Obrolan di Warung Kopi
Oleh : Rakhmawati Aulia
“Bu Lin, kopi satu ya!” seru Shodiq dengan wajah tak karuan. Dihempaskan tubuhnya duduk di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu.
“Lho, kok kopi pahit, Bu Lin!” seru Shodiq protes sambil meraih segelas kopi pahit panas dari tangan Bu Lina.
“Lha, emangnya mau kopi apa? Biasanya kan emang suka pesan kopi pahit,” gumam Bu Lina.
“Kopi susu lah, Bu Lin.”
“Nggak bilang. Sini kopinya, biar ditambahkan susunya,” ujar Bu Lina kembali mengambil gelas kopi dihadapan Shodiq.
“Nggak usah. Nggak jadi!“
“Kau ini,” gerutu Bu Lina meninggalkan Shodiq dengan wajah masam.
Warung kopi yang sekaligus tempat rehat para pengojek online, siang itu memang terlihat sepi dari biasanya. Shodiq menghirup kopi panasnya perlahan.
“Kenapa kau? Hari ini terlihat kusut sekali. Habis ditolak si Marni kau ya,” ujar Bimo sambil terkekeh. Bimo, rekan Shodiq sesama ojek online.
“Tidaklah. Mana mungkin ditolak datang ke rumahnya belum,” sahut Shodiq ketus.
Sejak SMA Shodiq sudah jatuh hati pada Marni, anak sulung Pak Hj. Rohmat yang tinggal di pertigaan jalan Adonis Samad, jalan menuju Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya.
Namun, tak sekalipun ia berani mengajak Marni pacaran. Karena pernah suatu ketika ia mendengar ceramah Pak Hj. Rohmat waktu di masjid, bahwa pacaran itu mendekati zina. Hukumnya haram. Kalau memang suka dengan seseorang, ya langsung dilamar datang ke orangtuanya. Ucapan itu begitu menghujam di hati Shodiq, jadilah ia berusaha keras mengumpulkan uang untuk persiapan melamar Marni.
“Kau ini seperti burung pungguk merindukan bulan saja,” ujar Bimo sambil menyerumput kopinya yang sudah mulai dingin.
Shodiq hanya diam mengambil kue di dalam piring. Bimo mengernyitkan dahinya, biasanya Shodiq akan begitu tertarik membahas tentang Marni tapi kenapa hari ini tidak.
“Kenapa kau? Tak berkicau seperti biasanya.”
“Berkicau?” tanya Shodiq menoleh ke arah Bimo dengan tatapan tajam. “Kau pikir aku burung apa, berkicau.”
Bimo menangkap kilat di mata Shodiq, sepertinya ia sedang bercanda pada waktu yang kurang tepat. “Maaf, tak maksudku begitu. Sabar! Kau kenapa? Dari tadi kulihat kusut sekali.”
Shodiq mengalihkan pandangannya, menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar. “Sekarang itu ya sudah serba susah, tapi kok ada-ada aja yang bikin urusan tambah susah. Kau tau? Aku baru mau memperpanjang SIM, malah ditolak karena tak ada kartu BPJS. Katanya sekarang harus pakai kartu BPJS.”
“Jangankan SIM, Mas, ngurus tanah juga harus pake kartu BPJS,” celetuk Bu Lina menimpali. “Kemarin lho Bapak mau ngurus surat pemecahan lahan malah ndak bisa. Harus nunggu sampai bulan April dan harus pake BPJS.”
“Makanya aku pusing sekali, secara aku belum punya itu kartu BPJS. Gimana mau memperpanjang SIM buat ngojek. Ribet!” gumam Shodiq agak frustasi.
“Lha tau sendirikan. Kemarin-kemarin diajak ngurus nggak mau,” sahut Bimo.
“Bukan begitu, Mo. Kau tau sendirikan, aku itu ya jarang sakit dan moga sehat terus. Kartu begituan mana kepake aku, bikin rugi. Lagipula, aku mana ada uang bayar bulanannya. Buat keseharian aja susah, apalagi aku lagi nabung buat melamar Marni. Pusing!”
“Hati-hati lho Mas, bisa-bisa nanti buat ke KUA juga harus pake BPJS,” ujar Bu Lina sambil melap meja warungnya yang lengket terkena kopi.
“Janganlah, Bu. Bisa kacau nanti rencana Shodiq,” sahut Bimo.
“Harusnya ya, pemerintah itu mempermudah urusan kita bukannya bikin urusan tambah ribet begini. Bikin mangkel aja,” ujar Shodiq sambil meraih gawainya di dalam saku celana.
“Biar protes juga nggak bakal didenger. Rakyat tugasnya manut dengan aturan yang beruang.”
“Ndak boleh gitu dong, Bim. Itu namanya menzalimi, hak kita sebagai rakyat nggak dipenuhi,” protes Shodiq.
“Lha, emang mau ngapain kau. Tak ada yang bisa diperbuatkan? Udah buat aja!” Bimo memberikan pendapat.
“Tau ah gelap. Uangnya ini lho, yang bikin pusing. Sudah susah dibuat tambah susah. Entah kapan kita bisa sejahtera kalau begini terus,” sahut Shodiq.
“Bim, aku duluan ya. Ada yang mau ngojek nih!” seru Shodiq berdiri dari duduknya, lalu memacu motornya meninggalkan warung kopi setelah membayarkan kopinya. Meninggalkan Bimo dengan kepala geleng-geleng.
Palangkaraya, 07 Maret 2022
[LM]