UU Cipta Kerja untuk Siapa?
Oleh : Anna Ummu Fadan
Lensa Media News – Senin, 5 Oktober 2020, pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Dilansir Detik.com, 6 Oktober 2020, terdapat pro dan kontra dalam pengesahannya. Yakni banyaknya penolakan khususnya dari para buruh. Mereka berencana akan menggelar aksi 6-8 Oktober 2020.
Pengesahan RUU Cipta Kerja dilakukan setelah fraksi-fraksi memberikan pandangan. Diantara 9 fraksi yang ada, 2 fraksi menolak untuk disahkan (Demokrat dan PKS). Menurut Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Moegisarso alasan dari RUU Ciptaker disahkan sebagai solusi persoalan fundamental yang menghambat transformasi ekonomi nasional. Seperti obesitas regulasi, rendahnya daya saing, dan peningkatan angkatan kerja yang membutuhkan lapangan kerja baru (Tempo.com 6/10/2020).
Sungguh disayangkan upaya legislasi Omnibus Law Cipta Kerja ini. Semestinya, pemerintah fokus pada kondisi saat ini. Yakni penyelesaian masalah covid-19 dan yang terkait dengannya. Seperti gelombang PHK yang semakin marak karena resesi ekonomi.
Lalu, UU Cipta Kerja untuk Siapa?
UU Cipta Kerja ini merupakan satu produk hukum dari Indonesia. Dimana pembuatan hukum ini diajukan oleh pemerintah, kemudian diusulkan ke DPR untuk digodok guna ditentukan apakah akan disahkan atau ditolak. Jadi, ada dua pihak yang bertanggungjawab besar dalam pengesahan UU Ciptaker ini yaitu pemerintah dan DPR.
Isi UU Cipta Kerja ini mendapatkan penolakan keras dari kaum buruh. Karena beberapa poin yang ada di dalamnya dirasakan tidak berpihak pada buruh dan hanya memberikan keuntungan besar pada para pengusaha. Diantaranya dalam penentuan upah yang ditentukan berdasarkan jam, penghapusan pesangon dengan ketentuan tertentu, tidak dibayarkan gaji bagi pekerja yang sedang cuti hamil dan melahirkan, status pegawai kontrak yang dihapuskan dan juga kemudahan masuknya tenaga kerja asing.
Sekali lagi, Pemerintah dan DPR dirasakan tidak lagi memiliki keberpihakan pada rakyat. Jargon mereka sebagai wakil rakyat seakan hilang karena faktanya mereka lebih mengutamakan kepentingan para elit pemilik modal. Wajar buruh pun kemudian menyuarakan pendapat mereka dengan menolak UU ini.
Dengan adanya UU ini, tentu nasib buruh akan semakin terpuruk dan merana. Sejatinya, UU ini menjadi payung hukum legal hanya bagi pengusaha dan pemilik modal untuk lebih mengamankan posisi dan aset kekayaan mereka. Contohnya adalah dengan tidak memberikan pesangon pada pegawainya dalam keadaan perusahaan sedang bangkrut. Miris.
Islam Memuliakan Buruh
Munculnya UU Ciptaker ini dilandasi oleh paham kapitalisme yang menganggap bahwa buruh hanya diambil manfaatnya saja tanpa memanusiakan mereka. Inilah asas dalam kapitalisme yaitu manfaat semata. Tentu hal ini sangat berbeda dengan Islam dimana setiap landasan perbuatan yang dilakukan adalah untuk mendapatkan rida Allah dengan cara taat pada semua hukum yang telah diturunkan.
Salah satu yang hari ini menjadi masalah utama bagi para buruh adalah penentuan gaji. Yaitu ditentukan berdasarkan biaya hidup terendah yang termaktub dalam UMR atau UMP. Dinamakan sebagai UMR dan UMP karena ditentukan berdasarkan perhitungan pemenuhan kebutuhan mendasar dari setiap pegawainya.
Tentu standar ini berbeda dalam Islam. Penentuan gaji buruh dilakukan berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan oleh buruh. Hal ini akan meminimalisir adanya eksploitasi buruh oleh majikan.
Jika ada persengketaan antara keduanya, akan dihadirkan pakar atau ahli untuk menyelesaikan masalah ini. Tentu saja solusi yang diberikan didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dari dua belah pihak tanpa memihak satu dan mengesampingkan hak yang lainnya.
DPR sebagai wakil rakyat sangat diharapkan mampu untuk menyuarakan aspirasi rakyat guna memperjuangkan hak-hak mereka. Namun kenyataannya, DPR malah menjadi perpanjangan tangan para pengusaha dan pemilik modal. Dengan berusaha untuk menciptakan hukumnya sendiri dan berlepas tangan dari hukum Sang Pencipta. Sistem demokrasi sekuler membuka ruang lebar untuk para wakil rakyat mempermainkan kepentingan rakyat dan lebih mengutamakan kepentingan para pemilik modal.
Undang-undang dan hukum dibuat berdasarkan suara terbanyak bukan lagi berdasarkan pada pertimbangan standar kemaslahatan untuk rakyat. Yang benar bisa saja kalah jika tak memiliki suara banyak. Demikian pula yang salah akan mudah menjadi menang jika didukung oleh suara yang mayoritas.
Hal ini semakin menjadi bukti bahwa sudah waktunya untuk mencampakkan sistem kapitalisme ini dan beralih pada sistem Islam yang mampu memberikan jaminan kesejahteraan pada buruh. Tak hanya buruh, tapi semua manusia dan profesinya untuk hanya berhukum dengan Islam, di bawah satu institusi yaitu Negara Islam akan menikmati indahnya kehidupan diatur oleh syariah Islam.
Wallahu’alam.
[ry/LM]