Oleh : Ari Nurainun, S.E.

 

 

“Mi, Iyen,” rengek Syiren kecil.

 

Dengan air mata berlinang, Syiren menunjuk mainannya yang direbut paksa oleh Raisya. Seperti biasa, aku selalu menenangkan Syiren dan membiarkan Raisya mengambil mainan adiknya. Rasa bersalah selalu membebaniku. Dan hanya itu yang bisa kulakukan untuk menebusnya. Menebus hilangnya masa golden age Raisya bersamaku. Karena sejak usia enam bulan, Raisya tak lagi dalam pelukanku.

 

Aku yang kala itu masih terlalu belia, terlihat begitu kerepotan mengurus Raisya. Ditambah kondisi ekonomi yang merangkak, akhirnya kuiyakan saran ibu. Dengan hati teriris, kutinggalkan Raisya bersama sang nenek. Asaku, Raisya akan lebih baik dan tercukupi gizinya. Terpenuhi semua keinginannya. Dan itu tak salah. Ibu dan ayah, orang terpandang di kampungnya. Raisya kecil tumbuh sehat dan terlihat bahagia. Ibu kerap mengirimkan foto tawa bahagia Raisya dikelilingi mainan yang banyak.

 

Satu hal yang kulupa, dan ini justru yang membedakan Raisya dengan yang lain. Syiren, Adam dan Zaskia adalah adik-adik Raisya. Berbeda dengan sang kakak, ketiga adiknya ini sangat pengertian dan perhatian dengan kondisi orang tuanya. Sementara Raisya, karena selalu mendapatkan apa yang dia mau, menjelma menjadi sosok yang ambisius, agresif dan egois. Tak pernah sekalipun dia mengalah. Seringkali Raisya mengamuk, jika keinganannya tak terpenuhi. Seperti hari itu.

 

“Mi, teman Raisya ngajak ke mall. Ada promo sepatu keren. Kebetulan sepatu Raiysa juga udah jelek, Mi. Warnanya kusam. Raisya pengen banget beli yang warna ungu. Boleh ya, Mi?” rengeknya.

 

“Raisya, minta izin pergi ke mall, atau minta belikan sepatu baru?” tanyaku.

 

“Dua-duanya, Mi. Masa sih Raisya bengong doang, lihat Zesicha beli sepatu baru. Pasti Raisya dibully, gak banget deh. Boleh ya, Mi?” Raisya terus membujuk sambil menggelondot manja dan menggengam tanganku.

 

Sambil menarik napas, kuberucap “Raisya salihah, anak Ummi tersayang. Sepatu Raisya masih layak pakai. InsyaAllah, kalau sepatu Raisya sudah rusak dan Abi punya kelapangan rezeki, pasti Ummi izinkan”.

 

Sikap Raisya berubah 180 derajat. Dengan kasar dilepaskannya genggaman tanganku. Lantas dia berdiri dan menatapku tajam.

 

“Abi dan Ummi memang gak pernah sayang sama Raisya. Pantas aja sejak bayi Raisya udah dibuang. Kalo Shiren yang minta, pasti Ummi kasih. Ummi jahat,” teriaknya histeris.

 

“Astagfirullah, Raisya. Ummi gak pernah buang kamu. Nenek yang minta, supaya Raisya nemenin nenek dan kakek. Ummi sayang sama Raisya, Nak. Sama seperti anak-anak Ummi yang lain,” ujarku sambil menangis.

 

Ini kesekian kalinya Raisya mengatakan hal yang sama. Dan kesekian kalinya juga kujelaskan alasan menitipkannya pada kedua orangtuaku.

 

“Raisya janji, nanti kalau Raisya udah punya uang sendiri, Raisya tidak akan pernah minta ke Ummi dan Abi. Raisya akan beli apapun yang Raisya mau,” ujar Raisya, sebelum membanting pintu kamarnya dengan keras.

 

*****

Kini Raisya sudah menikah dan punya anak. Seperti tekadnya, Raisya ingin punya uang sendiri. Sehingga bebas membeli apapun yang dia mau. Berbekal kepandaiannya berjualan online, bisnis Raisya berkembang pesat. Tak pernah lagi dia merengek meminta dibelikan apapun padaku.

 

Raisya juga tak pernah lupa menyisihkan uang hasil bisnisnya untuk diberikan padaku. Raisya sebenarnya anak yang baik. Namun, entah mengapa, jika rasa cemburu itu sudah mulai mengusiknya, dia akan kembali mengungkit hal yang sama, tentang masa kecilnya.

 

“Ren, dengar ya! Aku nggak suka kamu ikut-ikutan berjualan seperti aku. Apalagi sampai ngaku-ngaku resellerku. Aku udah malas sebenarnya ngomong ke kamu. Apalagi Ummi dan Abi pasti belain kamu,” cecar Raisya di telepon.

 

“Ingat ya, Ren, aku gak akan tinggal diam kalau kudengar kamu masih aja berjualan. Percuma ikut pengajian, dakwah sana dan sini, kalo nggak ngerti adab,” ujar Raisya sebelum memutuskan sambungan telepon.

 

Syiren masuk ke kamarnya. Menangis tanpa suara, hanya air mata yang mengalir deras tanpa henti. Menyisakan guncangan batin. Meski tak mendengar langsung, batinku bisa menebak apa yang terjadi. Pasti masalah yang sama. Ya Allah, cemburu itu membuat hati Raisya tak pernah tenang. Aku mencoba tegar. Perlahan, aku berdiri mendatangi Syiren, ingin segera kuelus lembut pundaknya. Namun, belum sempat aku sampai ke kamarnya, mendadak kepalaku terasa berat dan mataku berkunang-kunang.

 

“Ummi,” kudengar teriakan Adam.

 

Ia yang kala itu sedang duduk di ruang tengah, segera berlari menangkap tubuhku yang limbung.Sebelum benar-benar aku tak ingat apapun, sayup-sayup telingaku mendengar Adam bercakap dengan nada gugup.

 

“Dek,” seru Adam memanggil Zaskia.

 

“Telepon Abi! Bilang, Ummi pingsan! Panggil Syiren! Suruh dia buatkan teh hangat untuk Ummi!” teriak Adam.

 

Ketika aku sadar, empat wajah memandangiku dengan khawatir.

 

“Alhamdulillah, Ummi sudah sadar,” ucap suamiku.

 

“Mi, Ummi jangan sedih ya! Meski kak Raisya sering menyakiti hati Ummi, tapi kami nggak. Kami sayang sama Ummi,” Adam mencoba menghiburku.

 

“Iya Mi, nanti kalo kakak ke sini biar Zaskia yang hadapi. Nanti Zaskia ceramahin, Zaskia bakal ceritain ke kakak tentang Alqomah. Kalau kakak, sering bikin Ummi sedih, bisa-bisa kakak jadi anak durhaka seperti Alqomah,” celoteh Zaskia riang.

 

Aku tersenyum. Meskipun aku tak tahu kapan kesedihanku akan berakhir. Mendung ini seperti tak berujung.

 

T A M A T

[WuD]

Please follow and like us:

Tentang Penulis