Oleh : Filu

 

Fajar bersemu jingga menampakkan diri seperti biasanya. Hal yang sama denganku, rutinitas pagi seorang ibu dengan dua anak. Terdengar samar dengkuran sulung. Mungkin mimpinya terlalu indah, sehingga teriakanku tak pernah bisa membuatnya bergeming. Matanya rapat tak ada tanda-tanda kesadaran, walaupun suara ini sudah serak berteriak. Belum lagi bungsu yang merengek minta gendong. Tangan kecilnya meraih gendongan kaos biru tua, di seretnya sampai ke hadapanku sambil menjerit menyakitkan telinga. Kuhela napas panjang sembari memejamkan mata. Berbisik lirih

“Astagfirullah … Ya Robbi, ampuni hamba”

Selain mengepulkan dapur, merapikan rumah, menyiapkan alat tulis sulung, tenagaku juga mulai berkurang karena ledakan emosi yang menegangkan otot. Belum lagi ketika baju seragam sulung lupa belum disetrika semalem. Kepala terasa penuh, panas menjalar ke ubun-ubun. Tanpa bisa menahan, akhirnya melayang sebuah cubitan di paha sulung. Masih belum cukup, kutarik tubuh gembulnya agar beranjak dari hamparan busa yang membuainya semalaman. Diapun bangkit sembari menyumpal kedua telinganya. Enggan mendengar teriakanku yang tak kunjung berhenti. Mulut ini memang sudah latah, belum bisa berhenti sebelum puas meluapkan semuanya. Padahal tak ada guna. Teriakanku tidak memperbaiki suasana.

Terkadang hidup memang tak bisa memilih. Menjadi ibu rasa pembantu bukan pula pilihanku. Debaran jantung semakin tak terarah setiap pagi melihat suami tiduran berteman gawai. Senyumnya mengembang tak tahu untuk siapa. Matanya menatap lekat layar empat inchi berlogo apel putih tak bulat. “Duh Gusti, inikah yang dinamakan rumah tangga sakinah, mawadah, warohmah?”

“Bundaaaa! Ikat pinggangku mana? Kaos kaki juga gak ada!” pekikan sulung membuyarkan lamunanku.

Tergopoh aku berjalan menuju kamar depan. Mataku kembali lagi memandang alas busa yang berantakan. Selimut berserakan kemana-mana. Bantal dan guling jatuh bergelimpungan di lantai, berbaur dengan bangkai mainan bungsu. Kertas bekas mewarnai semalem dan beberapa buku bacaan terinjak-injak tak menentu. Sungguh membuat mual pemandanganku setiap pagi. “Memuakkan.”

Bruk!!

Kaki lelahku terantuk guling sulung yang menghalangi pintu. Meringis menahan sakit ketika tubuh kurus ini menabrak pintu. Pada saat yang bersamaan bungsu terkekeh sambil memperlihatkan gigi depannya. Mungkin baginya jatuhku adalah atraksi untuk mengajaknya bercanda. “Miris.”

Dengan sekuat tenaga kutumpukkan tubuh pada kaki, mencoba berdiri. Tanpa bicara sepatah pun, tangan terampilku mengambil sebuah benda panjang dari kulit sintetis beserta sepasang kaos kaki putih. Kukenakan pada pinggang dan kedua kaki sulung, lalu ku gelandang tangannya menuju meja makan. Sudah tersedia sepiring nasi, opor ayam dan kerupuk udang hasil memasak pagi. Sambil aku memikirkan hidup yang selalu ‘kemrungsung’ di pagi hari.

Hari demi hari berlalu tanpa terasa. Aku pun masih dengan rasaku yang tak pernah berkurang. Seorang ibu rasa pembantu. Genap sewindu, aku menjalani aktivitas pagi yang melelahkan. Namun, ada yang beda pagi ini. Sunyi. Aku melongok ke kamar sulung, berharap ada dia yang sedang tidur mendengkur. Harapanku pupus. Kamar yang biasanya berantakan sekarang terlihat rapi. Bantal dan guling tertata pada tempatnya, selimut dilipat rapi. Tidak ada lagi kertas berserakan. “Ah, aku kecewa. Seperti ada yang hilang.”

