Oleh : Gansar Dewantara

 

Begitu mendengar suara sepeda motor berhenti di depan rumahnya, Fajar serta-merta menggelandang–menarik daster istrinya yang sedang menggendong si bocah, tanpa mengintip dari balik gorden kaca depan terlebih dahulu. Fajar beserta istrinya gegas lari keluar rumah lewat pintu belakang.

“Kau langsung saja ke rumah Bu RT dan jangan balik ke rumah sebelum magrib. Saya ke rumah Kang Afid, ya!” pinta Fajar kepada istrinya ketika di perempatan jalan desa. Fajar tak mau berkedip, hingga tubuh istri dan putrinya lenyap di balik tikungan jalan. Ia terlebih dahulu ke rumah Kang Sidin, pinjam motor.

Siang yang seharusnya panas, kini terganti redup, tertutup gumpalan awan menghitam, sesekali gerombolan daun jambu mengibaskan semilir atis. Di bawah pohon jambu di ruang belakang rumah Kang Afid di desa Wedung memang asik dan nyaman jika untuk releksasi. Tepat jam empat sore, Fajar duduk sedikit gusar di ruang tersebut.

“Kang Afid, meski sudah pernah saya paparkan lewat telepon tempo hari. Namun, kedatangan kali ini sungguh begitu mendesak, dan saya baru saja lari menghindar penagihan. Pokoknya tiap hari orang datang kerumah selalu nagih dan nagih. Dan istri saya sepertinya mengalami Paranoid,” kesah Fajar sekitar sepuluh menit tiba di rumah Kang Afid, sahabatnya.

Kang Afid melempar senyum, ia begitu santai menanggapi sahabat yang selalu berpenampilan necis bak direktur perusahaan ini.

“Dihabiskan dulu kopinya, setelah itu kita jamaah Asar, ya,” balas Kang Afid enteng.

Muka kedua sahabat itu basah saat memasuki ruang fasholatan, ruang salat di dalam rumah. Seperti ada kekhawatiran di ruang batin Fajar, ekspresi itu terbaca sahabatnya yang dulu menjabat sebagai lurah pondok, saat keduanya satu kamar di pesantren.

“Tadi sehabis salam, kau tidak wiridan juga tidak menengadahkan tangan kepada Gusti Allah, Kenapa?” kritik Kang Afid menyusul langkah Fajar yang kembali duduk di kursi panjang bawah pohon jambu.

“Kok, tanya kenapa? Ya, sudah jelas saya tidak tenang, tidak khusuk, Kang.”
Fajar lesapkan kecang asap kretek 234 yang baru disulut.

“Ya, aku tahu itu. Aku juga begitu, terkadang kalau shalat masih belayang-belayang pikiran dan hati ini, apalagi seseorang yang kondisinya berada di titik nol. Namun, aku salut kepadamu, dengan kondisi seperti ini kau masih setia sujud.”

“Sujud adalah kewajiban seorang hamba terhadap Tuhannya.”

“Setuju! Soal sah-batalnya shalat itu fiqih yang mengatur, kalau diterima atau tidaknya shalat itu haknya Gusti Allah, tetapi benar tidaknya shalat seseorang bisa kita nilai dari perilaku kesehariannya, betulkan?”

“Inna sholata tanha anil fahsya’ wal munkar …,” dalil Fajar, sepintas lalu menundukkan kepalanya. Ia baru menyadari kalau Kang Afid telah menggiring wacana sampai zona pinalti.

Memang yang membuat Fajar jatuh bahkan lebih dari sekedar kere, tersebab kebiasaan buruknya. Rumah kejual, sertifikat rumah mertua masuk Bank, sepeda motor hilang, sepeda ontel roda tiga punya anaknya katut, kalung, suweng istri, sarung, jam dinding, sepatu, rice cooker, magig jer, almari saat jadi penganten, televisi. Semua ludes, kecuali istri dan anaknya yang mengerti dan selalu setia menemaninya.

“Tunggu sebentar.” Kang Afid melangkah masuk kamar. Fajar semakin gelisah, ia menilai Kang Afid kelamaan di dalam dan belum memberi keputusan. Bisa membantu apa tidak?

Beberapa menit berikutnya, Kang Afid keluar mendekati sahabatnya dan menyerahkan dua amplop; satu amplop panjang warna pramuka, dan satunya amplop putih ukuran kecil.

