Gencatan Senjata Abal-Abal Israel
Oleh: NS. Rahayu
(Pemerhati Masalah Sosial)
Lensa Media News – Ramadan adalah bulan sucinya umat Islam dan Idul Fitri adalah hari kemenangannya. Hari kebahagiaan bagi semua umat muslim di seluruh dunia. Sudah selayaknya memiliki kesempatan untuk berbahagia.
Namun, kebahagiaan itu belum bisa dirayakan di negara-negara yang sedang dijajah, khususnya Palestina. Ketika masih ramadan hingga saat Idul Fitri telah dibombardir oleh Israel hingga meluluh lantakkan pemukiman mereka dan jatuh korban ratusan orang, termasuk anak-anak dan ibu-ibu.
Setelah 11 hari pertempuran dan serangan brutal Israel terhadap Palestina, akhirnya antara Israel dan Hamas sepakat untuk mengakhiri kekerasan dengan gencatan senjata. Pengumuman itu disampaikan oleh Hamas dan televisi pemerintah Mesir pada 20 Mei 2021. (Kompas.com, 20/5/2021)
Belum ada satu hari gencatan senjata, bentrokan kembali terjadi. Warga Pelestina turun ke jalan-jalan di Gaza tak lama setelah gencatan senjata untuk merayakannya, meski Hamas memperingatkan untuk tetap waspada.
Betul saja peringatan dari Hamas, karena Israel tidak mengindahkan kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi oleh Mesir.
Dilansir dari Suara.com (21/5/2021), antara polisi Israel dan warga Palestina kembali terlibat bentrok pada Jumat siang (21/2/2021) di komplek Masjid Al-Aqsa Yerusalem. Polisi Israel menembakkan granat kejut yang dibalas oleh lemparan batu serta bom molotov oleh warga Palestina.
Jika ditelisik, bukan hanya sekali ini saja Israel telah mengkhianati kesepakatan gencatan senjata, sudah berulang kali terjadi, namun dunia masih tetap membiarkan. Seakan kejahatan kemanusiaan di Palestina ini hal yang wajar-wajar saja terjadi.
Palestina Butuh Bantuan Kekuatan (militer)
Serangan brutal Israel terhadap Palestina yang telah memancing perhatian seluruh dunia, hanya dihadapi dengan kecaman dan beragam resolusi. Termasuk apa yang dilakukan negara Arab dan dunia Islam lewat OKI, empatinya hanya menunjukkan pembelaan setengah hati.
Dilansir dari Republika.co.id, 16/5/2021, pada pertemuan OKI, 4 Syawal 1441 H yang diketuai oleh Arab Saudi, negara-negara Islam dan lainnya telah mengecam agresi Israel atas Palestina. Selain itu juga menghasilkan resolusi yang diadopsi oleh sesi biasa dan luar biasa KTT Islam dan Dewan Menlu.
Penjajahan Israel terhadap Palestina sudah berlangsung lama, derita kaum Muslim Palestina tidak terjadi saat ini saja. Hal ini sudah berlangsung lama dan sudah sering terjadi. Jika dihitung sejak tahun 1948 hingga saat ini sudah lebih dari 70 penjajahan sekaligus pendudukan Palestina oleh Zionis Yahudi (Israel).
Meski dunia melihat ribuan bahkan ratusan ribu korban terus berjatuhan. Semua terus diam, tidak ada yang benar-benar serius berusaha memberikan pertolongan. Baik para penguasa muslim maupun organisasi-organisasi dunia yang ada. Mereka hanya mengecam dan memberikan resolusi yang tidak solutif.
Padahal mereka sebenarnya mampu melakukannya! Sekat nasionalisme menjadi jurang pemisah yang tebal dan jargon untuk tidak memberikan bantuan kekuatan militer pada saudaranya yang tertindas. Sekat yang sengaja dibuat oleh penguasa mabda kapitalisme sebagai pemecah ukhuwah Islam.
Problem krisis Palestina tidak bisa diselesaikan dengan kecaman maupun resolusi dari berbagai negara. Juga tidak cukup hanya dengan ragam bantuan baik pangan maupun medis. Palestina, membutuhkan kesatuan kekuatan politik dan militer negeri Islam. Kesatuan kekuatan negeri Islam ini tentu akan membuat takut Israel, pelindungnya dan para pendukungnya.
Palestina dan Umat Butuh Pelindung
Umat butuh Junnah (pelindung) yang akan melindungi dari segala bentuk mara bahaya apalagi penjajahan dari negara kafir. Bahkan Junnah ini akan melindungi tiap jengkal tanah kaum muslim agar tidak jatuh ke tangan kaum kafir.
Sebagaimana Sultan Hamid II saat kekhalifahan Ustmani sedang lemah, beliau menolak mentah-mentah permintaan pendiri negara Zionis Israel, Theodore Herzl agar memberikan sebagian wilayah Palestina.
Begitupun dengan Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang sukses menaklukkan Kota Amuriyah, kota terpenting bagi imperium Romawi saat itu (selain Konstantinopel), demi menjaga kehormatan seorang wanita yang menjadi tawanan. Menurut Ibn Khalikan dalam Wafyah al-A’yan, juga Ibn al-Atsir dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh, saat berita penawanan wanita mulia itu sampai ke telinga Khalifah Al-Mu’tashim Billah, saat itu sang Khalifah sedang berada di atas tempat tidurnya. Ia segera bangkit seraya berkata, “Aku segera memenuhi panggilanmu!”
Rasulullah SAW bersabda:
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).
Jangankan penjajahan, jeritan seorang wanita pun yang minta pembelaan pada saudara muslimnya, meski di negara yang berbeda, maka akan disambut oleh umat dibawah imam Khalifah segera membantunya. Semua terjadi karena ikatan akidah yang satu, lebih erat dibandingkan ikatan nasionalisme.
Semua permasalahan umat saat ini, bukan hanya pada negeri Palestina, namun juga yang terjadi negeri-negeri yang terjajah lainnya, membuktikan umat makin membutuhkan Pelindung. Pelindungnya adalah Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Wallahu
Walahua’lam bishawab.
[ra/LM)