Oleh : Yuniasri Lyanafitri

 

Lensa MediaNews – Dilansir dari Makassar.terkini.id, konten radikal yang termuat di 155 buku pelajaran agama Islam telah dihapus oleh Menteri Agaman (Menag) Fachrul Razi. Namun, menurut keterangannya, untuk materi khilafah masih tetap ada di buku-buku tersebut. Kendati demikian, Menag memastikan buku-buku itu akan memberi penjelasan bahwa khilafah tak lagi relevan di Indonesia, sekaligus memastikan ratusan buku pelajaran agama tersebut telah direvisi dan mulai dipakai untuk tahun ajaran 2020/2021.

Menurut Menag, penghapusan konten radikal tersebut merupakan bagian dari program penguatan moderasi beragama yang dilakukan Kemenag. Selain penghapusan konten radikal, Menag juga melakukan pembangunan rumah moderasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), penguatan bimbingan perkawinan, pelatihan bagi guru dan dosen, penyusunan modul pengarusutamaan Islam wasathiyah, serta madrasah ramah anak (makassar.terkini.id 02/07/2020).

Materi khilafah yang dipertegas oleh Menag tidak lagi relevan di Indonesia, semakin menjelaskan bahwa rezim berusaha menghapus sejarah Islam dari kurikulum pendidikan di Indonesia. Padahal Indonesia merupakan negara yang mayoritas warganya beragama Islam. Rezim seolah-olah berusaha menutupi sejarah Islam yang kurang lebih selama 13 abad telah menerapkan khilafah sebagai sistem pemerintahannya.

Khilafah merupakan ajaran Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, para sahabat, dan penerusnya hingga periode khilafah Ustmaniyah. Dan tercatat dalam sejarah, Khilafah mampu memberikan sistem yang sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Karena berdasarkan pada Al Quran dan As Sunnah. Seperti halnya dengan materi shalat, puasa, zakat, dan haji, khilafah juga materi pelajaran Islam yang wajib dipelajari dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembatasan opini yang dilakukan Menag tersebut jelas memberikan dampak buruk pada pengetahuan generasi penerus. Para siswa dipaksa berpikir terbatas. Karena materi khilafah hanya disampaikan sebagai pengetahuan belaka. Bahkan, materi yang disampaikan hanya pengenalan. Bukan untuk solusi bagi masalah yang muncul saat menerapkan sistem pemerintahan kufur.

Upaya ini juga bisa dianggap sebagai pengkikisan karakter Islam pada pemuda-pemudi Islam. Dan dijauhkannya mereka dengan Islam. Semakin lama mereka semakin tidak mengenal Islam secara mendalam. Ditambah lagi, pengurangan jam pelajaran untuk mengkaji Islam. Para generasi penerus malah terus menerus disuguhkan tontonan yang melanggar syari’at , lingkungan yang bebas dan kurangnya pengawasan orang tua dalam pergaulan mereka.

Menolak khilafah bisa diartikan juga menolak Islam. Karena hanya dengan adanya khilafahlah semua ajaran Islam dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan dalam lingkungan terkecil yaitu keluarga. Padahal orang-orang yang tidak mau mempelajari sejarahnya, berarti dia dengan sukarela mau untuk diperdaya oleh musuh-musuhnya.

Ibarat orang yang berjalan di tengah kegelapan yang sangat mungkin akan terjatuh, terantuk, dan tersungkur. Begitu pun dengan seorang Muslim yang tidak mengenal sejarah Islam juga akan mengalami hal yang serupa. Dia akan sangat mudah untuk terjatuh di lubang yang sama. Karena dengan mempelajari sejarah, umat Islam akan mampu menentukan dan memutuskan pilihan langkah yang diambil pada masa sekarang dan masa depan.

Dengan mempelajari sejarah juga bisa membangkitkan ghiroh persatuan umat untuk menerapkan Islam secara kaffah atau menyeluruh. Karena khilafah bukan hanya sekadar sejarah untuk diingat dan dipelajari tetapi juga hal yang sangat penting dan genting untuk segera diterapkan di dalam kehidupan.

Allah swt berfirman yang artinya, “ Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. ” (Q.S. Hud:120).

Wallahu’alam bish showwab. 

 

[ry/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis