Oleh: Firda Umayah

 

Sebuah pamflet yang tak biasa tergeletak di sekitar trotoar dekat salah satu Plaza. Seorang ibu separuh baya memungutnya seraya menggelengkan kepala.

 

“Wis gendeng,” ucapnya lirih.

 

Ia lantas menyobek pamflet dan membuangnya ke tong sampah. Ibu itu kembali berjalan menyusuri jalan di sekitar Plaza melewati rel kereta dan masuk ke sebuah gang menuju rumahnya.

 

Di rumah, ibu itu tak nampak anak perempuannya. Ia lalu keluar rumah dan bertanya kepada tetangganya.

 

“Bu, Sampean ngerti Laras?” tanya ibu tersebut.

 

“Kayake kok metu karo koncone, Bu,” jawab Bu Jum tetangga kanan rumah ibu tersebut.

 

Bu Siti yang masih mengenakan kerudung dan daster warna ungu segera mencari anaknya di sekitar area Plaza.

 

Bu Siti menanyakan anaknya kepada para warga dan pedagang di sekitar Plaza. Seorang juru parkir yang ia kenal lalu menunjukkan arah di mana Laras berada.

 

“Laras ada di rumah Ningsih, Bu Siti. Tadi berempat sama temannya,” ucap Mas Joko petugas parkir Plaza.

 

Bu Siti segera menuju rumah Ningsih yang tak jauh dari Plaza. Ia penasaran, sedang apa dan siapa teman yang di ajak Laras. Mengapa warga tak mengenal teman-temannya? Bukankah Laras biasa bermain dengan teman-teman di sekitar lingkungan rumahnya saja?

 

Pintu rumah Ningsih nampak terbuka. Ia melihat sosok yang ia kenal sedang mendandani seseorang. Ialah Laras, anak semata wayangnya. Tanpa basa basi, Bu Siti segera masuk ke rumah Ningsih berwarna biru itu.

 

“Laras, muliho, Nak,” ucap Bu Siti tanpa salam.

 

Laras terkejut melihat ibunya datang. Begitu juga ibunya, terkejut dengan sosok yang sedang di dandani Laras.

 

“Astaghfirullah, Laras, ndang mulih, Nak,” ucap Bu Siti dengan nada tegas.

 

Laras segera merapikan peralatan make up-nya dan meminta maaf kepada Ningsih juga seseorang yang sedang ia dandani.

 

Setibanya di rumah, Bu Siti segera meminta Laras mengambilkan minum untuknya sembari mengatur napas. Lisannya basah dengan zikir, menata hati untuk berbicara dengan Laras.

 

“Laras, apa yang kamu lakukan? Kamu tahu siapa orang yang kamu dandani tadi?” tanya Bu Siti.

 

“Laras cuma mau bantu, ibu. Laras ingin dapat uang buat bantu biaya sekolah Laras,” jawab Laras.

 

Ibu lantas memeluk Laras sembari memintanya untuk mendengarkan ucapannya. Karena ibunya nampak tenang, maka Laras mendengarkan dengan seksama apa yang ibunya sampaikan.

 

Bu Siti menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Laras tidaklah benar. Sebab ia sedang mendukung seseorang dalam sebuah kemaksiatan yaitu mendadani seorang transpuan.

 

Rupanya Laras tergiur dengan upah yang diberikan jika ia berhasil mendandani transpuan tersebut dengan baik. Ia hanya ingin mencoba kemampuannya yang biasa ia gunakan untuk mendandani mempelai wanita di sekitar desanya.

 

Laras tak tahu bahwa transpuan yang ia dandani punya tujuan akan mengikuti kontes busana transpuan yang akan diselenggarakan di Royal Plaza, Surabaya. Bu Siti mengetahui rencana kontes itu lantaran menemukan pamflet yang ada di sekitar Plaza.

Beberapa waktu setelah kejadian itu, Laras dan ibunya menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasanya.

 

Sampai suatu hari Laras menemukan berita di media.

“Ibu, liat berita ini,” ucap Laras kepada ibunya.

 

“Alhamdulillah, Gusti. Mugi-mugi Allah paringi slamet untuk semuanya,” jawab Bu Siti.

 

Rupanya, karena penolakan yang kuat dari banyak warga, Gerakan Umat Islam Bersatu, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Jawa Tengah, akhirnya rencana agenda Kontes Busana Transpuan tersebut dibatalkan oleh pihak pelaksana tanggal 18 November 2022.

 

Sejak saat itu, Laras lebih berhati-hati dalam memilih tawaran make up yang datang kepadanya. Ia hanya ingin menggunakan jasanya kepada orang dan pada saat yang tepat. Karena meski ia belum memahami seluruh ajaran agama Islam, setidaknya ia ingin menjadi orang yang tidak salah mengambil keputusan.

(SN/LM)

Please follow and like us:

Tentang Penulis