“Alhamdulillah … ya, Allah, matur suwun, terimakasih, Kang.”
Fajar merunduk-runduk di hadapannya Kang Afid.

“Kita ini hidup di kehidupan yang sebenarnya, Jar. Hidup yang secara tak langsung dicatat oleh manusia hidup. Setiap jengkal peristiwa yang kita lakoni adalah sebuah sejarah yang tak mungkin mudah hilang dari sorot mata dan ingatan kehidupan manusia lain. Jika tak mampu menjadi tauladan baik, setidaknya jangan mewariskan cap buruk kepada anak-cucu kita,” tutur Kang Afid membuat gemetaran di sekujur batin Fajar.

Langit semburat merah. Kedua sahabat itu angkat kaki menuju halaman depan.

“Mobil baru kang?” celoteh Fajar di atas motor yang siap membawanya meluncur pulang.

“Oh … mobil itu, belum sepenuhnya jadi milikku, kenapa Jar?” balas Kang Afid dengan sapaan akrab.

“Plat nomor mobilnya unik, inden, ya, Kang?”

“Ya. K 141 KU, hehehe … hati-hati dijalan!” pesan Kang Afid di akhir senja.

***

Azan Isya Mengumandang, Fajar baru saja masuk rumah yang sudah tiga tahun di kontraknya, Sania sang istri menyambut dengan seamsal senyuman. Vera, putrinya baru kemarin ulang tahun keempat, dengan centil menyambut sang ayah dengan pelukan manja. Suasanya ceria terbias dari sesungging senyuman yang menyumbul di pipi-pipi anggota keluarga kecil itu.

Gulita langit malam tanpa seuplik cahaya bintang. Lamiri pelan-pelan merayap lewat ventilasi-ventilasi, dingin gerimis membelai sekujur kulit seluruh warga Karangtengah, daerah Fajar.

Fajar menyerahkan kedua amplop kepada istrinya yang sedang melipat rapi pakaian dari jemuran. Sebentar lalu Fajar keluar–pamit mengembalikan motor dan membeli rokok.

Di ruang depan, Sania menelan ludah berkali-kali setelah melihat tumpukan lembaran duit bergambar tokoh Proklamator, “sembilan juta,” sendu di ruang hatinya setelah menghitung lalu mematung.

“Kenapa Bu, kok, melamun?” suara Fajar dari pintu depan mengembalikan kesadaran Sania. Kemudian ia memosisikan dirinya setengah tiduran setengah duduk persis di samping istrinya.

“Benar sembilan juta, duit dari Kang Afid, Yah?”

“Ho’oh. Dan yang untuk Vera dua ratus ribu, saya dapat lima puluh ribu: sepuluh ribu buat bensin, dua puluh ribu buat kang Sidin atas sewa motornya, sisanya buat rokok, memangnya ada apa, Bu?”

“Ndak apa-apa,” jawab Sania lesu. Ia tidak fokus melipat pakaian, lalu menghitung ulang segepok duit itu, kembali lagi memegangi pakaian, sesekali berhenti, diam mematung.

“Kok, melamun terus … ada apa, tho, Bu?”

“Rencana Ayah.”

“Maksud Ibu?”

“Duit ini. Apakah hanya untuk bayar utang-utang kita atau ada rencana usaha apa?”

“Saya ingin menutup utang dengan Mbak Rini sang rentenir dan menebus sertifikat rumah Bapak, kurang lebih semua enam jutaan. Dan sisanya saya ingin jualan mainan anak-anak di sekolahan serta ikut-ikutan jualan via online kalau sudah punya HP tunyuk.”

“Terus bagaimana dengan utang kepada Koperasi, dengan Kang Limo, warung-warung juga bayar kontrakan rumah ini?” Sania melepas napas waswas.

Fajar juga menarik napas dalam-dalam, merubah posisi menjadi duduk selonjoran, lalu minta tolong kepada istrinya untuk mengambilkan wedang kopi sisa tadi pagi yang masih separo gelas.

“Ya … kita berusaha sambil terus mohon kepada Gusti Allah, Bu.”

“Ayah sudah lama tidak qiyamul lail, kan?”

“Malam ini akan saya mulai seperti dulu lagi, tadi Kang Afid memberi ijazah wirid lewat cerita, Ibu mau saya ceritakan?”

