Audrey dan Masa Depan Generasi
Oleh: Arin RM, S. Si
(Freelance Author, Pengamat Media Sosial)
LenSaMediaNews – Gadis cantik, imut, lagi manis, tapi bisa berpotensi sadis? Apa beneran ada? Di zaman serba bebas seperti ini, manis tapi sadis bisa saja muncul di tengah masyarakat. Terbaru, dunia maya tengah hangat dengan sebuah hashtag #JusticeForAudrey. Trendingnya hashtag tersebut dikarenakan adanya peristiwa bullying berujung kekerasan fisik yang disinyalir dilakukan oleh para gadis manis.
Dikabarkan, seorang siswi SMP di Pontianak, Audrey menjadi korban pengeroyokan sejumlah siswi SMA. Aksi tersebut terjadi pada Jumat, 29 Maret 2019 di sebuah bangunan yang terletak di Jalan Sulawesi, Pontianak, Kalimantan Barat (m.liputan6.com, 10/04/2019). Akibat luka yang dideritanya, kini korban masih menjalani perawatan di rumah sakit di Pontianak. Menurut Kasat Reskrim Polresta Pontianak Kompol Husni Ramli, peristiwa ini baru dilaporkan korban dan orangtuanya satu Minggu setelah kejadian.
Pasca viralnya berita kekerasan ini berbagai komentar bermunculan. Rata-rata sama, mengarah pada keprihatinan dan support kepada korban. Namun tak sedikit pula yang melakukan bullying balik kepada pelaku. Bukan tanpa sebab, bully-an balik sepertinya adalah cara netizen mengungkapkan kekecewaan pada pelaku. Sebab terkesan seperti tidak ada penyesalan dari pelaku setelah kejadian. Buktinya adalah beredarnya video yang menunjukkan kondisi saat mereka dipanggil ke kantor polisi. Beberapa di antara mereka tampak tetap ceria bahkan melakukan selfie dengan caption tanpa penyesalan sedikitpun.
Dari sikap pelaku yang seperti itu, muncul dugaan susulan, tepatnya kecurigaan banyak pihak, bahwa para pelaku ini terlindungi. Mereka punya ‘backing’ sehingga yakin tidak ada masalah setelah berbuat demikian. Hingga berita ramai, belum ada pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka.
Akan tetapi, banyak pihak yang terus menginginkan keadilan. Sebagian bahkan ada yang tidak terima dengan kasus kekerasan terhadap siswa SMP itu, hingga kemudian membuat petisi online di laman change.org. Petisi online tersebut ditujukan untuk Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPAD) untuk tidak menyelesaikan kasus dengan akhir damai.
Tidak maunya kasus berakhir damai dikarenakan pelaku sudah berusia baligh. Seusia itu layaknya sudah berlaku pertanggung jawaban, termasuk pertanggung jawaban di hadapan hukum. Terlebih kelakuan yang ditunjukkan sudah mengarah pada penganiayaan. Sudah menyimpang jauh dari nilai belas kasih dan kemanusiaan. Padahal rasa kemanusiaan itu berlaku universal. Bisa dipraktekkan kepada manusia dari kalangan mana saja tanpa membedakan ras, suku, jenis kelamin, agama, ataupun usia.
Rasa kasihan kepada makhluk sesama adalah fitrah. Harusnya ada dan melekat pada setiap yang bernyawa. Hanya saja, dengan alam kehidupan sekuler yang menafikan pengaruh agama di luar ranah ibadah, fitrah ini hendak dicerabut. Tawaran kebebasan dalam bertingkah laku dan berpendapat menjadikan generasi masa kini tak lagi peduli dengan efek perbuatannya. Asalkan mereka senang, tak ambil pusing dengan keadaan orang yang terkorban.
Ditambah lagi dengan serangan budaya hedonisme melalui tontonan dan media lain yang tak senonoh, menjadikan segala jenis tingkah laku tak lagi patuh aturan. Berbagai ungkapan bernuansa kebencian, perbuatan dengan ketidakadilan mulai diadopsi masyarakat, termasuk generasi muda. Menurut Ustadz Felix Siauw, mengejek kini jadi sesuatu yang biasa. Sebab semua media sering mempertontonkan kekerasan sebagai solusi lazim dalam menghadapi masalah, hingga perbuatan menyakiti terkesan diwajarkan.
Sungguh amat disayangkan. Generasi muda yang seharusnya berpikir dan berkarya untuk bangsa justru diambil fitrah kemanusiaannya. Mereka yang seharusnya sibuk meningkatkan kualitas dan kompetensi diri justru tersita waktunya untuk mengurusi gaya hidup tak layak. Semuanya dikarenakan gersangnya nilai agama dari keseharian mereka. Secara fisik mereka besar, baligh, namun secara aqil belum. Besar badan namun tak dewasa dalam pemikiran.
Oleh karenanya, nilai agama harus kembali dihadirkan ke tengah mereka. Untuk itulah Islam datang dengan segenap aturannya agar seluruh manusia senantiasa terjaga dalam fitrah kemanusiaannya. Terjaga pula kasih sayangnya agar senantiasa memuliakan sesama. Generasi muda harus dikuatkan keimanannya. Akal mereka tetap diberi asupan luasnya pengetahuan, namun pada saat yang sama jiwa mereka juga harus diisi dengan ajaran Islam. Sehingga tertanamlah kepribadian Islam yang mantap, yang menjadi penata mereka dalam bersikap.
Tak cukup dari sisi individunya, Islam pun datang dengan tuntutan agar masyarakat dan negara turut mengawal penjagaan pada generasi muda. Ketika setiap individu punya rem keimanan dan kepribadian Islami, masyarakat wajib terus memantau untuk meluruskan jika terdapat potensi melanggar aturan. Jika kontrol sudah diberikan namun masih kecolongan, maka negara perlu tegas memberikan hukuman. Tak boleh pandang status, keadilan harus ditegakkan. Sanksi tetap diberikan jika terbukti ada pelanggaran. Semua dilakukan agar tak ada lagi perilaku tak manusiawi yang berpotensi memunculkan Audrey lainnya. Lebih dari itu aturan Islam yang diterapkan akan mewujudkan target final berupa selamatnya masa depan generasi dari kerusakan. [RA/LL]