurut analisis salah satu poin yang dipakai adalah memperbaiki kekurangan tenaga kesehatan dengan cara mendatangkan dokter asing. Ada 5 alasan pemerintah terkait hal itu, yaitu transfer ilmu, mengisi kekosongan dokter, selamatkan 6000 bayi dengan kelainan jantung, bantu selamatkan nyawa warga dan membantu meningkatkan kualitas SDM dokter dalam negeri. Sudah relevankah alasan tersebut dengan fakta yang ada ?
Menurut data WHO (2019), rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,47 per 1.000 penduduk, padahal standar WHO yakni 1,0 per 1.000 penduduk. Peringkat ketersediaan dokter spesialis di Indonesia pun berada pada urutan ke-147 di dunia. Faktanya, Indonesia masih kekurangan dokter umum sebanyak 124.000 orang dan 29.000 orang dokter spesialis. Sedangkan saat ini, Indonesia baru mampu mencetak 2.700 dokter spesialis setiap tahun. Tidak heran, data tersebut turut menguatkan legitimasi bagi pemerintah untuk merekrut dokter asing. Namun, rasanya terlalu klise jika alasan perekrutan dokter asing hanya dalam rangka memenuhi kurangnya kebutuhan dokter di Indonesia.
Ini karena kita juga tidak bisa menyangkal bahwa sektor kesehatan dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah lahan untuk meraih profit. Hal ini sudah diaruskan secara internasional sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semua anggota WTO juga menjadi anggota GATS (General Agreement on Trade in Services). Tujuan GATS adalah memperluas tingkatan liberalisasi pada dua belas sektor jasa, yaitu sektor bisnis, keuangan, konstruksi, kesehatan, pendidikan, transportasi, distribusi, lingkungan, pariwisata, olahraga dan budaya, jasa lainnya, dan jasa komunikasi.
Alhasil, keberadaan dokter asing untuk memenuhi kekurangan dokter menjadi sorotan di tengah liberalisasi kesehatan yang mengakibatkan biaya mahal dan dapat merugikan dokter lokal. Sedangkan, keberadaan dokter asing berpotensi makin meningkatkan biaya kesehatan. Adapun kualitas layanannya juga belum tentu terjamin, bahkan sangat mungkin makin dipertaruhkan, tergantung kemampuan membayar, apalagi untuk kalangan ekonomi lemah.
Dalam Islam, keberadaan dokter asing sejatinya tidak masalah. Ini karena paradigma yang digunakan dalam perekrutan bukanlah paradigma liberal sebagaimana kapitalisme. Terkait hal ini, Rasulullah SAW pernah mendapatkan hadiah seorang tabib (dokter) dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim)
Meski begitu, penguasa muslim atau khalifah dalam hal ini harus memegang kendali penuh untuk mengatur urusan perekrutan dokter asing. Hal ini terkait erat dengan langkah Khilafah memosisikan kesehatan sebagai sektor publik yang wajib tersedia bagi rakyat sehingga mekanisme pengelolaannya juga sebagaimana fasilitas umum.
Dengan pengelolaan harta yang dimiliki negara Islam yang berasal dari berbagai pos pemasukan, maka pemenuhan berbagai sektor daulah Khilafah akan terjangkau, termasuk pembiayaan pendidikan kedokteran dan penyediaan segala fasilitas kesehatannya. Tentu dalam kondisi ini, paradigma pembiayaan yang sangat tinggi pada sistem liberal akan dipatahkan oleh penerapan sistem Islam. Di sisi lain, para dokter muslim yang dihasilkan dari sistem pendidikan Islam berkesempatan menjadi agen perubahan dalam mewujudkan paradigma kehidupan bernegara yang sahih sesuai dengan tuntunan Islam.