Wanita Haid Berpuasa, Apa Tak Salah?
Oleh: Rochma Ambarwati
Lensa Media News – Publik kembali digemparkan dengan viralnya satu unggahan Facebook Imam Nakhai yang menuliskan kebolehan bagi wanita haid untuk berpuasa. Namun, unggahan ini pun kemudian dihapus karena dirasa telah memicu polemik.
Imam Nakhai beralasan bolehnya wanita haid berpuasa karena tidak ada satupun ayat Al-Quran yang melarang perempuan haid berpuasa. Kemudian, dia pun juga disebutkan bahwa hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra. dan riwayat lainnya menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang salat bagi perempuan haid dan tidak melarang puasa.
“Tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan haid untuk puasa. Ayat yang menjelaskan tentang haid hanya menegaskan dua hal, yaitu; satu, bahwa melakukan hubungan seks dengan penetrasi (jima‘) hukumnya haram, dan bahwa perempuan haid berada dalam keadaan tidak suci. Keadaan tidak suci hanya menghalangi ibadah yang mensyaratkan suci, seperti salat dan sejenisnya. Sementara puasa tidak disyaratkan suci, yang penting “mampu” melakukannya,” demikian bunyi tulisan dalam postingan itu.
Kemudian, dia pun juga menyebutkan satu hadits Nabi yang lain yang diriwayatkan oleh Ummahatul mukminin Sayyidah Aisyah ra., dan riwayat lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang salat bagi perempuan haid, dan tidak melarang puasa (Newsdetik.com, 03/05/2021).
Wanita Haid Tak Boleh Berpuasa
Soal perempuan haid tak boleh puasa pun sudah jadi kesepakatan para ulama. Sehingga, setiap muslim harus mematuhinya. Para ulama sudah sepakat bahwa wanita yang haid tidak sah puasa. Masalah puasa ini adalah masalah ta’abbudi (ibadah) bukan masalah ta’aqquli (rasional) jadi harus ada dasar syar’iyyah-nya.
Dasar untuk hal ini, beberapa di antaranya adalah hadits dari Aisyah ra. yang memang menjadi salah satu rujukan soal perempuan yang haid dalam puasa. Hadits dari Aisyah itu disampaikan oleh Imam Muslim. Dalam hadits itu, diceritakan bahwa Aisyah isteri nabi berkata: “Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qada puasa dan tidak diperintahkan meg-qada salat” (HR. Muslim).
Juga terdapat hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Nabi Muhammad SAW dalam bentuk dialog, beliau bersabda: “Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab, Ya” (HR Bukhari).
Dari dua hadits tersebut, memang dapat disimpulkan bahwa perempuan yang haid itu tidak bisa berpuasa. Namun mereka wajib mengganti di hari lain di luar bulan Ramadan.
Ijithad Hanya untuk Orang Alim
Viralnya unggahan di sosial media ini tentu saja karena memang seakan menggugat satu hal yang sudah menjadi hukum umum yang dipahami dan diketahui oleh masyarakat luas. Alasan yang diungkapkan pun hanya berdasarkan logika saja. Tentu saja, hal ini tidak dibenarkan dalam syariat Islam.
Golongan kaum muslim yang boleh untuk berijtihad atau beristinbath hukum adalah golongan yang memiliki kompetensi tertentu. Sebut saja memiliki kemampuan dalam bahasa Arab, memiliki kemahiran dalam dalil-dalil syara’, memiliki kompetensi dalam mengetahui fakta secara menyeluruh dan kemudian juga memiliki kemampuan untuk mengaitkan fakta yang ada dengan dalil syara’ yang sesuai.
Tak semua orang dapat dengan seenaknya mengeluarkan fatwa dari hasil istinbath-nya. Karena tentu saja, akan sangat memungkinkan orang yang tak memiliki kompetensi ini akan menyebabkan kekeliruan. Bahkan bisa sampai mengarahkan pada kemungkaran.
Namun, menjadi hal yang wajar di era kebebasan ini bagi siapa saja untuk bersuara, dengan atau tanpa kapasitas dirinya. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat menjadi kedok di balik ini semua.
Sayang, masalah hukum syara’ bukanlah masalah main-main yang bisa diperbincangkan tanpa memiliki ilmu yang mencukupi. Atau pun satu hal yang hanya dapat begitu saja dirasionalkan tanpa ada pijakan ilmu yang benar dan tepat. Inilah era sekularisme dimana kebebasan menjadi satu pilarnya. Agama pun bebas untuk diterjemahkan semaunya oleh siapa pun. Bahkan, oleh orang yang tak berilmu.
Secara syariat, tentu saja, unggahan seperti ini tak boleh ada. karena hanya akan memberikan kebingungan bagi masyarakat, terutama yang sangat awam dengan ilmu Islam. Islam sangat menjaga setiap muslim agar mendapatkan petunjuk yang tepat. Juga menjaga muslim agar tidak memperoleh kesalahan akibat buruknya pemahaman muslim yang lain.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]