Kata Orang “Dunia Hitam”

Oleh : Sunarti PrixtiRhq

 

Bayarnya empat juta ya, Pak! Dibayar di loket pembayaran. Kantornya di depan, jalan masuk portiran,” kata perawat perempuan di hadapannya.

Perawat itu tersenyum diiringi tangannya yang mungil menyodorkan sebuah kuitansi beserta beberapa lembar kertas berisi rincian rupiah. Yang disodori kertas tersenyum. Namun kecut di hatinya. Sebal.” Bukankah sudah hampir dua juta aku harus menebus obat? Katanya gratis dari BPJS. Bohong. Kalian semua pembohong,” batin laki-laki itu berkata.

Laki-laki berperawakan tinggi besar itu memaksakan senyum seraya pergi dari hadapan perawat. Langkahnya tegap, namun bagi pemiliknya langkah itu dirasakan bagai menarik seratus ton rantai besi. Tubuhnya menggigil, namun segera ditepisnya. Ucap istigfar terlantun di hatinya, demi memenangkan gejolak kegelisahannya. Hawa panas menyeruak wajah begitu melihat angka di atas kuitansi, serasa langit telah runtuh.

Kenyataan pahit musti ia terima. Tatkala dalam dompet tidak ada sepeser pun rupiah. Apalagi di rumahnya. Tabungan berupa kambing, juga sudah digiring ke makelar pedagang hewan. Padahal kambing itu baru tiga bulan dibelinya. Itulah terakhir simpanan hartanya.

Mas kawin dan perhiasan lain, sudah empat hari lalu berpindah tangan. Demi menebus obat-obat saat istrinya dalam proses persalinan. Dan hari ini, harus membayar administrasi ruang rawat inap dan operasi caesar anak pertamanya.

Tuhan, di mana Engkau? Aku lelah,” ucapnya lirih di ujung lorong depan loket pembayaran.

Matanya memerah. Istigfar beberapa kali terucap. Tapi sayang, ia tak sanggup menerima keadaan. Kertas jatuh terserak. Terduduk tubuh besar itu, di lantai ujung lorong. Tangannya yang basah keringat, menyunggar rambut ikalnya. Tak dihiraukan lagi lalu lalang orang di sekitarnya. Matanya merah hampir melompat dari kelopaknya. Panas dalam dada membuncah.

Bos, N1R dalam kesulitan,” tangannya bergetar memegang gawai yang didekatkan di telinga. 

Tubuhnya serasa terisi kalori saat suara berat di seberang menjawab parau. Meski itu bagai sayatan sembilu, tapi dia harus kuat. 

Selamat datang, Tuan. Dua tahun off. Jenuh dengan omong kosong? Masih kurang, dilayar di Pamekasan?” jawab orang di ujung gawai. 

Terdiam beberapa saat, Rudi menunggu dengan dada yang hampir pecah. Diterima apa tidak kodenya oleh si Bos. Kegelisahan melebihi kegelisahannya saat dirinya mengantar istrinya sampai pintu kamar operasi.

OK, gak perlu berbusa. Ring 1 Ng milikmu. Atas nama C1. Rekening belum diblokir. Ambil seperlunya. Selanjutnya jalan seperti biasa,” kata suara berat di sebrang diiringi bunyi putus sambungan.

Seolah mengerti keluhannya, orang di seberang menjawab enteng kode Rudi. Titik-titik hangat mengalir di pipi lebarnya. Hatinya sakit, pikirannya kosong.” Anakku, istriku, ke mana lagi ayah mengadu? Ayah sebenarnya tidak mau kembali padanya.” Kata hatinya mengeluh.

Kakak kandungnya hanya mampu memberi nasehat, tapi faktanya, uang begitu jahat. “Tapi kalian kehidupan ayah. Mau digadai ragaku saja, aku siap.” Batinnya berujar dan itulah semangat hidupnya. Meski rela menggadai jiwa raga.

“Gak bisa, Le. Kamu harus cari uang sendiri. Uang Mbak, sudah habis buat menebusmu dua tahun lalu di sel tahanan.”  Begitu kalimat terakhir dari sang kakak melintas di ingatannya sebelum keputusan menelepon mantan bos narkoba, majikannya.

