Khilafah Meniscayakan Kerukunan Beragama
Oleh: Toreni Yurista
(Muslimah Penulis Bogor)
Lensa Media News – Baru-baru ini, staf khusus Wakil Presiden Republik Indonesia berkunjung ke Kota Bogor. Pemerintah pusat rupanya menilai Kota Bogor, yang notabene tempat tinggal presiden Jokowi, perlu meningkatkan kerukunan beragama agar jangan sampai terjadi konflik sebagaimana kasus GKI Yasmin bertahun-tahun silam (Radar Bogor, 10 November 2020).
Mengherankan! Mengapa kasus GKI Yasmin disinggung kembali padahal masyarakat Bogor sudah rukun, aman dan damai? Lagipula Ketua Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesia), Ahmad Iman, menegaskan bahwa kasus GKI Yasmin bukan persoalan kerukunan umat beragama, melainkan murni permasalahan hukum, yakni pemalsuan tanda tangan warga dalam proses pengajuan IMB GKI Yasmin (suaraislam.id, 15 Agustus 2019).
Apakah yang dimaksud pemerintah dengan kerukunan beragama itu? Apakah berarti kaum muslim harus menerima pembangunan tempat ibadah yang sewenang-wenang dan mengizinkan umat muslim berdoa di tempat ibadah non-muslim? Tentu ini merupakan kerukunan yang kebablasan.
Konsep Islam Tentang Kerukunan Beragama
Masyarakat Bogor, yang mayoritas muslim dan dikenal agamis, sudah sewajarnya menjadikan Islam sebagai standar konsep kerukunan. Perbedaan di antara manusia adalah alamiah. Allah telah menetapkan penciptaan manusia dalam wujud perbedaan pikiran dan pemahaman yang berbeda, di samping wujud perbedaan-perbedaan yang lain, seperti perbedaan bahasa dan budaya.
Nah, terkait dengan perbedaan agama, bagaimana Islam memandangnya? Pertama, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk menjadi seorang Muslim. Sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Baqarah 256 yang artinya, “ Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus.”
Kedua, Islam tidak pernah melarang bermuamalah dengan non-Muslim. Bahkan Islam pun menghormati ritual dan tempat peribadatan umat agama lain. Di dalam QS al-Hajj ayat 40, Allah SWT berfirman, “…. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Ketiga, Islam memiliki batasan toleransi. Tidak melakukan doa bersama, tidak ikut dalam ritual ajaran agama mereka, tidak masuk ke dalam tempat ibadah mereka, dan lain-lain. Dalilnya di QS Al Kaafirun, “ bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.”
Potret Kerukunan Beragama di Era Khilafah
Bagaimana potret kerukunan beragama itu di masa Islam? Apakah benar Islam, dengan konsep Khilafahnya itu, tidak toleran? Sejarah membuktikan sebaliknya. Khilafah memberikan hak dan perlindungan bagi warga non muslim. Hidup berdampingan antara muslim dan non muslim bukanlah suatu khayalan.
T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan sultan atas seluruh umat Kristen”.
Cecil Roth, dalam bukunya The House of Nasi: Dona Gracia, menyatakan bahwa perlakuan manusiawi pada kaum Yahudi di bawah pemerintahan Ottoman telah menarik perhatian kaum Yahudi dari berbagai negeri Eropa Barat. Dokter-dokter Yahudi dari Akademi Salanca dipersilakan bekerja untuk mengurusi Sultan dan para Wazir.
Mengapa kaum non-Muslim dapat terintegrasikan dengan baik dalam masyarakat Islam? Agama-agama Yahudi, Kristen dan lainnya memiliki aturan yang membahas masalah manusia dengan Tuhan dan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam dua jenis hubungan tersebut, hukum Islam memungkinkan non-Muslim untuk mengikuti keyakinan mereka sendiri; maka, tak ada konflik dengan non-Muslim.
Dalam hubungan sesama manusia, misalnya dalam hubungan kemasyarakatan, kaum non Muslim tidak memiliki aturan yang mengatur masalah ini. Karena itu, mereka harus mengadopsi sebuah sistem untuk kehidupan mereka di tengah-tengah masyarakat. Mereka membutuhkan aturan-aturan dari sistem Islam. Oleh karena itu, sistem Islam, sejauh ini merupakan sistem yang paling berhasil dalam mengintegrasikan non-Muslim ke dalam masyarakat Islam.
Wallahu a’ lam bish showab.
[ry/LM]