Ketika Kebahagiaan Hari Raya Terenggut Individualisme
Oleh: Arin R.M., S.Si.
(Freelance Author, Pegiat TSC)
LensaMediaNews- Islam memiliki dua macam hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Hari raya ini pertama kali disyariatkan pada tahun ke-2 H. Syariat hari raya bagi umat ini menjadikan umat Islam bisa merayakannya, dengan perayaan khas yang diperintahkan. Nabi SAW bersabda, “Abu Bakar, setiap kaum mempunyai hari raya. Ini adalah hari raya kita” (HR Muslim). Dalam Musnad, baginda SAW bersabda, “Agar orang Yahudi tahu, bahwa di dalam agama kita pun ada (semacam) Paskah. Aku diutus dengan membawa agama yang hanif dan lapang” (HR Ahmad).
Hari raya di dalam Islam, identik dengan suasana bahagia dan suka cita, yang biasanya ditandai dengan makan, minum, hiburan, dan bersenang-senang. Namun, bahagia tidak identik dengan kenikmatan materi, fisik, dan psikologis. Tetapi kebahagiaan yang hakiki itu adalah kebahagiaan ruhiyah. Karena itu, selain syiar-syiar dalam bentuk fisik, seperti jamuan makan, minum, dan hiburan di hari raya, Islam pun memerintahkan kaum muslim untuk mengagungkan asma Allah SWT, “Dan hendaknya kamu menyempurnakan bilangan (puasa Ramadhan), dan mengagungkan Asma Allah atas apa yang telah Dia tunjukkan kepadamu, dan agar kamu bersyukur” [QS al-Baqarah: 185].
Hanya saja kebahagiaan hari raya tak dapat dinikmati oleh semua muslim di dunia. Sebagian saudara-saudara kita masih terus bergejolak kondisinya. Sebutlah Palestina yang tak henti dirundung duka, pun dengan muslim Suriah, Uighur, Rohingya, dan Sudan. Bahkan di tanah air sendiri, tepat pada saat hari raya terjadi bentrokan antarwarga. Dikabarkan dari Tribunnews.com (07/06/2019), bentrok terjadi antara warga Desa Gunung Jaya dan warga Desa Sampuabalo, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Kejadian tersebut menyebabkan 87 rumah dibakar, 2 warga tewas, 8 luka-luka, dan 700 mengungsi.
Sungguh amat disayangkan, ditengah anjuran berbahagia justru sebagian saudara muslim merasakan yang sebaliknya. Padahal dalam hadits dinyatakan bahwa, “Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi, seumpama tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam” [HR. Muslim].
Kaum muslim yang seharusnya saling menjaga terpaksa dibuat tak saling tahu-menahu satu dengan lainnya. Semuanya menunjukkan betapa suksesnya individualisme merenggut kesatuan muslim. Konsep ini pun semakin menguat seiring diberlakukannya pemisahan imajiner atas nama negara bangsa. Beda negara seolah sudah bukan lagi “urusan saya”.
Individualisme dan pengkotak-kotakan ini semakin diperkuat dengan kelemahan pemahaman Islam. Walhasil rasa bersaudara berbasis akidah yang harusnya terus terbina justru semakin memudar. Lemahnya pemahaman Islam seolah mengatakan bahwa capaian ketakwaan selama puasa tak mampu meredam amarah, sebagaimana kasus Buton yang menelan banyak korban di atas. Pun tak juga menggugah empati penyelamatan tuntas atas nasib muslim dunia yang masih tertindas. Padahal dalam Islam dinyatakan perlu berlemah lembut ke sesama muslim.
Semuanya ini menunjukkan bahwa diantara kita perlu ada yang mampu menghilangkan individualisme dan sekat imajiner negara bangsa serta yang mampu meningkatkan pemahaman Islam secara komunal dan merata. Hanya saja dalam sistem kapitalis yang diterapkan saat ini semuanya terkesan sulit. Sebab apa yang diinginkan baik justru memang sengaja dibuat buruk oleh kapitalisme ini. Agar ambisi para kapital terhadap kekayaan negeri muslim mulus tanpa kendala. Semua dibuat terpecah dan tak berdaya.
Oleh karena itu, penting adanya sistem yang mendukung kebaikan. Tidak lain dan tidak bukan adalah sistem Islam. Hanya dengan sistem ini muslim akan dapat dijaga total oleh penguasa sekaligus saudara se-akidahnya. Muslim juga akan hidup dalam nuansa kebersamaan, saling mengingatkan dalam kebaikan, dan saling menasehati dalam kebenaran. Iklim amar makruf yang sengaja dikondusifkan ini akan mengantarkan pada hidupnya kesalihan masyarakat. Ditambah dengan penerapan Islam total oleh penguasa, secara integral akan meningkatkan pemahaman Islam masyarakat dengan sendirinya. Sebab Islam hadir dan dekat dengan keseharian mereka. Inilah mengapa sistem Islam ini layak dan perlu untuk diperjuangkan.
[LS/Ah]