Ibadah Haji Batal, Bukti Negara Gagal
Oleh : Winda Oktavianti
(Ibu rumah tangga)
Lensa Media News – Lagi, untuk kali kedua secara berturut-turut setelah di tahun 2020 keberangkatan jamaah haji dibatalkan karena adanya wabah Covid-19, kini dengan alasan yang sama, di tahun 2021 ini pun para calon jemaah haji lagi-lagi harus menelan kekecewaan karena pemerintah Indonesia kembali memutuskan untuk tidak memberangkatkan para calon jamaah haji tersebut. Keputusan yang diambil oleh pemerintah ini, tak pelak menuai kekecewaan bagi para calon jemaah haji yang sudah sangat menantikan keberangkatan mereka itu ke tanah suci.
Dilansir dari kompas.com, pada Kamis, 3 Juni 2021, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI menyampaikan bahwa pelaksanaan ibadah haji 1442 Hijriah/2021 Masehi dibatalkan. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring. Menteri agama, Yaqut Cholil Qoumas menyatakan bahwa hal ini dilakukan guna menjaga dan melindungi WNI, baik di dalam maupun luar negeri.
Kebijakan ini juga dianggap sebagai bentuk upaya pemerintah untuk menanggulangi pandemi Covid-19 yang sempat mengalami lonjakan pasca libur lebaran kemarin. Selain itu Arab Saudi juga belum membuka akses layanan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini, padahal pemerintah Indonesia memerlukan waktu untuk melakukan persiapan pelayanan jemaah haji.
Tak hanya rasa kecewa karena membuat daftar tunggu atau antrean jamaah haji Indonesia semakin panjang dan lama, pembatalan haji ini pun menuai kontroversi dari berbagai pihak. Berbagai spekulasi menyeruak, mengiringi keputusan pembatalan keberangkatan haji yang dilakukan pemerintah. Yang paling santer terdengar di masyarakat adalah isu bahwasanya pemberangkatan haji tak lagi ada karena dana hajinya sudah dipakai untuk kebutuhan negara.
Wajar saja, jika anggapan tersebut mengemuka. Hal ini karena tidak adanya kejelasan dan transparansi di dalam manajemen dana haji. Meskipun tentu saja, isu tersebut langsung ditampik oleh pemerintah.
Kisruhnya masalah ini tidak lain sebab paradigma kapitalisme yang dipakai sebagai dasar pengurusan masyarakat yang membuat permasalahan ini seakan tak ada ujungnya. Bahkan, kentalnya paradigma ini meniscayakan pencampuradukan antara haq dan kebatilan. Salah satu contohnya misalnya, terkait mahalnya biaya haji. Lalu, dilegalkannya dana talangan haji yang jelas bertentangan dengan syariat. Alih-alih menjaga masyarakat dari pelanggaran syariat, negara malah turut menarik untung melalui lembaga keuangan pelat merah yang juga menawarkan dana talangan haji yang jelas-jelas berbau riba.
Dari hal tersebut dapat dilihat bahwasanya negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler melihat penyelenggaraan haji seolah hanya dari aspek ekonominya saja, bukan pelayanan penguasa dalam memfasilitasi warganya dalam beribadah. Agama dalam sistem sekuler hanya diposisikan sebagai penguat ekonomi, bukan landasan berjalannya roda pemerintahan.
Jauh berbeda dengan pengelolaan ibadah haji dalam sistem Islam. Tugas pemimpin di dalam Islam, yaitu sebagai pengurus kebutuhan umat. Khalifahlah yang bertanggung jawab atas apa yang menjadi kebutuhan umat, termasuk permasalahan ibadah. Hal ini karena “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).
Oleh karena itu, Khalifah akan menciptakan sistem yang dapat menjaga jawil iman masyarakat, salah satunya dengan memfasilitasi warganya beribadah. Sehingga, mereka akan khusyuk menjalankannya, tanpa dibebankan permasalahan teknis lainnya.
Misalnya saja, membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga daerah, menyesuaikan biaya naik haji berdasarkan kebutuhan dan jarak daerah calon jemaah dengan Mekkah dan Madinah, atau kebijakan-kebijakan lain yang memang bisa mendukung terselenggaranya ibadah haji dengan baik dan khusyuk tanpa direcoki oleh hal-hal yang bisa menyulitkan para calon jemaah haji.
Tentu saja, semua itu hanya bisa dirasakan dan terlaksana dengan baik jika seluruh pengurusan kehidupan, kita kembalikan pada syariat Islam secara kaffah. Wallahu a’lam. [LM/Mi]