Kata-kata kakaknya bak comberan memenuhi rongga kepalanya. Mau dimuntahkan saja saat kata itu tiba-tiba melintas. Padahal nasehat-nasehat yang keluar dari mulutnya, selalu bijak. Faktanya?

Bos adalah uang. Jadilah hari itu dia keluar dari rumah sakit dengan anak dan istrinya. Tidak ada pertanyaan sedikitpun dari istrinya. Yang dia tahu suaminya menggadai motor ke majikannya.

Uang puluhan juta telah kembali hinggap di rekeningnya. Ternyata, hanya Bos pemilik kekuasaan. Hanya Bos yang punya hati dan mata uang. Hanya Bos yang punya kehidupan. Mereka yang bicara rezeki, takut pada Tuhan, nonsense.

***

C1, siap Bos. Jam 5 sebata masuk R1 Ng,” kata Candra dalam telepon genggam jadul. Tanpa kamera tanpa aplikasi lain. Wajah bulatnya berseri. Dialah bawahan Rudi sebagai pengedar di wilayah daerah.

Candra, memiliki link yang banyak. Mulai dari pejabat hingga anak jalanan. Tidak heran, jika omset masuk tidak hanya puluhan juta.

Ok. Bagi PAHE seperti biasa! Sikat, semua,” jawab Rudi mantab.

Telepon diakhiri. Notifikasi M-banking masuk di hp androidnya.

Hijau, Bos,” kata Rudi lagi berdialog dengan nomor berbeda.

Dunia hitam, kata orang. Tapi tidak bagi Rudi. Rudi kembali bergelut dengan dunianya. Barang yang konon kata para ahli agama merupakan barang haram, kini kembali berada di genggaman dan melipatgandakan nominal rupiah di rekeningnya. Meski dengan tanpa tangannya tersentuh langsung oleh pil maupun serbuk mahal tersebut.

Lapas Narkotika Kelas II A Pamekasan, menjadi saksi bisu kenaikan omset dan kelas setrata bagi Rudi, dua tahun yang lalu. Namun, sang Ibu tidak mengerti semua itu. Sang ibu telah bersujud di kaki Rudi, agar anaknya taubat dan keluar dari dunia hitam narkoba.

Bukan demikian di mata Rudi. Rutan itu tantangan terakhir dirinya untuk meraih ratusan juta dari downline-nya dan kepercayaan Big Bos bagi dirinya. Bukan hanya si Bos, tapi Big Bos berkenan menaikkan posisinya di kalangan gankster Ring 1 Nasional (R1N). Tidak hanya berada di Ring 1 daerah (R1D). Demi sebuah ambisi dan misi besar, dia relakan merendah diri di sana. Taubat?

Dan cukuplah kini dua tahun taubatnya, terseret uang lima juta rupiah, yang tidak seorang pun bisa membantu, selain bandar di R1N itu. Mr. Surya. Iya, dialah pemilik dan pelindung usaha surga dunia itu.

***

Fuck you,” kata Rudi tiba-tiba.

Masker merah, Bos. Bos …” kata penelpon di seberang terputus. 

Mata Rudi merah menyala, tangannya bergetar hebat. Keringat dingin mengalir begitu saja. Rasa takut hinggap serta-merta. Telepon di tangannya membunyikan suara putus sambungan.

Fuck you. What are you doing, stupid boy? Are you crazy. Bajingan,” umpatnya tanpa henti.

Telepon genggam di tangannya terjatuh begitu saja, demi mendengar pemberitahuan dari ujung sana. Masih ada suara di sana. Di hp itu hanya ada nomor-nomor tanpa nama. Hp yang digunakan untuk transaksi narkotika itu telah dibuat program tanpa terdetek siapapun. Bahkan ahli IT sekalipun, menyingkir dan angkat tangan kepada tangan dingin Rudi.

Karena kepiawaiannya inilah sang Bos maupun Big Bos begitu memfasilitasi dirinya dengan segudang kepercayaan. Termasuk masuk R1N juga kembalinya dia dalam dunia narkoba. Tak ayal, dirinya dengan mudah menuju Bos Small di Jatim.

