Di Balik UU Ciptaker, Hutan Dikapitalisasi
Oleh : Ageng Kartika (Pemerhati Sosial)
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) masih menuai kontroversi, baik dari ketenagakerjaan maupun kehutanan. Telah terjadi penghapusan dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, mengharuskan pemerintah untuk menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau minimal 30%. Berubah menjadi pemerintah pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan atau pulau. (m.cnnindonesia.com, 17/10/2020)
Dari awal RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini dibuat bertujuan untuk memudahkan investasi baik swasta nasional maupun swasta asing. Sehingga penyederhanaan birokrasi aturan untuk memudahkan pelaku usaha/investor. Dapat diprediksi, muatan isinya mengutamakan kepentingan para kapital, pemilik modal.
Sejatinya kekayaan alam berupa kawasan hutan hujan yang terdapat di bumi pertiwi ini dikelola dan diatur sebaik-baiknya oleh negara. Hasilnya diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. Dalam UU Ciptaker, pengaturan dan pelaksanaan dalam konservasi kawasan hutan diserahkan ke investor atau pengusaha dengan jalan memudahkan perizinannya. Selain itu, invasi wilayah yang digunakan usaha tidak memiliki batas minimun. Jika hal ini terjadi, dikhawatirkan akan mengancam keberadaan hutan di nusantara. Karena tidak dapat memastikan daya tampung dan daya dukung lingkungan yang terlampaui.
Dalam Islam, kekayaan alam berupa sumber daya alam (tambang, energi, hutan) merupakan harta milik umum (kepemilikan umum). Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara melalui perundangan dan kebijakan dari pemerintah yang wajib ditaati. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi swasta asing. Wallahu a’lam bishshawab. (RA/LM)