Mungkinkah Penurunan Denda WP Sejahterahkan Rakyat?

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

 

Lensamedia.com– Pajak adalah salah satu instrumen pendapatan negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Meski masa pandemi, postur APBN 2020 tak menghilangkannya. Malah mengadakan revisi penerimaan pajak dalam APBN Perubahan 2020 dengan mentargetkan Rp1.254,1 triliun atau turun 23,65% dibandingkan target dalam APBN induk senilai Rp1.642,6 triliun (News.ddtc.co.id, 07/04/2020).

 

Intinya, pemerintah akan tetap memungut pajak supaya pendapatan negara terus ada. Tak peduli di saat pandemi yang belum juga teratasi, dengan ini sangat berpengaruh kepada pendapat rakyat. Keadaan ini ternyata tak menyurutkan pemungutan namun justru pemerintah mengambil langkah hanya mengubah besaran denda bagi wajib pajak (WP) jika ada keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak terutang berdasarkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan.

 

Aturan sebelumnya tertuang dalam Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam pasal 8 dijelaskan bahwa WP membetulkan sendiri masa SPT, yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 2 persen per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar.

 

Sementara, dalam draf UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), yang kini sudah disahkan, Pasal 8 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diubah menjadi besaran denda dihitung berdasarkan bunga acuan Bank Indonesia (BI) ditambah 5 persen dibagi 12 bulan. Dengan demikian, jumlah denda akan bergantung dengan perkembangan suku bunga BI (CNNIndonesia, 13/10/2020).

 

Benarkah dengan pengubahan besaran denda ini akan membawa kesejahteraan pada rakyat? Sebab faktanya dari tahun ke tahun pembayaran pajak tak pernah sesuai target. Tak hanya rakyat biasa, para pengusaha kelas kakap pun kelabakan dalam memenuhi kewajibannya.

 

Mengutip Kontan.co.id, Rabu (11/03/2020), para peserta amnesti pajak tidak diperbolehkan membawa dan menempatkan hartanya di luar negeri, dan sebaliknya diwajibkan untuk menempatkan hartanya di dalam negeri selama tiga tahun (holding period). Inilah salah satu jaring pemungutan pajak pemerintah.

 

Kewajiban peserta tax amnesty untuk melaporkan data penempatan hartanya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Kebijakan ini tak mulus begitu saja, polemik sempat tercipta dengan bocornya dana yang tersimpan dalam peristiwa “Panama Paper”. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini tak menyelesaikan persoalan, berapa pengusaha yang melaporkan kekayaannya secara jujur dan berapa yang berkelit?

 

Jelas, ini menunjukkan ada kesalahan tata kelola keuangan negara. Kebijakan fiskal ini terbukti tak mampu menciptakan kesejahteraan. Sebab dari dana pajak yang semestinya bisa 100 persen digunakan untuk pembangunan, harus terganjal dengan perilaku wajib pajak yang nakal dan juga maraknya korupsi yang terjadi.

 

Lantas bagaimana Islam memandang kebijakan pajak ini? Dalam Islam pendapatan dan pengeluaran negara diatur oleh Khalifah, melalui Baitul Mal. Tak ada satu dinar pun dikeluarkan dan menjadi pendapatan dari Baitul Mal kecuali tanpa izin syariat.

 

Pos pendapatan berasal dari zakat, khumus, rikaz, gak, jizyah, kharaz, pajak, dan pendapatan dari kepemilikan umum dan negara. Kepemilikan inilah yang berbeda dengan sistem kapitalis. Dimana negara hanya berhak mengatur kepemilikan umum dan negara, sedang dalam kapitalis tak ada batasan, baik cara maupun siapa yang memiliki. Tetap sah meskipun ditempuh melalui cara yang kotor, curang, dan korupsi sekalipun. Bahkan perorangan boleh memiliki akses SDA yang sebenarnya kepemilikannya untuk umum, semisal barang tambang, minyak, hasil hutan, dan laut.

 

Sedang untuk pengeluaran, maka Khalifah yang menetapkan besarannya, dimana semua berbasis untuk kemaslahatan rakyat. Baik pembangunan fasilitas umum, kemudahan penyediaan lapangan pekerjaan, maupun kebutuhan pokok dan sekunder rakyat.

 

Meskipun dalam Baitul Mal ada instrumen pajak, namun secara praktik sangatlah berbeda dengan sistem kapitalis. Dalam Islam, penarikan pajak itu hanya pada waktu tertentu, semisal kas Baitul Mal dalam keadaan kosong sehingga ada kewajiban negara yang belum bisa ditunaikan. Pajak dikenakan kepada orang yang secara hitungan harta sudah terkategori Aghniya’ hakikiyun (kaya sebenarnya), dalam artian pendapatan orang tersebut sudah cukup untuk membiayai kebutuhan pokok dan sekunder keluarga inti dan kerabatnya. Juga tak ada denda, sebab denda terkategori riba yang diharamkan syariat.

 

Penarikan pajak pun tidak dalam waktu yang terus menerus, sehingga tidak menjadi beban bagi rakyat. Dengan demikian, rakyat tetap bisa berekonomi secara tenang sebab kesejahteraan sudah dijamin negara, mereka hanya diwajibkan mencari nafkah bagi keluarganya tanpa harus menanggung beban pajak secara berkelanjutan. Terlebih seluruh kebutuhan pokok dan tersiernya sudah dipenuhi negara. Wallahu a’ lam bishshowab. 

(Ah/LM)

Please follow and like us:

Tentang Penulis