Oleh: dr. Toreni Yurista

 

“Mam, kangen, ih. Kapan ya kita bisa botram lagi?” tulis Mama Malik di pesan whatsapp.

Botram adalah istilah Sunda untuk kegiatan makan bersama. Biasanya dilakukan ibu-ibu sembari menunggu anak pulang sekolah. Anaknya belajar di kelas sementara ibunya makan-makan di teras.

Lewat botram ibu-ibu jadi akrab. Ada yang menjadikan botram sesi curhat. Ada yang ceramah plus bagi-bagi buletin Kaffah. Ada juga yang sekedar cari makan gratis. Hihihi ….

“Ntar, Lik, kita botram kalua Corona udah selesai,” aku membalas pesan Mama Malik.

“Kelamaan. Aku udah gak tahan, ih, di rumah terus,” keluhnya.

Mungkin dia kena cabin fever, sindrom kebosanan saat di rumah saja.

“Aku udah hubungin emak-emak lain. Rencananya kita mau botram besok di mall Botani,” tulisnya lagi. Jawa Barat sudah memasuki PSBB tahap II, beberapa mall memang sudah dibuka.

“Lah dalah, emangnya dirimu mau ketularan Corona?” kudamprat dia.

Masih terlalu dini untuk menghirup udara bebas di keramaian. Per 13 Mei, jumlah PDP Corona di Bogor Raya mencapai 1360 orang. Itu baru yang terdata. Di lapangan pasti jauh lebih banyak lagi. Apa dia memang gak tau?

“Ogak bakal ketularan. Kan sudah pakai masker,” Mama Malik ngeyel.

Botram pakai masker? Emangnya makanannya mbok masukin lewat kuping?”

“Oh iya ya,” Mama Malik mungkin baru nyadar.

“Kadang di rumah aja emang bikin otak membeku,” gurauku.

“Aku, tuh, kangen sama kalian. Aku butuh minta maaf, siapa tau lebaran tahun ini adalah saat terakhirku,” Mama Malik malah jadi melo.

Bisa dimaklumi. Belakangan ini memang lebih sering terdengar berita duka. Entah yang meninggal itu temannya saudara, saudaranya teman, atau mungkin saudara kita sendiri.

Apakah jumlah kematian ini ada hubungannya dengan Covid-19? Hmmm … aku tak mau menebak-nebak, nanti dikira hoax. Tahu sendiri bagaimana kejamnya rezim terhadap terduga penyebar hoax.

“Hush! Ajal itu Allah yang tentukan,” kataku, kembali menghibur.

Padahal jauh di lubuk hati, aku juga sama khawatirnya. Sejawat dokter sudah 42 orang yang meninggal. Jika aku menyusul mereka ke akhirat, balitaku siapa yang akan merawat? Batinku.

“Mam, kalau usiaku hanya sampai di Ramadhan ini, mudah-mudahan kita bisa nge-botram di surga, ya?” Seolah getaran kesedihan saat Mama Malik menuliskannya.

“Pede amat dirimu masuk surga, Lik? Ngaji aja izin melulu,” kubalas dia dengan stiker sawatan galon.

“Hihihi, iya, sih. Kalau masuk neraka, gimana?” tanyanya.

“Ya nge-botram pakai lauk kerikil api kuah lava panas, dong,” balasku.

Mama Malik tertawa terbahak. Ketika rasa was-was sudah mencapai titik nadir, bicara kematian memang sudah tidak lagi menakutkan. Apalagi jika asa kepada penguasa bertepuk sebelah tangan, kematian akan terasa seperti lawakan receh kekinian.

Insya Allah aku mau istiqamah, kok, Mam,” jwabanya singkat.

Mama Malik mengunggah fotonya kala mengikuti kajian daring.
Aku mengelus layar hape bututku. Alhamdulillah…, bahagianya hati ini melihat foto Mama Malik yang kini berkerudung lebar.

Di masa-masa sulit seperti sekarang hanya imanlah yang akan menguatkan imun. Jika tak sering-sering men-charge iman lewat kajian, niscaya depresi datang menjalar.

“Mudah-mudahan ya, Lik, kita bisa nge-botram lagi. Jika taman sekolah tak jua membuka gerbangnya kembali, semoga kelak taman surga jadi tempat pengganti terbaiknya”, kataku menutup perbincangan.

 

#MamaMalikAndTheGank
#Episode2
#Fiksi, kesamaan nama dan latar hanyalah kebetulan

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis