Minim Literasi, Buku Pun Dikriminalisasi
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Menurut data UNESCO pada tahun 2016, minat baca masyarakat Indonesia menepati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Dengan kata lain, minat baca di Indonesia sangat memprihatinkan. Jelas hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius. Terutama bagi generasi muda yang kelak akan melanjutkan estafet kepemimpinan. Perlu bekal yang mumpuni agar mampu mengemban amanah yang kelak akan dipikul.
Jika berbicara tentang pemimpin, dalam Islam ada banyak pemimpin yang fenomenal. Salah satunya sultan Mehmed II atau lebih dikenal dengan Muhammad Al Fatih. Sosok yang menaklukkan imperium Bizantium pada usia ke dua puluh satu. Menjadi sosok yang mampu mewujudkan bisyarah Rasulullah saw.
“Konstantinopel itu pasti akan dibuka (ditaklukan). Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/235, Bukhori dalam Tarikh Shoghir hal. 139, Thobroni dalam Al Kabir 1/119/2, Hakim 4/4/422, Ibnu Asakir 16/223 dan lainnya).
Kisah apik penaklukan Konstantinopel diabadikan dalam buku Muhammad Al Fatih 1453 karya ustaz Felix Y. Siauw. Salah satu dari sekian banyak buku yang merekam jejak lika-liku penaklukan Konstantinopel yang melegenda. Wajar jika buku ini patut direkomendasikan untuk dibaca. Agar generasi tak hanya bangga terhadap sosok pahlawan fiktif ala film Barat, tetapi lebih mengenal dan bangga terhadap sosok pahlawan yang benar pernah ada.
Mengingat sosoknya memiliki sejumlah keistimewaan, seperti tak pernah meninggalkan shalat tahajud, menguasai 9 bahasa, ahli sirah, sejarah, geografi, dan politik. Bahkan masa mudanya dihabiskan untuk mewujudkan bisyarah Rasulullah saw. Bukankah beliau lebih layak dijadikan panutan? Namun sayangnya, instruksi membaca buku Muhammad Al Fatih 1435 karya Felix Y. Siauw untuk meningkatkan minat literasi siswa yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung justru membuat heboh jagat maya. Karena menuai pro dan kontra.
Surat bernomor 420/11.09.F DISDIK tertanggal 30 September 2020 itu ditujukan kepada seluruh Kepala Sekolah SMA/SMK se-provinsi Bangka Belitung yang ditandatangani Muhammad Soleh selaku Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bangka Belitung. (viva.co.id, 02/10/2020)
Baru sehari surat instruksi itu dikeluarkan harus ditarik kembali. Alasannya, salah satu ormas melayangkan protes. Protes itu dilayangkan melalui surat teguran ke Gubernur Babel Erzaldi Rosman Djohan.
Ketua PWNU Babel, KH Jaafar Siddiq mengatakan, PWNU sudah mengirimkan surat ke Gubernur Babel untuk menindaklanjuti perihal surat kepala Dinas Pendidikan terkait kewajiban membaca buku Felix Siauw tersebut. Dia mengatakan, kewajiban membaca buku karangan Felix Siaw dinilai memiliki agenda terselubung (babel.inews.id, 02/10/2020)
Sontak hal ini membuat masyarakat bertanya, salahnya buku ini dimana? Bukankah buku ini berkisah tentang pemuda yang memiliki pengaruh dalam Islam dan patut dijadikan teladan? Tentu sosok semacam ini patut dijadikan panutan. Membaca buku Muhammad Al Fatih 1453 menjadi sebuah keharusan dan patut mendapatkan dukungan. Agar generasi memiliki semangat juang yang sama. Bukan didiskriminasi tanpa alasan.
Mengingat kondisi generasi saat ini kian memprihatinkan. Banyak yang terjerumus pergaulan bebas, miras, narkoba, putus sekolah, tawuran dan lain-lain. Hasil penerapan sistem kapitalis sekuler. Generasi yang jauh dari aturan sang Pencipta akibat pemisahan agama dan kehidupan. Menjadi hamba dunia yang memperturutkan hawa nafsu semata demi eksistensi dan rasa bahagia. Halal haram sudah tidak lagi dipedulikan.
Potret bobroknya generasi harus segera diatasi. Namun, jika masih bersandar pada sistem fasad ini, permasalahan tak akan pernah terselesaikan. Solusi tambal sulam sistem kapitalis sekuler justru menambah deretan panjang permasalahan.
Perlu adanya perubahan yang mendasar, yaitu perubahan pemikiran. Dimulai dari informasi yang dicerna. Termasuk bacaan yang bergizi seperti buku Muhammad Al Fatih dan deretan buku Islam lainnya. Generasi harus melek literasi. Agar tak mudah menuduh tanpa bukti.
Dukungan melek literasi pun perlu dilakukan oleh negara. Mulai dari menyediakan sarana dan prasana sebagai pendukung. Serta memastikan setiap buku yang beredar hanya berlandaskan akidah Islam. Hal ini hanya mungkin dilakukan ketika syariat Islam diterapkan.
Wallahu a’lam bishshawab.
[LM]