Pajak Menggurita, Rakyat Menderita
Oleh: Umi Rizkyi
(Komunitas Setajam Pena)
Lensamedianews.com, Opini – Pajak tiap tahun mengalami kenaikan di berbagai bidang dan sektor. Baik pajak rumah, bangunan, tanah, kendaraan, dan lain sebagainya. Setiap orang merasakan bahwa pajak tak memberikan peran penting untuk kesejahteraan mereka. Alih-alih demikian, yang ada hanyalah menambah beban hidup rakyat yang semakin sempit dan terhimpit.
Namun demikian, pemerintah justru beranggapan bahwa pajak nilainya semakin merosot. Penerimaan pajak pada Maret 2024 dinilai anjlok. Sejumlah setoran pajak dari beberapa sektor industri turun drastis misalnya industri manufaktur hingga industri pertambangan. Total penerimaan pajak hingga Maret 2024 hanya sebesar Rp 393,9 triliun. Realisasi ini turun 8,8% dari penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu yaitu sebesar Rp 431,9 triliun. (CNBC, 26/4/2024).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, adanya penurunan pajak dibeberapa industri ini menggambarkan kondisi perekonomian domestik yang terdampak tekanan ekonomi global. “Kalau di-breakdown per sektor kita bisa lihat gambaran ekonomi kita dari pajak ini,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN edisi April 2024 di kantornya, Jakarta, Jumat (26/4/2024).
Setoran industri pengolahan turun sebesar 13,6%. Padahal pada kuartal I-2023 masih tumbuh 32,9%. Salah satu penyebabnya adalah penurunan harga komoditas dan peningkatan restitusi pajak terutama di subsektor industri sawit dan logam dasar, tutur Sri Mulyani.
Industri sektor perdagangan juga mengalami penurunan setoran pajak sebesar 1,6% pada kuartal I-2024, padahal pada kuartal I-2023 tumbuhnya hingga 19,9%. Penyebabnya berdasarkan penjelasan dari Sri Mulyani ialah peningkatan permintaan restitusi pajak untuk sektor ini.
Sebagaimana diketahui, restitusi berdasarkan ketentuan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan para wajib pajak kepada negara.
Setoran pajak dari industri pertambangan mengalami penurunan drastis, yakni sebesar 58,2% dari periode yang sama tahun lalu tumbuhnya sebesar 112,8%. Penurunan ini dipicu oleh tertekannya aktivitas industri sektor pertambangan batu bara dan bijih logam.
“Tahun lalu masih tumbuh bagus karena harga komoditas tinggi, lalu turun drastis pada kuartal terakhir dan terus turun di 2024 bahkan netonya sangat dalam 58,2% hampir 60% sendiri kontraktif,” jelas Sri Mulyani.
Selain tiga sektor itu, pertumbuhan setoran pajak secara neto masih tumbuh, misalnya jasa keuangan dan asuransi yang tumbuh 13,9%, meski lebih lambat dibandingkan pertumbuhan pada kuartal I-2023 sebesar 38,3%.
Sektor jasa perusahaan hanya tumbuh 7,6% dari pertumbuhan tahun lalu mencapai 46%. Sektor informasi dan komunikasi malah kebalikannya dari semua sektor, sebab hingga kuartal I-2024 mampu tumbuh 22,5% lebih cepat dari pertumbuhan kuartal I-2023 yang tumbuh 6,2%. “Ini gambaran yang cukup mix, ada yang cukup berkembang dan ada yang terdampak oleh global yang harga komoditas itu dan lain-lain,” kata Sri Mulyani.
Dalam demokrasi kapitalisme pajak adalah sumber pendapatan utama bagi negara. Jadi jika ada kekurangan atau bahkan kemerosotan nilai penerimaan pajak, maka hal itu akan menjadikan negara kelimpungan dan kebingungan dalam menghadapinya. Tak memandang apakah rakyatnya itu merasa terbebani ataukah tidak dengan diberikannya wajib pajak pada setiap warga negaranya.
Sungguh sangat berbeda dengan Islam. Islam menjadikan akidah sebagai landasan utama pengambil keputusan. Dalam hal mengatur pendapatan. Islam memiliki aturan sendiri. Sesuai dengan hadis berkaitan dengan pengelolaan SDA, yaitu, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hal ini bermakna bahwa segala kekayaan alam, baik padang rumput, hutan, sungai, laut, danau, barang tambang, gas alam, ataupun minyak bumi, adalah milik rakyat. Negara punya kewajiban mengelola dan memberikan hasil pengelolaan kepada rakyat secara merata.
Selain itu, negara juga memiliki pemasukan dari berbagai macam. Misalnya jizyah, fai, kharaj, dan ghanimah. Semua pemasukan itu akan dimasukkan ke Baitulmal dan digunakan negara untuk mencukupi kebutuhan rakyat.
Pajak dalam Islam tidak menjadikannya sebagai pemasukan utama. Pajak hanya akan dipungut ketika negara mengalami kekosongan kas. Itupun hanya untuk kaum muslim yang kaya. Bagi kaum muslim lainnya atau nonmuslim (kaya atau tidak) tidak akan mendapat kewajiban membayar pajak.
Sistem keuangan seperti ini hanya ada pada negara yang menjadikan Islam sebagai aturan. Khilafah itulah namanya, sebagaimana yang dicontohkan para sahabat dan khulafa. Jadi, hanya Khilafah yang bisa mengelola keuangan dengan baik, sehingga tidak akan membebani rakyat. Satu hal yang pasti, rakyat tidak akan lagi merasa tertekan dan terbebani dengan berbagai macam pajak yang harus dibayarnya. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]