Sania menggerakkan kepalanya menurun. Namun, gerakan yang pelan sekali, kemudian membaringkan tubuh di samping suaminya.

“Kebanyakan orang, jika naik status sosialnya, kaya harta atau berpangkat, omongannya kemlentus—membanggakan diri—volume suaranya sesuai isi dompetnya. Namun, saya tak menemukan hal demikian pada Kang Afid, Bu ….”

Fajar tak menyangka secepat itu istrinya mendengkur, nyenyak. Ada jutaan kebahagiaan yang menyala di jagat batin Fajar saat melihat belaian jiwa tertidur pulas tanpa berawal gelisah serta phobia.

Sayang, maafkanlah, sampai detik ini saya belum bisa membuatmu benar-benar bahagia. Begitu lirih mulut Fajar berkalimat, lalu menjatuhkan bibirnya tepat di kening serta pipi Sania, semakin lama semakin dalam kecupan itu, sampai ia tak terhirau air matanya tumpah mengalir di pipi mulus istrinya.

***

Suara gaduh dari jauh semakin mendekati rumah. Sebentar kemudian pintu digedor-gedor bagai Londo bangsat menggedor, menggeledah pejuang yang sembunyi di rumah warga. Spontan Fajar bangkit meraih linggis ceweng yang gemeletak di samping pintu. Sania kaget, Vera menjerit dalam peluk kasih sang ibu.

Hal demikian sebenarnya sudah menjadi santapan tiap hari bagi sepasang suami-istri itu, hingga psikis Sania terkoyak. Hanya mendengar bunyi motor berhenti saja Sania ketakutan. Namun, bukan di waktu malam yang mulai merambat pekat. Dan kegaduhan ini baru pertama kali.

“Mas Fajar! Maaas! Buka, Mas!”
Suara di luar tanpa etika bertamu memaksa tensi darah Fajar naik. Ia pun mengenal suara siapa itu.

“Ya, sebentar!”

Pintu dibuka dan linggis siap diayunkan, tapi tangan Sania lebih cepat menahan tangan suaminya, ” Yaah …!”

Beberapa orang sempat kabur.

“Sabar Mas, sabar!” teriak Kang Sidin meredam dari jarak terjaga.

“Jangan bertele-tele! Apa saya tak berani membabat kalian! Setahun lebih istri saya tak pernah bisa tidur nyenyak, baru malam ini ia bisa pulas dan nikmat, malah kalian mengobrak-abrik ketenteramanannya, mau kalian apa!” volume omongan mantan pelatih pencak silat di pesantren itu meninggi,

“Kami sungguh mohon maaf. Sungguh mohon maaf, Mas. Emm … nganu Mas, enganu, pasangan togel Mas Fajar, tembus jitu,” jelas Kang Sidin selaku pegawai pencatat nomer togel pada bandar terbesar di Karangtengah.

“Ssstt … jangan keras-keras.” Fajar mendekat, bersahabat.

“Ya, Mas. Nomer togelnya Mas Fajar nembus 3D, pasang lima ratus ribu dan 2D juga pasang lima ratus ribu. Nembus jitu Mas, hebat!”

Kang Sidin menyerahkan tumpukan duit kemenangan togel sejumlah tiga ratus tiga puluh lima juta rupiah.

“Yess! Mobil kiaiku. Yees! Terimakasih kang Afid. Utang-utang saya lunaaas!”

Teriak Fajar kegirangan. Di susul para komplotan togelers ngakak–hore, kemudian mereka lenggang setelah membawa jatah duit dari Fajar.

Dari balik kaca jendela, Sania menahan tangis yang sesak–terisak.

“Astagfirullah … ternyata duit dari Kang Afid sepuluh juta.

Batin Sania menahan gundukan perih, sebentar lalu ia tumbang. Vera terlepas dari dekapan sang ibu. Bocah itu menjerit sejadi-jadinya.

Setengah jam berikutnya terdengar nada.

Liiiuuu!
Liiuuu!
Liiiuuu!

Ambulan itu membawa Sania.[*]

Demak, 2019 – 2020.
___________________
Gansar Dewantara, lahir dari sastra pesantren. Alumnus Ponpes Raudlatus-Salikin, Wedung – Demak. Penggiat literasai pena santri Demak. Kini mengajar di Madrasah Diniyah dan tinggal di Demak – Jawa Tengah.

 

[SN/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis