Karya: Choirin Fitri

 

“Win, kalau gue mati gimana?”

“Ya, dikuburlah. Masak dibiarin.”

Seloroh Windi tak mewujudkan tawa di wajahku. Aku tetap menatap nanar lantai kamar kontrakan. Anganku terbang menjauh dari ragaku yang kaku.

“Tumben tanya tentang kematian? Bener ini diri loe yang sesungguhnya? Atau udah kemasukan …?”

Windi mengecek suhu dahiku. Ia mengguncang-guncangkan tubuhku. Tapi, tak sukses membuatku menimpali guyonannya.

“Ya Allah, beneran loe belum sembuh.”

Kesimpulan teman kerja, sahabat, saudara seimanku benar. Aku belum sembuh. Aku sembuh secara fisik. Tapi, jiwaku seakan belum move on.

Trauma. Ya, aku trauma selepas diisolasi di shelter karena virus yang mematikan menjangkiti ragaku. Meski ragaku tak merasakan sakit lagi tapi jiwaku selalu berontak. Seakan rasa sakit itu masih menyelimuti tubuhku.

Bayang kematian seakan menari-nari di pelupuk mataku. Aku belum siap. Merasa banyak dosa. Merasa belum baik. Merasa sendiri karena jauh dari sanak saudara. Hanya, Windi yang setia menemani kemanapun diri ini pergi.

“Loe takut mati?”

Pertanyaan Windi mulai serius. Ia tak berani menggodaku karena air mataku telah meluncur tanpa kuminta. Entah, air mata ke berapa yang tertumpah di hadapannya.

Aku mengangguk pilu. Ia memelukku. Mengelus punggungku. Aku sesenggukan menumpahkan tangisku.

“Menangislah jika itu membuatmu lega! Maaf tadi mengajakmu bercanda!”

Kuanggukkan kepalaku dalam tangis. Waktu pun terus berputar hingga aku bisa menguasai diriku. Kupisahkan ragaku darinya.

“Minum dulu baru cerita!”

Windi mengangsurkan segelas teh hangat. Isi gelas langsung tandas. Aku mulai menata hati untuk bicara.

“Gue trauma Win. Tiap ada siaran kematian. Sirine ambulan yang meraung-raung. Kabar orang-orang terkena virus yang sama denganku. Gue sulit merasakan nikmatnya tidur. Gue…”

Kalimatku tercekat. Windi telah menangkap maksud ceritaku.

“Wajar loe trauma. Tapi, jika loe terus seperti ini bukannya malah makin sehat. Yang ada nanti bisa ngedrop lagi dan nyusahin gue,”

“Maaf,”

“Loe harus move on! Ketika Allah ngasih ujian ini berarti Dia sudah mengukur kemampuan loe dalam menghadapi ujian ini. Buktinya loe mampu sembuh. Nah, ini artinya Allah masih sayang dan ngasih kesempatan loe untuk jadi yang lebih baik,”

Windi menggenggam kedua tanganku. Menjalarkan semangat hidup dengan tatapan matanya yang meyakinkan. Aku terseret pada kobaran semangat yang ia buat.

“Loe tahu? Allah udah mengabarkan kalau setiap yang bernyawa itu pasti mati.”

Windi mengalunkan surat Al-Anbiya’ ayat 35 dengan suaranya yang lembut dan menggetarkan hati pendengarnya.

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”

“Bisakah gue kembali pada Allah dalam kondisi baik?” pertanyaanku gamang. Seakan aku tak percaya bahwa aku punya amalan baik.

“Insya Allah bisa. Yakinlah, kebaikan atau keburukan yang Allah ciptakan sesungguhnya untuk menguji kita. Jika kita berusaha dalam kebaikan, Insya Allah kita akan kembali pada Allah dalam kondisi baik. Tapi,…”

Aku langsung memotong pembicaraannya, “Sebaliknya jika keburukan yang kita lakukan kita bakal dapat keburukan.”

“Benar. Orang yang cerdas, kata Rasulullah adalah yang selalu ingat mati. Karena dengan begitu ia akan terus berada di jalan taat bukan maksiat.”

Aku mengangguk tanda sepakat. Kudengar ia bicara, “Yang Allah lihat itu adalah ujung perjalanan kita. Kita matinya dalam kondisi apa? Makannya, loe sekarang kudu move on! Trus, usaha hidup taat anti maksiat! Ok?!”

 

Batu, 17 Juli 2021

Please follow and like us:

Tentang Penulis