Palestina, Menyoal Sikap Netral yang Tidak Masuk Akal
Oleh: Ummu Zhafran,
(Pegiat Literasi)
LensaMediaNews__Ada yang berbeda dari sikap publik terhadap krisis Palestina kali ini. Jika dahulu seakan bersatu bersama mendukung perjuangan menentang penjajahan, anehnya sekarang tidak lagi. Sebagian suara sumbang terdengar menyerukan sikap netral. Dengan kata lain tidak memihak baik ke Palestina maupun Israel. Entah apa yang diinginkan dengan sikap tersebut, sebab hakikinya netral itu artinya tetap saja berpihak. Memihak pada ruang kosong alias sesuatu yang tidak jelas wujudnya. Miris nian, mengingat bayi dan anak-anak yang kerap jadi korban keganasan penjajahan adalah fakta yang nyata terjadi. Sama sekali bukan mimpi di siang bolong.
Di bawah pandangan mata dunia, Gaza menjelma bagaikan ‘kuburan raksasa’ akibat serangan Israel. Rata-rata 420 anak Palestina khususnya terbunuh sejak 7 Oktober. Lebih dari 8.500 warga Palestina, sebagian besar anak-anak dan perempuan juga terbunuh. Nyata, ini bukan lagi semata-mata perang melainkan genosida. Mereka ingin melenyapkan generasi Palestina. Tetapi mereka lupa senjata terkuat di muka bumi yang dimiliki penduduk di sana, kokohnya keimanan pada Allah Azza wa Jalla yang Maha Perkasa lagi Maha Penolong. Allahu Akbar!
Di sisi lain bagi yang paham sejarah, tentu sulit menerima seruan netral ini. Sungguh di luar nalar dan membuat tidak habis pikir bagaimana mungkin bisa menoleransi keganasan Israel, bangsa pendatang yang menjajah dan menyamakannya dengan perlawanan pejuang Palestina. Sejak awal tanah Palestina adalah tanah yang erat kaitannya dengan umat muslim. Baik secara akidah, syariat maupun historis.
Secara akidah, Palestina dengan Masjidil Aqsha jadi tempat perjalanan malam alias Isra’ yang di lakukan Rasulullah saw. sebelum Mi’raj ke langit ketujuh. Begitu pula Masjidil Aqsha pernah menjadi kiblat umat muslim sebelum syariatnya kemudian diganti dengan Ka’bah.
Ada pun secara historis, penduduk Yerusalem (nama Palestina sebelumnya) yang mayoritas Nasrani dahulu menyatakan tunduk pada kekuasaan Islam yang dipimpin Khalifah Umar Bin Khattab ra. saat itu dan menyepakati Perjanjian Umariyah. Di dalamnya ada satu poin krusial atas permintaan penduduk Yerusalem, yaitu orang-orang Yahudi tidak akan dibolehkan tinggal bersama di Yerusalem. Sebabnya mereka sangat membenci orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi pernah membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Di riwayat lainnya bahkan disebutkan, bahwa Amirul Mukminin Umar ra. menjamin tidak akan membolehkan seorang pun Yahudi sekedar untuk lewat, apalagi bermalam di Yerusalem.
Sampai di sini jelas, bersikap netral justru tidak masuk akal. Karena sikap tak memihak mana pun juga tak pernah ada dalam kamus seorang muslim. Selamanya hanya tersaji dua jalan, halal atau haram, kebenaran atau kebatilan. Islam tak mengenal jalan tengah, netral, apalagi moderat. Terlebih keberpihakan atas salah satu dari kedua hal tersebut menentukan akhir hidup kita kelak, masuk ke dalam surga atau neraka.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran:102)
Ayat di atas menegaskan perintah untuk taat kepada Allah dan tidak maksiat terhadap-Nya. Selalu mengingat Allah Swt. dan senantiasa bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar terhadap seluruh nikmat yang telah diberikan. Kemudian ditutup dengan seruan untuk memelihara Islam sekuat tenaga agar kelak wafat dalam keadaan tetap tunduk pada Islam. (Tafsir Ibnu Katsir)
Mari mulai tunjukkan di sisi mana kita berdiri. Meski baru sebatas itu yang bisa kita lakukan. Sebab sejatinya solusi dari persoalan Palestina, adalah tegaknya perisai yang nantinya akan melindungi setiap muslim di setiap jengkal wilayahnya. Perisai, yang tak lain adalah Khalifah dalam naungan syariah yang diterapkan secara kafah. Dengannya, tak hanya Palestina yang akan terlindungi tapi Uyghur, Rohingya, Kashmir, Pattani dan segenap penduduk muslim dunia yang kini sedang terpuruk. Seperti yang diisyaratkan Rasulullah saw.,
”Sesungguhnya Al-Imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)Wallahua’lam.