Bungsu pun berlari dari kamar mandi, bersiap mengenakan baju sendiri. Seragam dan semua keperluannya telah dia siapkan tanpa meminta bantuan. Aku memandang hampa. Ada perasaan tidak di butuhkan dalam hati. Sesak di dada menjalar. Perlahan tapi pasti netra ini mengabur, tertutup tirta bening.

“Bunda, kami berangkat!”

“Hati-hati di jalan ya, kalian!”

Ku gapai jabat tangan kedua buah hatiku. Demi mendengar suara sulung yang sudah terdengar berat, bulir bening kembali menetes menyentuh pipi. Kuhempaskan tubuh ke sofa. Menikmati rasaku.

Ternyata waktu adalah pencuri yang tidak terlihat. Dia telah mencuri panggungku di hadapan anak-anak. Dulu, akulah penguasa pagi. Tanpa aku, rumah ini tidak hidup dan anak-anak tidak akan bisa ke sekolah. “Sekarang, apalah aku? Hanya sebuah jasad tanpa manfaat.”

Ku langkahkan kaki menuju kamar bungsu. Meraih baju yang tergantung dalam gantungan pendek bekas semalam. Kuhirup kuat aroma tubuhnya. Sungguh, aku merindukannya. Rindu rengekan dan tangis tak jelasnya. Mataku terfokus pada sebuah benda kotak berhologram. Tersusun dari kumpulan kertas warna-warni yang di satukan dengan pengait sepiral panjang. Sebuah buku cantik. Aku membuka perlahan. Tepat di halaman pertama aku membaca sebuah tulisan

Janji Kami

Mulai hari ini, kami tidak akan merepotkan bunda lagi. Setiap pagi kami akan menyiapkan semua keperluan sekolah sendiri. Semua ini kami lakukan karena kami tidak ingin mendengarkan teriakan bunda lagi. Kami juga tidak ingin menikmati sakitnya cubitan bunda lagi. Kami lelah.

Semoga Allah memudahkan jalan kami. Aamiin.

Jogja, 05 Mei 2019
Nusa dan Rara

Netraku membulat. Kening berkerut. Jantung berdetak semakin cepat. Kedua tangan dingin berkeringat. Terhuyung tubuhku di tepian meja. Tidak pernah menyangka bahwa sikap dan perkataanku selama ini menyakiti hati anak-anakku.

Menghela napas panjang. Aku menarik kursi yang ada di samping kemudian mengambil posisi duduk. Ku buka lembar kosong di belakang tulisan anak-anakku. Dengan sebuah pena biru kutuliskan

Janji Bunda

Mulai hari ini, bunda berjanji bahwa tidak akan membuat pagi kalian lelah. Sesungguhnya tidak ada kebahagiaan melebihi rasa bunda ketika menyiapkan kebutuhan kalian di pagi hari. Maafkan semua perilaku dan perkataan bunda yang menyakiti kalian.

Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepada bunda dan kalian semua. Aamiin.

Jogja, 05 Mei 2019
Bunda

Ada rasa lega menghampar di dada setelah menutup buku yang menjadi saksi kekecewaan anak-anakku. Kemandirian mereka yang menamparku bukanlah hikmah positif dari semua perilakuku, tetapi sebuah bentuk penolakan atasku. Barulah aku menyadari bahwa selama ini aku telah berbuat dzolim kepada amanah-Nya. Keluh kesahku, perasaan menjadi pembantu, teriakan-teriakan tak beraturan tanpa aku sengaja adalah pengingkaran rasa syukurku menjadi ibu.

END

Jogja, 05 Mei 2019

(SN/WuD)

Please follow and like us:

Tentang Penulis