Bos, swap positif,” suara sayup masih terdengar dari telepon di lantai di dekat kaki Rudi.

Rudi masih dalam amarahnya. Keringat dingin masih mengguyur tubuhnya. Badan serasa ringan dan melayang.

Kejaaammmm,” teriaknya diikuti pecahan kaca almari di hadapannya yang terpecah-belah. Tangan kanan nan kekar itu kini berdarah. Terduduk lemah dengan segala gundah.

***

N1R, bagi masker. Area Jogjakarta, Kebumen. Barang ready di gudang selatan!” suara laki-laki di sebrang dengan nada ketus.

Siap, Pak. Pakai dinas atau pribadi?” kata Rudi.

Pakai plat AB, agar tampak teman-teman di situ!”

Siap, Bos. Meluncur.”

Ah, gak jadi, ke rumah dulu! Fokus Jakarta dan Bekasi,” kata laki-laki dalam telepon genggamnya.

Kegesitan Rudi sangat dipercaya oleh sang Majikan, selain Big Bos narkoba. Juga Big Bos partai. Apalagi untuk kegiatan sosial dan kampanye.

Dua hari aktivitas Rudi di area Jakarta. Demi mengantar sang Majikan keliling berbagi sembako, masker dan barang lain di Red Zone. Sepulang acara itu, tampak matanya merah lelah, pikirnya kosong. Inginnya tidur walau sekejap, namun Jogja, Kebumen menunggunya.

Begitu majikannya keluar mobil dan masuk rumah, Rudi mendesah pelan. Lelah. Mobil seharga ratusan juta diparkir di garasi sang majikan. Tak perlu basa-basi, dia meninggalkan rumah mewah majikannya. Beberapa satpam di parkiran pun menghormat padanya dan segera membersihkan mobilnya.

Tak lama tubuhnya telah sampai di garasi mobil anak buah Mr. Surya, sang majikan yang baru diantarnya. Dibuka mobil bersimbul partai berplat AB. Sesuai perintah Mr. Surya. Tubuh gagahnya menerobos kursi kemudi. Dipanasinya kereta besi itu beberapa menit. Sebelum tangan dan kakinya cekatan menghentak gas dan mengarahkan kemudi ke pintu parkir, gawainya berdering.

Assalamualaikum. Ayah, ayah pulanglah. Adek takut,” Tantri, istrinya.

Wa … Waalaikumsalam. Ada apa Dek?” Meskipun tersentak, Rudi berusaha sebisa mungkin membuat suaranya tenang.

Ayah di mana? Kapan pulang?

Ayah, di rumah Mr. Surya. Ini baru sampai, mau makan malam bareng-bareng.” Setenang mungkin suara Rudi di dekat gawai.

Ayah, Aku takut. Tadi pagi petugas Puskesmas dengan pihak kepolisian datang. Katanya aku, Mas dan dedek bayi musti dicek swap. Karena, semua orang yang baru opname dan baru keluar dari rumah sakit, musti dirapid test. Adek, Adek, takut ….”

Suara terbata dari Tantri. Disusul isak tangis suara itu memilu. Sakit rasa hati Rudi. Tersayat.

Masker merah. Mungkinkah istriku kena? Bagaimana dengan bayiku? Batin Rudi bergejolak.

Tenanglah, itu hanya kewaspadaan saja. Belum tentu kita terpapar,” jawab Rudi menenangkan.

Dalam hatinya sakit. “Kalian yang di rumah sakit, apa juga buta? Kami rakyat jelata, kenapa kalian juga sempat teledor berinteraksi dengan kami yang sehat-sehat saja? Aku sudah positif, sudah berapa orang yang bersentuhan langsung denganku? Bos?” 

“Ah, tidak ada guna. Kalau tubuhku kuat, aku akan tetap hidup. Kalau tidak,mati.” 

“Tapi, bagaimana anak dan istriku?” 

“Terlalu sakit jika ini menimpa mereka.” 

 

(Ngawi, 5 Mei 2020) 

 

[LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis